Mahendra Gumilang

6.6K 1K 54
                                    

"Lit..."

Suara Sandika yang tepat berada di belakangku membuatku berbalik, wajahnya yang kesal terlihat begitu lucu saat dia mengacungkan dasi berwarna hitam padaku.

Aku mengulas senyum paham akan maksudnya tanpa dia harus mengutarakan nya, sekarang aku sudah terlampau hafal dengan kebiasaan Ayah dan anak ini, walaupun aku harus menahan melilit di perutku akibat dari beragam ekspresi Sandika yang menggemaskan untukku.

Sekarang, aku mulai belajar untuk bersahabat dengan patah hati dan mulai berteman dengan kenyataan, jika Jelita Maheswari yang dulunya selalu mendapatkan apapun dalam hidupnya sekarang ini mendapatkan pengecualian.

Kini aku mencoba merelakan jika hanya ini batas maksimalku di kehidupan Sarach khususnya Sandika, aku harus belajar menerima jika selamanya didepan Sandika aku hanyalah partner untuknya dalam mengasuh Sarach selama dia sendiri.

Tidak lebih dan tidak akan berubah, seiring dengan berjalanya waktu rasa perih itu mungkin akan semakin terbiasa untukku, selama aku masih bisa bersamanya dan Sarach itu sudah cukup untukku sekarang ini.

Biarkan aku menyimpan rasa ini sampai dibatas waktu aku tidak boleh menyimpannya lagi. Meresapi setiap kebahagiaan saat melihat dua orang ini saling melempar senyum padaku saat bertemu.

"Ayah pinter, tapi ngga pernah bisa pasang dasi sendiri!" Cibiran Sarach yang tiba tiba terdengar, membuatku tersenyum geli. Kuraih dasi Sandika dan mulai menyimpulnya pada laki laki yang selalu membuat lututku lemas seketika hanya dengan mencium wanginya yang begitu maskulin khas laki laki matang dan mapan.

Awalnya memang canggung, terlebih saat berhadapan dengan wajah tampan yang membuatku jatuh hati ini, tapi semakin aku menghindari Sandika, semakin getol pula Sandika mengakrabkan diri, seakan dia mencari pembuktian akan kalimatku tempo hari jika aku tidak mempunyai perasaan lebih padanya.

Memastikan jika aku hanya menganggapnya teman seperti dia menganggapku.

"Ayah bisa Sarach, tapi ngga ada yang serapi Mbak Jelitamu, bahkan Bik Ami saja kalah."

Aku mendengus tertahan mendengar kalimat sanggahan Sandika ini, terdengar lucu saat mendengarnya mencoba menyelamatkan diri di depan Putrinya yang begitu kritis.

Kutepuk dada Sandika perlahan, sembari merapikan kemejanya sebelum kembali menatap wajah tampan yang kini terlihat sedikit jengkel karena terus menerus di ejek Sarach.

"Udah beres." ucapku sembari mengacungkan jempolku padanya. Sandika tersenyum terpaksa, membuatku merasa ada yang janggal pada dirinya," kenapa Mas?"

"Aku gugup!!m"

Haaah, seorang Sandika gugup? Apa yang membuatnya gugup seperti ini, tak pelak hal ini membuatku terkejut dibuatnya.

"Memangnya kenapa?"

"Ada rapat buat proyek baru." jawabnya ambigu, jika hanya rapat untuk proyek baru, tidak mungkin dia segugup sekarang ini.

"Lha terus?" tanyaku semakin keheranan.

Ayooolah, ini benar Sandika Malik yang begitu angkuh dan suka mengintimidasi siapapun yang menentangnya atau bukan?
Sandika menunduk, berbisik tepat di telingaku saat melihat wajah ingin tahuku barusan, "Dan sialnya, mitra proyekku kali ini ..." aku bisa mendengar Sandika bergidik ngeri sebelum melanjutkan, " ... Anak temannya Ibu yang pernah hampir dijodohkan denganku, dan begitu dengar kalo aku sudah cerai, dia makin getol deketin aku."

Aku melihat Sandika yang kini duduk dan sarapan bersama Sarach dengan pandangan miris, kenapa sulit sekali berteman dengan patah hati, baru saja aku akan belajar dan ada hal lagi yang membuatku kembali berkeping-keping.

Jelita dan Sandika Tersedia EbookWhere stories live. Discover now