Chapter 8 - Teori Teman Palsu

26 8 20
                                    

Badan Leon terasa sakit, bahkan bisa merasakan dinginnya angin. Padahal seingatnya, Ketua Kelas tidak menyalakan kipas angin ataupun AC, jendela pun ditutup. Saat ini Leon hanya bisa meringkuk di atas ranjang dalam balutan selimut. Ia terus berubah posisi tidur, tetap saja tak nyaman dengan suhu ruangannya.

Perut bergemuruh hebat. Dari pagi ia tak makan. Ia tak dapat jatah makan bila libur. Ketua Kelas bilang begini sebelum pergi keluar, "Nanti aku belikan obat sama roti. Pokoknya jangan ke mana-mana."

Persetan ucapan Ketua Kelas! Leon langsung beranjak dari tempat tidur walau sempat jatuh tersandung selimut. Sinarnya menyilaukan mata, tapi cukup panas untuk menghangatkan diri. Leon duduk di teras kamar dekat pilar keramik. Melelahkan, padahal hanya beberapa langkah. Mata pun terasa berat dibuka.

"Leon!" Seseorang berlari memperpendek jarak, duduk bertekuk lutut mencengkeram pundak Leon. Tangannya lembut ketika meraba kening dan pipi. "Kamu kenapa? Sudah minum obat? Sudah makan?"

"Alisa?" Leon melirik lemah, sejenak terkekeh sumbang. "Belum, aku nunggu Ketua Kelas...."

"Gak ada yang perlu ditunggu!" potong Alisa dengan tegas. Ia mengambil sesuatu dari kantong kresek yang dibawa: apel merah. "Ini, makan dulu. Bisa makannya?"

Bukannya dituruti, Leon justru menatap apel di tangannya. Alisa langsung menyambar Leon dengan pertanyaan, "Kenapa? Gak suka?"

"Apel merah identik dengan dongeng Putri Salju," Leon mulai bersuara. "Dan dia tertidur selamanya karena makan apel beracun dari nenek tak dikenal. Aku merasakan ... hal yang sama dengan dia."

"Kalau apel itu beracun, dari awal aku ke sini gak bawa apel, Leon. Diam di sini. Matahari bagus buat kamu." Gadis itu menaruh barang bawaannya, berdiri masuk ke kamar entah mau ambil apa. Mungkin pisau dan piring untuk apel. Baik Leon tidur sebentar sambil berjemur diri.

****

"Ini, makanlah." Sepiring apel yang telah dipotong dadu ditaruh dekat Leon. Ia mengelus pundak pemuda itu sebelum bangkit mengembangkan senyum manis. "Cepat sembuh, Leon. Jangan kebanyakan mikir."

Leon mengangguk tiada arti. Sorot matanya tak menunjukkan emosi, meski memandangi punggung Alisa yang kian menjauh. Ia mendesah berat. Ternyata sakit itu melelahkan. Gara-gara ketiduran di gudang, sih! Leon menyalahkan diri sendiri juga tiada gunanya. Sudah telanjur, kan? Pepatah itu memang berlaku untuknya: menyesal pun percuma.

Sesuatu bergetar di pahanya. Lantas, Leon mengambil dengan susah payah saking lesunya. Ia tak sempat lihat nama kontaknya, asal usap ikon hijau. "Halo?"

"Leon, gimana kabar kamu?" Suaranya nampak tak asing di telinga Leon. Partikel memori mulai dipilah dengan tujuan mencari pemilik suara ini.

"Hmm, ini Kayla, kah?" tanya Leon meringis kedinginan.

"Iyalah, Leon!" Tawa bercampur kekuatan sinyal terkadang bisa menyakiti gendang telinga. "Ya ampun, di sini pada ngomongin kamu lho sejak kamu pergi ke sana. Ah, ada bule juga belajar di sini. Mungkin dampak program pertukaran pelajar."

Leon menggumam lesu, mengundang rasa curiga bagi Kayla yang telepon di rumah Aki bersama teman-teman lainnya. "Leon, kamu gak apa-apa?"

"Cuma demam doang...." Jawaban Leon melegakan hati Kayla.

"Obatnya diminum, Leon. Ntar makin parah. Jangan mikir yang berat-berat." Kayla terus-terusan menghujani Leon dengan nasihat. Toh, Leon mengangguk saja, dari pada diceramahi Kayla. "Kenapa gak jawab?"

"Percuma aku ngomong kalau ujungnya diceramahi," jawab Leon melahap sepotong apel hingga timbul di pipi.

"Kamu harus turuti apa kata aku!" Lagi-lagi pemuda ini mengangguk mangut. "Kamu udah ada temen di sana?"

Unknown Person✔Where stories live. Discover now