Chapter 15 - Drown Become Unknown Person

17 5 3
                                    

Cerita Unknown Person diikutsertakan dalam challenge 100 days writting. Happy reading^^
famts_writer vee_corvield Beelzebell_

****

Mataku membulat sempurna. Merasakan napas yang memburu, juga kulit kedinginan dibasuh keringat dan tiupan kipas angin. Barusan mimpi apa? Banyak orang yang tergeletak mengenaskan dan ... tanganku bersimbah darah. Pasti Aki tahu alasannya. Aku menghela napas panjang sebelum beranjak bangun.

Menyibak gorden lalu membuka jendela adalah kegiatan favoritku. Di sini, aku bisa melihat bunga-bunga cantik baru disiram tetangga dengan sepenuh hati, bahkan udaranya begitu sejuk untuk dihirup ketimbang di kamar. Wanita paruh baya—tetangga yang kumaksud—pun melambai tangan dengan wajah semringah. Akupun membalas salamnya dengan cara sama seperti dia.

"Enaknya Leon dapat semangat pagi." Aku tersentak, berbalik mendapati kakek berambut putih tebal tengah mendekatiku dengan bantuan tongkat. Tangan keriputnya terulur mengusap kepalaku, juga mengelap peluh di pelipisku. Tatapan dia sayu, tapi tak meninggalkan senyum lembut seraya berkata, "Mimpi buruk lagi?"

Aku mengangguk satu kali, memandang Aki dengan kosong. "Apa Aki tau penyebab aku mimpi buruk?"

Aki menggumam serak. "Aki ... tak tau, tapi mungkin kau rindu dengan orangtuamu?"

Aku tahu gelagat Aki, seperti menyembunyikan banyak fakta tentangku yang tak kuketahui. Setiap aku mimpi buruk, Aki pasti akan mengaitkannya dengan mereka. Terus terang, aku memang rindu ibu dan ayahku. "Apa aku boleh temui mereka?"

"Aki tak mengizinkan Leon ketemu mereka!" Mendadak Aki menjawab dengan nada tinggi. Aku tak kaget. Banyak hal yang beliau larang padaku. Dia mendesah pelan sembari memijit keningnya, kemudian mengusap pundakku. "Aki tak bisa mengabulkan permintaanmu yang tadi, Leon. Maafkan Aki."

"Kenapa aku tak boleh menemui mereka, Aki?" tanyaku menunduk mengepalkan tangan. Kulirik Aki yang bertekuk lutut mendorongku ke pelukannya.

"Aku tak mau kehilangan Leon." Jawaban Aki yang terlalu klise. Aku kehilangan mereka, tapi Aki melarangku untuk menemui mereka. Andai beliau mengerti apa yang kurasakan....

Meskipun mereka—Aki dan Nini—hadir di kehidupanku, memberikan semuanya yang membuatku bahagia, hanya permintaan itulah yang takkan pernah mereka kabulkan. Dan aku tak tahu apakah aku akan tersenyum bila bertemu mereka.

Hari ini libur sekolah, biasanya aku melihat foto-foto ibu semasa muda di teras rumah, bersama Nini dan Bel—nama kucing oranye yang aku pungut. Sebenarnya, melihat foto-foto ibuku adalah suatu metode agar mempermudah mencari jawaban perihal mimpi burukku. Cuma foto ibu yang buat mereka datang ke mimpiku.

Aku terpukau melihat ibu yang begitu anggun saat berpose di kebun binatang bersama seorang pria berambut pirang. Nini bilang itu ayahku. Lembar persegi yang kupegang menit ini adalah foto ibu yang menggendong seekor anak harimau.

"Apa anak harimau tidak segalak ibunya, Nini?" tanyaku menunjukkan potretnya ke wanita tua yang duduk simpuh di sampingku.

"Kalau ibumu bisa mengendongnya, berarti anak harimau tidak jahat," jawabnya terkekeh-kekeh, meminum teh hitam hangat dengan perlahan.

"Apa jenis harimau yang ibu gendong?" Aku menemui Bel yang berjalan riang melintasi pandangan kami, memintanya untuk bergelayut manja di pangkuanku.

"Dari lorengnya...." Aku melihat Nini menyipit mendekatkan fotonya. "Nini merasa ini harimau Sumatera."

"Apa ibu marah bila ada binatang yang disakiti orang-orang?"

Unknown Person✔Where stories live. Discover now