02. Mau Saya Rendang?

1.8K 421 92
                                    

"Kebiasaan yang membuat seseorang kesal, bisa menjadi kenangan yang tak mudah untuk dilupakan."

"Bangun, kebo!! Jam berapa, nih!" teriak Devid membangunkan Acha yang masih terlelap.

"Ehmm, jam berapa, Dev?" tanya Acha.

"Enam!"

"Hadeuhh masih lama, atuh! Gimana, sih!"

"Sekarang Senin, upacara bego!"

Mata yang tadinya terpejam dengan cepat terkejut melotot, Acha melirik jam beker yang ada di nakas.

"Astaga! Jangan tinggalin gua, Dev!" jerit Acha sembari cepat-cepat menuruni tangga tanpa pamit kepada Dinda yang sedang menyiram bunga.

"Tidur duluan, bangun kesiangan! Dasar, Changcuters," gumam Devid mulai merapikan ranjangnya karena ulah Acha.

"Ma! Acha kesiangan ... makannya nanti aja, ya!"

Sinta hanya bisa mengembuskan napas kasar. "Makanya tau waktu! Kapan tidur sama bangun, begadang, ya?"

"Enggak! Acha cuma males bangun, hehehe," kekehnya dengan tergesa-gesa memakai sepatu.

"Neng Acha, buru-buru amat! Biasanya juga siang!" ucap Om Yogi di tamannya.

"Senin, Om! Mau upacara!" balas Acha.

"Hahaha, pantesan!"

"Mari Om duluan, Ma! Aku berangkat!"

"Hati-hati, Sayang," balas Sinta dari dalam.

"Jangan ngebut, Neng."

"Siap atuh Om, hehehe." Digoesnya sepeda gunung milik Acha, di depan sudah terpampang wajah tampan dan gagahnya Devid menatap jam tangannya kesal.

"Lama banget! Kalo kesiangan gimana?" gerutu Devid menyejajarkan sepedanya dengan Acha.

"Salah sendiri! Bangunin gua waktu lo udah mandi!"

"Heh! Yang salah elu! Jam beker di samping masih aja tuli, kebo lu!"

"Bacot! Kebut aja!" teriak Acha mengalahkan bisingnya suara kendaraan yang hilir mudik mengantarkan anak sekolah.

"Siapa takut!!" Devid dengan cepat menggoes kecepatan tinggi.

****

"Jangan ...!" Serempak mereka berdua berteriak, membuat satpam yang akan menutup gerbang sekolah terkejut dan membukanya kembali dengan cepat.

"Hampir!" ucap Acha masih ngos-ngosan.

"Bahaya! Bau keringat gua," umpat Devid sambil mengipas-ngipas bajunya dengan tangan dan menyisir rambut hitam legamnya ke belakang.

"Lebai banget!" protes Acha dan berlari munuju kelas meninggalkan Devid.

"Anjir! Ditinggalin lagi!" Dikejarnya Acha sampai terdengar suara toa memanggil mereka berdua.

"Acha! Devid! Cepat atau akan dihukum!!"

"Iya, Pak ...!" teriak mereka.

Kegiatan yang rutin setiap Senin dilakukan telah tuntas, semua murid bubar dengan kebahagiaan kecuali untuk kelas sembilan yang akan menghadapi ujian Nasional.

"Kami harap, kalian bersungguh-sungguh mengerjakan semua soalnya! Dan, jangan sampai ada yang telat lagi seperti waktu geladi bersih, mengerti!?"

"Mengerti, Pak ...."

"Apa perlu saya ingatkan kepada langganan kesiangan?!"

Semua mata tertuju kepada Acha dan Devid. "Maaf, Pak," ucap serempak si tersangka.

"Baik. Semoga kalian mendapat nilai yang sangat memuaskan!! Silakan kembali ke kelas!"

Semua bubar dengan terburu-buru karena cahaya matahari yang membuat siapa pun tak nyaman di bawahnya.

"Emangnya kita doang yang suka kesiangan, Dev?" tanya Acha heran.

"Santai ajalah, Chang, berapa minggu lagi kita lulus, ya, 'kan?"

"Hahaha bener, tuh! Ngapain dipikirin, nih, sekolah terkutuk!" cetus Acha tanpa pikir panjang.

"Sekolah mana yang terkutuk?!" Suara bass dari belakang, membuat Acha dan Devid mematung tak mampu menjawab.

****

"Changcuters ... semua gara-gara, lo! Bacot amat, tuh, mulut!" sungut Devid masih menggosok wc khusus pria.

"Heh! Tai kuda, elo yang duluan ngajak ngomong, jadinya gua terpancing, deh!"

"Elo yang nanya! Makanya punya mulut jaga! Gimana mau jadi novelis!"

"Anjir! Jangan bawa-bawa mimpi gua, ya!"

"Emang fakta!"

"Bac—"

"Kenapa kerjanya pake ngomong?! Mau saya rendang? Bisa tidak fokuskan pada satu tujuan!" jelas seseorang yang berhasil mencyduk mereka tadi.

"Ma—maaf, Pak," jawab Devid gemetar.

"Kamu, Devid! Jaga ucapanmu."

"Kok saya, Pak? Kan Chang—ehh! Acha yang ngomong sekolah terkutuknya," balas Devid tak terima.

"Chang?! Apa yang kamu maksud! Itu adalah perkataan kotor yang tidak pantas diucapkan anak sekolah! Mengerti kamu?!"

"I—iya, Pak."

"Hahaha!"

"Kenapa kamu tertawa, Acha?!"

"Eh—enggak kok, Pak."

"Kerjakan dengan cepat! Karena kalian masih harus belajar!"

"Iya, Pak ...," jawab mereka lesu.

Setelah terlihat tak nampak lagi guru yang menghukumnya, Acha melangkahkan kaki menuju Devid berada.

"Udah dibilangin, panggil 'Acha Imutz' malah ngelawan! Mau apa kamu? Mau saya rendang, hah?" sindir Acha menertawakan Devid.

"Bacot!"

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang