Chapter 3 - Girl in Evening Day

35 9 17
                                    

Dari awal masuk sekolah, Leon selalu dihantui rasa cemas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari awal masuk sekolah, Leon selalu dihantui rasa cemas. Ia tak tahu alasannya apa. Di otak tak ada kronologi insiden yang menimpanya. Bahkan saat istirahat, cara makan Leon terbilang lamban bagai siput akibat terus-terusan memikirkan kejanggalan kemarin. Omelet yang ia pesan terlihat seperti sebaskom nasi goreng. Ketua kelas dibuat heran dengan kelakuan teman barunya ini. Ada apa gerangan sampai Leon menjadi seperti sekarang? Perasaan kemarin pada ceria. Tidak biasanya.

Leon sebenarnya tengah memikirkan kenapa insiden kemarin bisa terjadi. Benarkah ia pelakunya? Kalaupun masuk ke hutan, pagi-pagi tempat itu sudah diberi garis polisi dan banyak siswa-siswi berkerumun akan penasaran. Kata ketua kelas, beberapa polisi tengah menyelidiki kasus terbunuhnya kepala penjaga malam.

"Kamu yakin makannya cuma itu doang?" Pemuda berpipi gempal itu bertanya seraya melahap roti isi setebal buku pelajaran fisika. Mulutnya yang terbuka lebar mampu memuat setengah dari roti isi. Saking penuhnya, pipi ketua kelas pun menggembung.

Anehnya Leon sama sekali tak terusik. Pemuda itu terus melahap omelet dan mengunyahnya dengan lamban. Lamunannya baru bisa terbuyarkan begitu tangan empuk ketua kelas menepuk pundak Leon dengan lembut. Cukup buat Leon tersentak, tapi setidaknya tak termenung bagai telah ditinggal kekasih tercinta.

Hati ini terlalu egois untuk diajak kerja sama.

"Kau oke, kan?" tanya ketua kelas memastikan. Roti isi yang tinggal dua gigitan pun dilahap habis. Dalam benak Leon, kuat betul rahangnya. Leon jadi penasaran, apa di rongga mulut ketua kelas punya udara cadangan?

"Y-yeah," jawab Leon menyunggingkan senyum simpul, kembali menyibukkan diri dengan memakan omelet pesanannya. "I'm okay...."

"Beneran oke?"

"Iya! Aku baik-baik aja!" Tanpa disadari, nada bicara Leon membuat ketua kelas terlonjak menyingkir. Astaga, jangan sampai ketua kelas marah. Mukanya langsung gelisah. Ia langsung menunduk sembari beringsut menjauh. "S-sorry...."

"A-aku bukan maksud kaget, Leon," jelasnya menyanggah. Ia kehilangan kata-kata semenjak Leon berkata demikian dalam nada pelan sangat. Mau nepuk pundaknya Leon, ia takut Leon makin tertekan. Akhirnya ketua kelas mengurungkan niatnya. Ia merasa tak enak bila harus menanyakan sesuatu yang buat Leon sedih. "Aku pergi dulu, ya. Ada tugas yang belum aku selesaikan. Kalau kau mau curhat, cari aku."

Leon hanya mengangguk mengiyakan, meski tatapannya menyimpan emosi sedih. Lantas, laki-laki itu beranjak dari kursi panjang, meninggalkan Leon sendiri di situ. Suasana ramai di kantin tak memengaruhi mood Leon. Aroma sedap dari menu yang disajikan pun ia tak ada selera.

Apa caraku ini benar? batin Leon mencemasi dirinya sendiri. Ia mesti cepat-cepat tutupi aibnya perihal kasus kemarin sebelum namanya terkuak. Toh, ia ada di sini hanya setahun, setelah itu ia pulang ke tanah air. Mungkin dengan memanipulasi insiden akan lebih baik. Tidak, itu sama saja menipu. Ternyata ucapan kakeknya benar: Tiada yang namanya solusi bila sudah berurusan dengan istilah kriminal.

Unknown Person✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang