Chapter 16 - Drown Become Black Hearted

12 5 1
                                    

"Kamar no.303, huh?" Kunci kamar berbentuk kartu ia bolak-balik. Mendengkus kecil, laki-laki bersetelan sweater dan blazer itu berjalan menerjang lorong berisikan banyak pintu di kedua sisi. Puluhan lampu ambiance selalu menuntun langkahnya yang menggema.

"Sudah kuduga kau memang ke sini, Ash." Langkah sepatu slip on hitam pun berhenti dan berbalik setengah badan, melemparkan sorot tajam yang terpatri di mata semerah darah.

Pemilik suara itu mendekati Ash yang bergeming. Ketukan sepatu kets hitam terdengar lebih nyaring dibanding sepatu yang Ash pakai. "Aku tau kau yang mengambil buku catatan Leon. Kau pasti membawanya, kan?"

Dia berjalan mengelilingi Ash. Sebelah tangan berhiaskan cincin merayapi badan Ash, sedang satunya menangkup muka Ash yang enggan disentuh. "Sekarang kembalikan buku itu padaku."

"Never." Iris merah Ash mulai menggelap. Tangan yang senantiasa bersama kartu kunci menuju kamar hotelnya ia masukkan ke saku celana.

"Ah, jadi kau mau baku hantam?" Secepat kilat gadis itu menekan leher Ash dengan keempat kuku runcing. Sayangnya, Ash mampu meloloskan diri begitu cepat, hanya memukul lengan dia dari bawah, menendang kaki jenjang dia sebelum ia banting ke depan.

Gadis berbalut gaun hitam selutut itu jatuh tersungkur, susah payah bangkit menahan sakit akibat bantingan dari lawan. Ia perhatikan, Ash tidak menunjukkan reaksi emosi seperti wajah sangar atau murka.

"Kau sungguh berhati gelap...." Baru saja ia mampu menopang tubuhnya, akhirnya kembali ambruk tak larat merasakan nyeri di tubuh sebelah kiri.

"Apa alasan andalanmu untuk mendapatkan buku itu?" Dengkusan sinis tak mengizinkan dia untuk menjawab. "Aku menduga kau sama hinanya dengan stalker."

Seketika amarah gadis itu meletup-letup, memberikan reaksi napas yang memburu. Ia berlari tak peduli rasa sakit yang menggerogotinya, meruncingkan kuku-kukunya yang menghitam kala Ash berbalik melanjutkan perjalanan menuju kamar hotel yang telah dipesan. Batin terus-menerus menjerit 'Tak guna kau!', sampai mammouth bangkit pun tak akan mampu menyaingi tajamnya insting.

Lelaki itu berbalik menerkam tangan dia. Ia pelintir guna memperlambat pergerakan. Ia berikan serangan berupa tendangan di salah satu kaki dia yang melemah, kemudian menepuk rahang bawah hingga terpental telentang.

Usaha gadis itu tak sampai di sini. Ia kembali bangkit, menghilang dan menampakkan diri di depan muka Ash dengan tangan siap menikam leher lawan hanya dalam kedipan mata. Namun, Ash sudah mengancam gerak-gerik dia dengan moncong pistol tipe magnum yang menempel di dahi. Mereka berakhir saling menyandera, beradu tatap dengan caranya masing-masing. Dia yang melotot haus darah; Ash yang tetap tenang meski tatapannya tajam.

"Aku akan membantumu...."

Tatapan khas algojo mulai melemah selepas Ash berkata demikian. "Apa?"

"Jika alasanmu merebut buku catatan Leon cukup kuat," kata Ash menekan pelatuk pistol secara diam-diam, "aku akan membantumu."

Dia mendengkus sinis. "Aku takkan tertipu dengan strategimu."

"Aku serius." Lelaki berkacamata khas bangsawan itu tak terpengaruh dengan emosi hina si gadis. Dingin nan kosong.

"Apa yang kau tau dariku, hah?" Dia kembali menyipit dengan beringas.

"Kau ingin melenyapkan Leon." Gadis itu tertegun akan jawaban Ash. Dia tak dapat bergerak, bahkan tak mampu melawan pernyataan tersebut.

"Itu kan ... yang membuatmu ingin mengambil buku catatan Leon?" Iris merahnya makin pekat gelapnya, menyamarkan pupil yang begitu kecil. "Anggap saja kita sedang bernegoisasi, Nona."

"Apa ini? Mendadak kau banyak bicara." Akhirnya dia menjauh dari Ash. Tangannya perlahan memutih, kuku pun mulai memendek. "Apa yang kau tau tentang Leon? Sampai kau rela melindungi buku jelek itu."

Bukannya dijawab, Ash malah mengerling malas, berbalik menuju kamar yang berada di paling ujung. Tentulah buat dia naik pitam.

"Kau bilang akan membantuku!" pekik gadis itu mengikuti Ash dari belakang. "Setidaknya aku ingin tau kenapa kau nekat merebut buku milik Leon."

Teringin menarik lengan kurusnya, tapi lelaki jangkung itu menghentikan langkah. Ia memandang jijik terhadap tindakan dia yang menggenggam tangan seenak jidat, kemudian beralih kepada muka dia dengan tatapan dingin.

"Kau bertanya di luar sesi negoisasi kita," katanya menyentak tangan hingga lepas dari terkaman dia. "Kesempatan bertanyamu tinggal dua pertanyaan lagi."

"Apa?" Dia melotot tak terima. "Jangan seenaknya mengatur tanpa seizin pihak kedua!"

Ash tak mengindahkannya, tetap pergi ke tujuan. Merasa terdesak oleh jarak dan waktu, dia pun bertanya, "Apa kau tau kelemahan Leon? Dan bagaimana caranya agar aku bisa mengalahkan dia?"

Ash sampai di pintu kamarnya. Seraya merogoh kartu kunci di saku celana, Ash memandang dia amat lama. "Musnahnya kehidupan alam, punahnya fauna, dan tewasnya sosok yang dia sayangi. Itulah kelemahan Leon. Kau harus menyerang dia dari kejauhan, kemudian lancarkan serangan yang melesat bagai anak panah."

Sesi negoisasi berakhir dengan Ash yang memasuki kamar hotel. Samar-samar lelaki ini mendengar celotehan pihak kedua, lantas menyimak sambil menyalakan lampu. Mendengar dia baru mendapatkan sebuah rencana lewat bocoran kelemahan Leon, terbitlah senyum miring di bibirnya.

Ia duduk bersandar memandang ramainya kendaraan di sekitar kota Saskatoon, ditemani sebuah pistol dan buku catatan milik Leon. Ash membaca dalam hati. Halaman demi halaman ia mengetahui perjalanan Leon yang berawal dari senang memiliki teman baru hingga berduka atas kakeknya yang jatuh sakit karena mendengar bahwa pemilik buku ini telah merenggut nyawa seseorang.

Dari sekian lembar catatan, Ash lebih tertarik pada halaman dengan foto dua anak laki-laki yang saling rangkul.

"Hari ini, Aki baru saja pulang, katanya sudah selesai bekerja. Selain bawa oleh-oleh dari sana, Aki mengajak orang-orang berkulit putih, sepertinya mereka satu keluarga. Mereka tak fasih berbahasa Indonesia, jadi Aki mengajarkannya, terutama pada anak laki-laki seumuranku yang sangat antusias ingin belajar bahasa Indonesia. Kata Aki, anak itu teringin bicara banyak denganku, teringin bermain bersamaku. Saat kami bermain kelereng, dia mau aku mengajarinya memenangkan semua kelereng. Aku ajarkan saja, mana tau dia bisa memamerkan permainan ini di negara tempat tinggalnya."

Tatapan dan senyum Ash melembut seperti elusan di kertas kuning nan kusam ini. "Aku ingat masa kita bermain kelereng."

Tanpa sengaja ia menangkap seorang gadis yang melakukan negoisasi tadi pergi terburu-buru menuju motornya. Sorot matanya kembali dingin.

"Tak kusangka dia mau mengikuti saranku." Ash mendesah pelan, mengambil foto tersebut untuk ia amati dari jarak dekat. Terlihat bocah berambut hitam itu menyengir lebar, lain hal anak laki-laki berkulit sawo matang yang tiada senyum.

"Aku tak sabar melihat pertunjukkan seru di hutan nanti malam, Tuan," katanya berbicara sendiri.

"Hanya ingin tau seberapa kuatnya Leon sekarang dibanding yang dia tulis di buku catatan ini." []

Majalengka, 27 Maret 2021

Unknown Person✔Where stories live. Discover now