Chapter 9 - I'm Not Leon

18 9 12
                                    

Cerita Unknown Person diikutsertakan dalam challenge 100 Days writting. Happy reading^^
famts_writer vee_corvield Beelzebell_

****

Pintu ditutup dengan pelan. Pandangan pemuda beriris ambar itu hampa. Kakinya pun terseok-seok lamban. Ketua Kelas tiada, dia sudah pergi sebelum Leon melarangnya.

"Aku lupa ada rapat antar ketua kelas, maaf." Begitu katanya. Tak disangka lelaki gendut itu pamit tanpa mengantarkan Leon ke tempat aman dari bahaya guru. Ia turun dari tangga. Mendadak dengung memenuhi isi telinga, entah dari mana asalnya. Sepasang sepatu sekolah sekelam film hitam putih terpijak di lantai bawah dan tak mampu bergerak.

Dengungannya makin kuat. Gendang telinga serasa mau meledak. Leon tutup kedua daun telinga kuat-kuat. Perlahan tubuhnya merosot berujung jongkok di tengah jalan. Peluh bercucuran membasahi muka, tapi tak menghilang gelombang mengerikan ini. Siapa saja, Leon butuh pertolongan. Dadanya mulai sesak.

"Kau sering dengar musik ini, kan?"

Sesuatu yang empuk menggantikan tugas kedua tangan Leon, disusul lantunan lagu gitar akustik yang mengusir dengungan itu. Efeknya menghilang. Tak ada rasa gemetar di dalam tubuhnya. Spontan ia buka mata, meraba benda yang melingkar di kepala dan menutupi telinga. Ini headphone, tapi punya siapa? Leon celingak-celinguk sambil berdiri menaruh headphone di leher. Tak ada siapa-siapa di sini. Siapa yang bicara tadi?

"Leon?" Sir Robert datang dengan tangan ke belakang, berdiri tegap menatap Leon yang kebingungan. "Kamu mau absen sekolah?"

"Hah?" Sudut bibirnya tertarik sebelah. Susahnya telan saliva. Ia bukan tertangkap basah oleh temannya, melainkan kepala sekolah! "G, gak kok. Aku lagi cari...."

"Cari apa? Biar saya bantu."

"Saya pergi ke kelas dulu! Maaf!" Tanpa bungkuk hormat atau menyalami Sir Robert, Leon lari terbirit-birit menuju kelas. Ia tak peduli Sir Robert menyerukan namanya. Leon tak mau dicap sebagai 'Siswa Nakal' di sekolah.

Sir Robert mendesah berat dan menggeleng lemah. "Anak zaman sekarang gak ada sopan santun."

"Sir Robert?" Merasa terpanggil, ia berbalik menghadap lelaki berkacamata bangsawan yang baru saja turun dari lantai atas.

"Kau rupanya. Ada masalah selama patroli, Ash?" Sir Robert mulai membuka pembicaraan. Ash justru tak menjawab, melengos dari pandangan Sir Robert. "Hei, kamu belum jawab pertanyaanku."

Langkah sepatu slip on hitam pun berhenti. Sir Robert tak peduli dia melirik kosong. "Siswa tak boleh diganggu, Tuan." Setelahnya ia pergi menggenggam salah satu tali tas gendong.

"Lalu kenapa kau menyapaku?" Sir Robert terlambat berbalik menatap siswanya. Ash sudah keluar dari gedung kelas 10. Meski begitu, Ash hanya mendengkus kecil sebagai jawaban.

Pikirnya, mungkin kata 'payah' pantas untuk pria gila harta seperti Sir Robert.

****

"Sekian pembahasan kita kali ini." Jam pelajaran sejarah dunia berakhir dengan tertutupnya buku ringkasan materi. Siswa-siswi mulai melancarkan serangan khas pelajar: mengobrol dan berkeliaran ke sembarang kursi. Leon kewalahan menulis materi di papan tulis hitam. Semuanya berbahasa Inggris, ditambah ada beberapa frasa yang penulisannya berbelit.

Manik ambarnya bergerak ke sembarang arah. Tak ada Ketua Kelas di sini. Sepenting itukah rapatnya?

"Leon!" Seseorang memanggilnya, tentu ia tersontak kaget. Satu siswa di bawah bangku itu berdiri di samping guru, melambai mengisyaratkan untuk menghampirinya. Leon turuti perkataannya. Ia beranjak dari bangku, lantas turun dari tangga untuk menemui guru yang dimaksud.

"Kamu Leon, murid baru hasil pertukaran pelajar?" Wanita itu yang memulai pembicaraan. Rambutnya yang membuatnya terlihat muda, meski banyak kerutan di mana-mana. Hanya modal ikat ekor kuda tanpa poni saja.

Leon mengangguk sopan. Ia merasakan aura putih menguar dari tubuh wanita tersebut. Dia orang baik, Leon tak boleh menyakitinya.

"Panggil saya Miss Retta," katanya membenarkan buku di pelukannya. "Boleh kita bicara sebentar?"

Leon merasa ada suatu kejanggalan dari omongan guru ini. Apa ia kena masalah di sekolah? Atau dia sudah tahu kalau—

"Saya gak cari masalah kok, cuma mau ngobrol ringan biar saling dekat." Dia seperti membaca pikiran Leon! Miss Retta cukup meyakinkan. Tak masalah bila sekadar mengobrol. Apalagi senyum manis di bibir semerah bunga mawar.

Akhirnya Leon mengiyakan ajakan Miss Retta lewat anggukan singkat. Wanita paruh baya itu pergi melewati Leon. "Ah, izinkan saya untuk...."

"Iya." Sepatu stiletto hitam mengkilap berlenggok berbalik arah. Rambutnya tersibak halus ke bahu bagai ekor kuda. "Kamu boleh kemasi buku dan alat tulismu. Saya tunggu di luar, ya."

"Yes, Miss." Ia membungkuk hormat, mengamati punggung wanita kurus yang keluar dengan sedikit melenggok. Hal apa yang akan dibahas, Leon tak tahu sama sekali.

Selepas kemasi barang-barang di meja, ia keluar menemui Miss Retta yang bersandar mengetuk ujung sepatunya. Wanita dengan blouse kelabu itu menyadari kehadiran Leon. Ia berdiri tegak mempersilakan Leon untuk mengikutinya. Sejujurnya, Leon ingin tanya pada Miss Retta, tapi ... ia takut dengan guru temperamen. Tak apa, Leon hanya ingin tahu. Ia berdeham sejenak.

"Miss Retta?"

"Iya, Leon?" Dia menyahut! Leon nyaris menahan napas. Nasib baik ia mendelik kaget.

"Kenapa Miss Retta ... ingin menemui saya?" tanya Leon kalut.

"Nanti kamu tahu setelah sampai di ruangan saya," jawabnya tanpa menoleh sedikitpun, mengundang rasa penasaran di benak Leon. Apa yang akan dia bahas nanti?

****

"Jadi kamu sudah tahu soal artikel di dark web?" Ruang kelas jurnal menjadi saksi bisu perbincangan mereka. Secangkir teh hitam tubruk mengeluarkan aroma yang menenangkan.

"Iya," Leon menjawab dengan anggukan pelan. "Apa benar aku bahaya untuk mereka?"

Tangan kurus berhiaskan cincin pernikahan terulur mengambil secarik kertas di tasnya. "Dilihat dari data ini, kemungkinan kamu cukup bahaya sebagai siswa, Leon. Bisa saja alter egomu keluar karena berbagai rundungan khas pelajar."

"Bisa saja...." Leon mengerling gelisah. Tangannya berkeringat sampai tak larat menghantarkan panas saat digosok. "Soal yang masuk daftar siswa paling disegani itu, bisa dijelaskan seberapa bahayanya mereka?"

"Kamu akan tahu sendiri, Leon." Lagi-lagi dia melebarkan senyumnya, buat Leon menatap jijik. "Ah, diminum tehnya."

"No, thanks," tolaknya menunduk sekejap, lalu berdiri tegap. Netranya bertukar hangat. "Saya harus mengerjakan tugas sekolah. Saya minta maaf tak bisa berlama-lama di sini."

"No problem, Leon."

Pintu tertutup lembut, tapi engselnya masih digenggam. Pemuda berambut cokelat itu menunduk tak bergerak. Banyak pasang mata mengarah padanya dengan keheranan. Padahal di balik mukanya yang tak disinari matahari, ia menyeringai lebar. Irisnya menyala berwarna emas, bahkan pupilnya meruncing.

"Mari aku lihat bagaimana pandangan mereka terhadap sosok bernama Leon ini." []

Tanggal revisi: 2 November 2020

SPOILER ALERT!

SPOILER ALERT!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Unknown Person✔Where stories live. Discover now