Kebetulan

1.3K 176 4
                                    


Win tampak sibuk mengamati kamarnya yang sudah lama tidak ia lihat. Suasananya masih sama, tidak banyak yang berubah dari kamarnya seperti terakhir kali ia lihat.

"Merindukan kamar lama mu?" sebuah suara menginterupsi Win dari kegiatan mari melihat kamar lamanya.

"Begitulah Mae," Win buru-buru menjawab saat melihat Ibunya memasuki kamar miliknya sambil membawa jus jeruk.

"Berliburlah sedikit, kau sudah lama pergi dari kampung halaman mu."

"Aku mungkin hanya akan dirumah saja Mae," Win menjawab sambil menenggak jus jeruk yang diberikan Ibunya.

"Pergilah ke tempat Mew dan Gulf, saat mereka menikah bahkan kau tidak datang. Hingga sekarang mereka mengadopsi anak pun kamu mungkin tidak tahu,"

"Mengadopsi anak?"

Pasangan yang dulu juga pernah menjalin kerjasama dalam sebuah drama pun sekarang sudah mengadopsi anak. Terakhir kabar yang Win dengan adalah mereka berdua menikah, dan ia tidak bisa datang karena alasan yang selalu ia buat. Ia tidak ingin melihat masa lalunya.

Mew adalah anak dari teman Ayah Win jadi mereka sudah cukup mengenal lama. Dan Ayah Win selalu menganggap bahwa mereka adalah saudara, jadi tidak heran jika kedua keluarga itu bersikap layaknya seperti saudara dekat.

"Cobalah bermain dengan anaknya, mungkin kau akan senang Win," tawar Ibunya.

"Mae memaksamu untuk tetap tinggal di Thailand selama sebulan Win," mata Win membulat sempurna saat mendengar apa yang di ucapkan Ibunya.

"Bagaimana dengan perusahaan Win Mae?"

"Mae sudah menyuruh orang untuk menjalankannya, jangan membantah."

*

Mobil VW Beetle berwarna kuning cerah tampak terparkir didepan halaman rumah yang cukup luas. Pemilik mobil itu kemudian turun dari mobil mewahnya, pakaian yang digunakan juga tidak main-main, terlihat sangat mewah dan berkelas juga. Kacamata hitam juga menambah kesan kasual sosoknya. Sepatu sendal koleksi Louis Vuitton limited edition pun bertengger di kakinya, banyak sekali barang mewah yang menempel padanya mungkin orang-orang yang berjalan berdampingan dengannya akan merasa amat miskin.

"P'Mew!" orang itu -si mewah- berteriak keras saat melihat orang yang sedang berdiri didepan pintu rumah mewah itu.

"Oy! Win, mewah sekali penampilanmu. Seperti biasa," jawab orang yang dipanggil Win tadi.

Tangan Mew terbuka untuk memeluk Win dan dibalas dengan pelukan hangat oleh Win.

"Dimana P'Gulf? Kudengar kalian mengadopsi anak?" tanya Win sambil berjalan memasuki rumah besar nan mewah itu. Mew hanya tersenyum mendengar pertanyaan Win, sudah lama ia tidak melihat Win.

"Makanya datang ke pernikahanku! Anakku sedang sarapan ditemani Gulf,"

Win berlari menuju ruang makan rumah itu, seolah sudah paham tata letak rumah itu. Win sudah tahu rumah itu sebelum Mew dan Gulf menikah, tidak banyak yang berubah dari rumah itu. Hanya saja Mew tampak lebih bahagia, Win sudah tahu jika sejak dulu Mew menyukai Gulf dan dia tidak menyangka Mew benar-benar akan menikahi Gulf pada akhirnya.

Sosok anak kecil sedang duduk manis di kursi ruang makan dengan Gulf yang menyuapinya dengan sabar.

"P'GULF!" Win berteriak cukup keras hingga membuat dua orang itu terkejut.

'PLAK' kepala Win terasa sakit. Barusan Mew memukul kepalanya, karena membuat istri dan anaknya terkejut.

"Win! Kenapa tidak bilang kau akan kesini? Kapan kau pulang? Kau terlihat kurus Win," Gulf memberondonginya dengan berbagai pertanyaan. Sosok kecil yang duduk di kursi itu hanya menatap Win tidak kenal.

"Aw! P'Gulf, kau tambah cantik!"

'PLAK' sekarang pukulan kedua dari Mew untuk Win, karena berani menggoda istrinya.

"P'! sakit," Win memprotes sambil memegang kepalanya.

Win menghiraukan pertanyaan Gulf dan berjalan mendekati anak kecil yang masih dengan tatapan penasarannya, Win kemudian sedikit berjongkok untuk menyamai tingginya dengan anak itu.

"Hai! Kenalkan, panggil aku Paman Win. Lalu siapa namamu?"

Anak itu tampak ragu sambil melihat kearah Gulf dan hanya ditanggapi dengan anggukan.

"Salawat," singkat, padat dan jelas. Mata Win membulat sempurna saat mendengar jawaban dari anak itu.

"Sarawat?" gumam Win. Pandangannya sekarang beralih ke arah Mew dan Gulf secara bergantian.

Kapan terakhir kali Win mendengar atau mengetahui nama itu? Mungkin Win tidak akan pernah melupakan nama itu. Kenangan yang dulu muncul kembali, tidak ada yang kebetulan bukan? Apakah takdirnya akan tidak jauh-jauh dengan nama itu atau 'nama' yang lain? Benarkah ini takdir untuknya? Atau dia hanya akan melewatinya?

"Nama itu sudah ada saat ia masih berumur 2 bulan, saat Sarawat dititipkan di panti asuhan. Aku sudah mencoba untuk mengganti namanya, tetapi saat menggantinya dia selalu jatuh sakit. Jadi aku dan Gulf memutuskan utnuk tetap memakai nama itu," Mew menjelaskan pada Win.

"Tidak buruk bukan? Sarawat," ujar Gulf sambil menepuk pundak Win.

Mata Win tak lepas dari anak kecil yang saat ini sibuk dengan sandwich ditangan mungilnya, mulutnya tampak penuh dan noda saos menempel di pipi gembilnya. Sungguh khas anak kecil yang imut dan penurut.

"Kau mau mengantarnya ke sekolah?" tawar Gulf pada Win.

"Boleh? Apakah dia tidak takut padaku?"

"Coba tanyakan saja padanya,"

Dan sekarang disinilah mereka sekarang. Sarawat duduk di toddler car seat belakang mobil Win, anak kecil yang tenang dan penurut. Bahkan ia sudah bisa akrab dengan Win, walaupun pada awalnya agak ragu dengan Win.

"Bagaiamana di sekolah? Apakah menyenangkan?" tanya Win saat mereka berhasill keluar dari halaman rumah mewah itu.

"Uhm! Salawat punya banyak teman disana, Salawat belmain dengan mainan yang tidak ada di lumah," walaupun Sarawat sedikit cadel, namun dia mampu berbicara cukup lancar.

"Siapa saja teman Sarawat?"

"Banyak Paman! Ada Man, Boss banyak sekali," Win nyaris menginjak gasnya karena terkejut dengan jawaban Sarawat.

Nama itu? Bahkan nama teman-teman Sarawat? Apakah sekarang dia sedang bermimpi? Kenapa rasanya seperti didalam drama? Atau dia sedang berkhayal? Win menampar pipinya kuat-kuat.

"Aww!" sakit ternyata.

"Tapi ada teman yang Salawat suka, namanya Tine. Tapi jangan bilang Papa dan Mama ya, ini lahasia kita. Oke paman?"

*

Bright sudah lama tidak mengunjungi rumah sederhana itu, rumah dangan pagar pendek dan beberapa pohon rindang tampak memenuhi rumah itu. Pagi ini entah pikiran dari mana, ia memutuskan mengunjungi rumah kecilnya alias rumah orang tuanya. Sepertinya dia harus berubah, dia tidak akan terus menghindari anaknya bukan?

"Mae," gumam Bright saat melihat sosok wanita yang sudah tua namun masih selalu terlihat cantik dimata Bright. Wanita itu berjalan kearah Bright dan memberikan pelukan hangat dan nyaman untuknya.

"Mau bertemu dengannya?" Bright sudah tahu siapa yang dimaksud Ibunya. Dan ia hanya mengangguk.

"Tine? Kemarilah,"

Sosok anak kecil berjalan kecil keluar menuju luar rumah, langkah kakinya terhenti sejenak saat sudah diambang pintu. Matanya menatap Bright tidak percaya, sosok yang dulu hanya bisa ia lihat lewat gambar sekarang ada didepannya.

"Papa!" suara itu memanggil nama Bright dengan sebutan Papa. Langkah itu terburu menuju Bright dan memeluk Bright erat Bright yang sudah berjongkok.

"Tine kangen Papa! Hiks," kali ini suara yang awalnya bersemangat sedikit melemah dan terisak.

"Papa minta maaf ya sayang?"

"Sudah, jangan menangis. Ayo siap-siap, Papa yang akan mengantar Tine ke sekolah," ujar Ibu Bright sambil mengelus kepala cucunya.


**


TBC

Veni, Vidi, Vici [BrightWin] ✓Where stories live. Discover now