Bagaimana jika ??

6.5K 986 40
                                    

"Bagaimana ceritanya kamu bisa kayak gini? Coba kalo aku nggak datang, pasti luka kayak gini di sepelein."

"Kakak Iparku pasti berfikir kalo luka lebam kayak gini cuma perlu dikompres pakai es batu."

Memang hal pertama yang terfikir diotak semua orang saat memar adalah kompres es batu, rupanya hal ini tidak cukup untuk Bu Dokter satu ini.
Seakan belum cukup sampai disitu, Dokter Ale kini kembali melanjutkan omelannya, tanpa menggangu tangan lincah itu mengobati memarku karena ulah Mahendra.

Kali ini, seusai bertemu Mahendra, bukan hanya syok yang kudapatkan, tapi juga luka, dan sekarang ditambah dengan telingaku yang pengang karena Dokter Ale.

"Orang gila mana coba yang sudah berani nyakitin Embaknya Cucu Pak Pres?"

"Apa orang itu buta, kalo kamu itu sama Sandika?"

"Jangan-jangan, Kak Sandika ngebiarin kamu sama Sarach pergi sendiri tanpa Anggara atau Fandy."

Aku mengeryit kesakitan saat Dokter Ale menekan lengan dan bahuku dengan cukup keras tanpa belas kasihan.

Melihatku yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya membuat Dokter Ale menggeram kesal, perempuan yang hamil mendekati 8bulan ini terlihat begitu jengkel saat mengobati memar demi memar yang kudapatkan.

Berbagai gerutuan terdengar silih berganti dari bibir tipis yang kini mengerucut ini, menyalahkan segala hal dan mengutarakan segala kemungkinan yang dijawabnya sendiri, hanya Dokter Ale seorang dan ruang keluarga rumah Sandika Malik ini begitu riuh akan suaranya.

Jika dipikirkan Dokter Ale dan Mayor Sengkala merupakan pasangan yang serasi dalam artian saling melengkapi satu sama lain. Dokter Ale begitu ramai melengkapi Mayor Sengkala yang sangat pendiam.

Kadang aku berfikir, mungkin saja Dokter Ale menikah dengan Mayor Sengkala karena hanya dia satu satunya perempuan yang mau dengan Mayor masam tersebut.

"Kak Sandika! Kamu itu ngapain saja sih, Mbaknya Jelita sampai kayak gini, ditanya mbok ya dijawab, berasa ngomong sama patung tahu nggak sih."

Mendapati aku sama sekali tidak menanggapi celotehannya membuat Sandika kini yang sedang duduk berdampingan dengan Mayor Sengkala, menjadi sasaran gerutuan Dokter Ale berikutnya.

Melihat Sandika yang tampak ngeri melihat wajah kepo bercampur geram adik iparnya karena luka yang kudapatkan tidak kunjung dijelaskan padanya, pasti Sandika sekarang sedang menyesali keputusannya menerima kunjungan Adik dan Iparnya ini tepat setelah kami kembali dari Mall.

"Apaan sih Le! Kurang-kurangin deh keponya!"

Teguran dari Mayor Sengkala membuat Dokter Ale langsung melengos, menyelamatkan Sandika dari amukan adik iparnya yang dilanda rasa ingin tahu akut ini.

Melihat Dokter Ale yang kini merajuk manja pada Suaminya membuatku bertemu pandang dengan Sandika, untuk sejenak mata kami bertemu, entah aku salah lihat atau tidak, tatapan mata sarat akan kekhawatiran terlihat diwajahnya saat menatapku.

Hingga akhirnya kami berdua sadar diri untuk undur dari depan pasangan yang kini seakan terlena akan dunianya sendiri, saling menggerutu dan menggoda satu sama lain, walaupun hal itu harus mengusir tuan rumahnya.

"Sengkala berubah jadi bucin akut kalo sama Ale." Kata-kata itu yang pertama kali terdengar dari Sandika saat kami memilih melipir ke dapur.

"Namanya cinta Mas, tai ayampun jadi rasa coklat." ucapku acuh, berkaca pada diriku sendiri yang bisa bahagia tanpa sebab setiap kali melihatmu, ucapku dalam hati, bahkan untuk memandangnya saja aku tidak berani.

Jelita dan Sandika Tersedia EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang