Pulang

0 0 0
                                    

Dua tahun berlalu begitu saja. Aku tidak pernah lagi mendapat pesan singkat ataupun telepon dari Dennis. Terakhir kalinya Dennis menghubungiku adalah sesaat sebelum aku berangkat ke Singapore. Semenjak itu ia seakan hilang di telan bumi.

Tentu saja aku sadar, dia sudah bertunangan. Tidak mungkin lagi ia akan bermain-main dengan perasaannya. Dan bodohnya, aku masih saja menunggunya.

Aku dan Niko tetap dekat seperti dahulu. Dan aku tahu Niko masih berusaha membuatku menyukainya. Dan Niko pun tahu kalau hatiku masih terhenti pada Dennis. Beberapa kali aku pulang ke Indonesia, beberapa kali pula aku berhenti di depan rumahnya hanya mampu menatapnya tanpa pernah berani menekan tombol bel. Atau aku hanya akan menatap ke jalan dari jendela kamarku, berharap aku bisa melihat Dennis keluar. Tapi tidak pernah sekalipun aku menemukannya.

Dan hari ini aku sudah kembali ke Indonesia untuk beberapa hari. Bukan tanpa alasan. Ada undangan reuni angkatan kelasku. Dan hal itu yang membuatku nekat kembali ke Indonesia di tengah semester padatku. Aku rasa rinduku pada Dennis sudah terlalu besar.

Aku berharap bisa bertemu dengannya walau hanya sebentar. Walau hanya dapat memandangnya saja, memastikan bahwa ia baik-baik saja dan bahagia sudah cukup buatku.
———————————————————————————
"GITA!! Ke mana aja?" Beberapa teman kelasku dahulu menghampiriku ketika melihatku datang.
"Iya nih. Sibuk banget ya kuliah di sana?" Aku hanya terkekeh mendengar pertanyaan mereka.
"Duh, dari dulu gak berubah. Tetap saja dingin. Haha." Aku ikut tertawa pelan.

Bukan hal baru bagiku mendengar sebutan itu. Sejujurnya bukan aku tidak ingin menjawab pertanyaan mereka, tapi mataku sibuk mencari Dennis.

Tapi aku tidak bisa menemukannya. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di sebelah Agus. Berharap aku bisa mendapat sedikit informasi darinya. Tapi nihil. Ia pun hanya terdiam seakan enggan memberi tahuku kabar sahabatnya itu.

Hampir saja aku memutuskan untuk pulang di tengah acara ketika aku melihat Dennis masuk. Semua meneriaki Dennis yang datang terlambat. Aku duduk kembali diikuti tawa Agus. Tak perlu lama bagiku untuk memelototinya. Dan tentu saja Agus masih menahan tawanya.

Pandanganku tak bisa lepas dari Dennis semenjak ia melewati pintu masuk itu. Dan kini ia duduk di sebelahku setelah ia mengusir Agus agar pindah.

"Apa kabar?" Dennis berbisik di antara ributnya suara celotehan yang lain.
"Baik."

Aku menatap lekat mata cokelat Dennis. Dennis tersenyum. Ah, aku rindu sekali senyumannya. Dennis kembali melanjutkan makannya. Dan aku masih mencuri-curi pandang ke arahnya. Aku yakin Dennis pasti tahu itu.

"Sama siapa ke sini?" Aku menoleh dan mendapati Dennis tengah menatapku lembut. Dan sukses membuatku salah tingkah.
"Sendirian."
"Naik apa?"
"Tadi diantar Ayah."

Hening kembali. Tapi kali ini Dennis masih menatapku.

"Niko apa kabar?" Aku tersentak.
"Baik."
"Kok gak kelihatan?" Dennis mengedarkan pandangannya mencari Niko.
"Gak ikut, ada tugas penting katanya." Dennis menganggukan kepalanya ketika mendengar jawabanku.

"Kamu sama Niko gimana?" Lagi-lagi aku tersentak oleh pertanyaan Dennis.
"Baik-baik saja."
"Kamu sama Karina gimana?" Kuberanikan diriku bertanya tentang hal itu. Dan sialnya, masih saja hatiku terasa sakit.
"Baik." Dennis tersenyum.

Ah, kenapa dia harus tersenyum terus.

"Nanti pulang sama aku ya."
"Gak usah, gak apa-apa. Nanti Ayah jemput."
"Gak apa-apa. Kita kan searah."
"Makasih, Dennis. Tapi beneran gak usah."
"Gita Indriyani."

You are my destinyWhere stories live. Discover now