4. Dari Mama Untuk Radhea

13K 2.5K 1K
                                    

Pagi yang terasa begitu hangat ketika dua anak perempuan itu dapat berkumpul kembali di meja makan hari ini. Untuk pertama kalinya di bulan ini Heya dapat melihat adiknya Windy kembali sarapan bersamanya lagi. Karena biasanya beberapa waktu lalu, Windy selalu berangkat lebih awal ke kampus dan tak menyempatkan dirinya untuk sarapan bersama.

Setelah selesai dengan sarapannya, Windy memilih untuk kembali ke kamarnya lebih dahulu. Ia masih ada waktu satu jam lagi sebelum pergi ke kampus. Kini yag tersisa di meja makan hanyalah Heya bersama Mama yang tengah sibuk memotong beberapa sayur-sayuran unutk dimasak. 

"Kak, nanti mau tinggal dimana?" sahut Mama tiba-tiba di keheningan mereka. 

"Paling ikut Kak Mark," balas Heya.

"Yang nurut ya sama dia."

Heya tersenyum membalasnya. Semula semuanya baik-baik saja, sampai beberapa detik berikutnya ada perasaan yang tak biasa yang muncul di dalam harinya. Heya mencuri sekilas arah pandangnya kepada Mama yang tengah sibuk mengupas bawang itu. 

"Ma," panggilnya ke arah beliau. Heya tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Selama beberapa detik dia terdiam, akhirnya dia menggeleng dan mengurungkan niatnya untuk berucap.

"Kenapa?" tanya mama.

"Nggak," balas Heya.

Mamanya terdiam tapi ia tahu bahwa ada sesuatu yang dapat ia lihat di iris hitam melihat anaknya. Sesuatu yang mengganjal dan ingin ia keluarkan.

"Cerita aja kalo ada masalah," ucap mama.

"Kira belum siap." Satu kalimat yang dapat membuka segala pertanyaan mengenai apa saja yang terjadi. "pernikahan itu bukan soal cinta aja, 'kan? Pernikahan itu rumit. Kira agak takut, sewaktu-waktu nggak siap terlibat dalam kerumitan pernikahan." sambungnya.

"Kalo nggak rumit, bukan pernikahan namanya." Mama melirik padanya. "di dunia ini nggak ada yang terlahir dengan mudah. Banyak hal yang harus diperjuangin untuk ngerasain sesuatu yang enak. Pernikahan juga gitu, Kira. Gak papa, kamu masih baru untuk masuk ke dunia baru. Kamu nggak sendirian menghadapi itu semua. Kalian 'kan berpasangan, kalian juga ngejalaninnya bersama."

Heya menggigit bibir dalamnya ketika mendengarkan semua yang diucapkan oleh mamanya itu.

"Jangan takut dengan pernikahan. Jangan anggep pernikahan itu buruk kayak kamu nonton sinetron di luar sana. Kalian udah dewasa, kalian kuat. Jangan takut."

Karena semua itu, tiba-tiba saja genangan air mata yang ia tampung diam-diam menjadi pecah membasahi wajahnya.

"Loh.. kenapa nangis?" Mama menatap heran dengan anak perempuannya ini. Yang Heya bisa lakukan adalah menggeleng dan meyakinkan jika ia baik-baik saja. 

Buru-buru Heya mengusap segera air matanya yang jatuh. "Ma, kalo kita pisah.."

"Semua orang memang akan berpisah."

"Tapi..."

Heya menggeleng lagi, dia segera beranjak dari kursinya dan mendekat ke arah mamanya untuk menarik beliau ke dalam dekapannya. Tangisannya langsung memecah dengan cepat. "Mama sendirian nanti."

"Ada Windy. Mama juga nggak bakal sendirian."

Usapan halus itu mencoba menenangkan kegelisahan putrinya.

"Jangan takut. Kamu harus bahagia. Mama udah ikhlas kalo harus ngelepasin kamu buat pergi. Kamu 'kan pergi untuk bahagia juga. Mama percaya kalo yang jadi suami kamu nanti adalah orang yang baik. Dia yang akan nganggep kamu sebagai berlian dia, sebagai wanita dia yang paling dijaga dan dimuliakan selain ibunya. Jangan takut, sayang. Jangan takut, Kiraku sayang."

me after you [UNDER REVISION]Место, где живут истории. Откройте их для себя