Orang Baru

0 0 0
                                    

Sudah satu minggu sejak kejadian Karina melabrakku. Niko menepati janjinya untuk tidak bercerita kepada Dennis. Dan sejak saat itu, aku dan Niko tiba-tiba saja menjadi dekat. Niko akan duduk di sebelahku ketika bel tanda istirahat berbunyi, mendahului Dennis.

"Git, ke kantin yuk. Masa lo gak pernah ke kantin sih?" Seperti hari-hari lainnya, Niko kekeuh mengajakku pergi ke kantin.

Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak mau mencolok dengan harus pergi ke kantin, di mana di sana pasti akan ada Karina dan Dennis. Ditambah lebam di lenganku yang belum kunjung hilang.

"Ayo dong. Malah ngelamun." Niko tiba-tiba menarik tanganku, memaksaku dengan lembut untuk berdiri.

Tiba-tiba saja dari arah belakang terdengar bunyi meja dipukul, dan suara kursi ditendang diikuti dengusan keras. Aku dan Niko menoleh, dan mendapati Dennis yang sedang mengumpat sambil berjalan melewati kami.

"Are you okay?" Niko bertanya ketika melihatku menghela napas.
"Sorry, tapi gue gak mau ikut ke kantin."
"Kenapa? Karena Dennis?" Aku melotot mendengar perkataan Niko.
"Stop menyangkut pautkan gue dengan dia."
"Kalau begitu, ayo. Buktikan ke mereka kalau lo memang kuat." Lagi-lagi Niko menarik pelan tanganku.
"Nik, gue ikut tapi gak sambil pegangan tangan ya." Aku menyadarkan Niko. Seketika ia melepas genggamannya sambil meminta maaf.

Aku melangkah pelan sambil mengatur hatiku menuju kantin bersama Niko.

"Everything's gonna be alright, Git." Niko meyakinkanku dengan senyumannya yang tentu saja kubalas dengan senyuman terpaksaku.
———————————————————————————
"Kenapa lo? Datang-datang muka ditekuk gitu?" Goda Agus ketika melihat sahabatnya datang sambil menahan amarah.
"Oh, pantas saja marah. Gara-gara itu, kan?" Agus menunjuk ke arah Gita dan Niko yang sedang berjalan beriringan menuju kantin.

Dennis mendengus kesal, memalingkan wajahnya ketika ia melihat Gita tersenyum pada Niko.

"Berarti betul ya gossip waktu dulu." Agus masih terus memancing Dennis. Ia tahu, Dennis sedang terbakar cemburu melihat Gita dengan Niko.
"Bukan urusan gue." Agus menahan tawa mendengar jawaban Dennis.
"Siapa tahu lo mau tahu, katanya dulu Niko memang sudah naksir sama Gita. Dia patah hati banget waktu tahu kalian jadian. Mungkin, sekarang dia baru berani kali ya mendekati Gita."
"Dulu kan Gita tidak tersentuh. Mana ada yang berani mengganggu kekasih raja di sekolahnya." Sambung Agus.

Dennis masih terdiam. Tak lama kemudian, ia hendak pergi mengejar Gita. Tapi, Karina terlebih dahulu sudah datang menghampirinya. Agus memilih untuk pergi sebelum mulutnya terus menggoda Dennis dengan Gita.

"Kamu kenapa sih?" Karina menyadari bahwa Dennis beberapa hari ini bukan seperti Dennis yang ia kenal.
"Gak kenapa-kenapa."
"Tuh, jawabnya jadi singkat-singkat. Terus, biasanya kamu senyum terus kalau lihat aku. Kok sekarang manyun terus bibirnya."
"Aku gak manyun ya." Suasana hati Dennis mulai mencair.
"Harusnya gue lebih fokus sama Karina, bukan masa lalu." Dennis bergumam dalam hati.
"Nah, gitu dong. Kalau senyum kan jadi ganteng."
"Dari dulu juga ganteng. Haha." Karina dan Dennis tertawa.
———————————————————————————
"Git." Niko memanggil pelan.
"Gue balik ke kelas dulu ya. Masih ada tugas yang belum selesai." Segera kuberlari meninggalkan Niko yang masih memanggilku.

Bukan, bukan karena itu alasanku berlari kembali ke kelas. Sudah jelas, alasannya adalah Dennis. Sial bagiku, melihat mereka berdua sedang tertawa. Aku memaki Dennis dalam hati. Rasanya baru kemarin dia memintaku kembali, kini dia sudah bersenang-senang kembali dengan Karina.

"Gita." Seketika aku membeku mendengar suara yang sudah sangat aku kenal. Sial, kenapa di kelas hanya aku sendirian.
"Boleh duduk?" Aku menoleh kemudian mengangguk.
"Maaf." Itu kata-kata pertama Dennis ketika ia duduk di sampingku.
"Untuk?"
"Untuk semuanya. Maaf menganggu kamu beberapa hari terakhir. Maaf untuk..."
"Ini kenapa?" Belum selesai Dennis berbicara, ia terlanjur melihat luka lebamku. Segera ku sembunyikan lenganku di bawah meja.
"Gita." Dennis memanggilku pelan.
"Gita Indriyani."

Aku tahu, ketika Dennis sudah memanggil nama lengkapku, ia tidak ingin dibantah. Tapi, kali ini aku masih menyembunyikan tanganku. Aku tidak mau Dennis bertanya lebih banyak.

Tak lama kemudian, Dennis meraih tanganku, menariknya kembali ke atas meja dengan perlahan. Aku meringis, menahan sakit ketika tangan Dennis menekan lukaku.

"Ini kenapa?" Aku masih diam.
"Kamu yang cerita, atau aku yang cari tahu sendiri?" Aku mendelik mendengar kata-kata Dennis. Buru-buru aku jawab.
"Jatuh."
"Jatuh di mana?"
"Eee.. Eee..."
"Gita."
"Jatuh di tangga rumah." Aku terpaksa berbohong.
"Kapan?"
"Minggu kemarin."
"Sudah, gak apa-apa kok." Lanjutku sambil menarik kembali tanganku kemudian kembali ku sembunyikan di bawah meja.

Dennis menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Kamu ingin aku percaya dengan ceritamu?" Aku menoleh menatap mata Dennis, dalam hati memohon agar Dennis tidak mencari tahu tentang lukaku.
"Dennis." Aku memanggilnya pelan.
"Iya?"
"Tadi mau bilang apa?" Segera kualihkan pembicaraan ini.
"Gita." Dennis menghela napas.
"Aku sudah tidak ingin membahasnya."
"Lalu?"
"Lalu? Lalu, aku akan bertanya sekali lagi. Lenganmu kenapa?"
"Jatuh, Dennis." Aku memaksakan senyum.
"Kamu tahu, aku kenal kamu bukan kemarin sore. Dan kamu tahu kan, aku tahu ketika kamu berbohong."
"Lihat, telingamu memerah." Kata Dennis sambil menyentuh pelan telingaku.

Aku tersentak dan hanya bisa diam mematung. Sungguh, hatiku tidak bisa kuajak bekerjasama. Tidakkah ia lelah berdebar ketika dekat dengan Dennis.

"Gita!" Suara Niko membuat Dennis melepaskan tangannya.
"Niko?"
"Lo ngapain di sini?" Tanya Niko ketika sudah berdiri di hadapan Dennis.
"Ngobrol sama Gita. Gak boleh?" Dennis masih duduk dengan santai.
"Sudah sana, pergi. Gita gak mau dekat-dekat dengan lo." Dennis tertawa kemudian melihatku.
"Iya?"

Mana bisa aku jawab! Aku tentu saja ingin dia ada di dekatku. Tapi, tentu jawaban itu akan menjadi salah karena Dennis sudah bukan milikku lagi.

Kalau aku menjawab iya, aku takut menyakiti Dennis. Ditambah, sudah jelas aku ingin dia ada di dekatku.

"Gita?" Ulang Dennis.

Sungguh manusia ini memang benar-benar iseng. Aku tahu, Dennis sengaja menggodaku. Karena ia tahu jawabanku tentu saja tidak. Semudah itu aku ditebak.

"Lo harus inget, Nis. Lo itu sudah punya pacar. Jangan lo bikin sakit hati." Niko seakan menyadarkan Dennis.

Kulihat Dennis berdiri menatap tajam Niko. Tangannya sudah terkepal menahan amarah. Hampir saja kutahan tangan Dennis seperti dahulu. Tapi, seketika aku mendengar teriakan Karina membuatku mengurungkan niatku.

"Dennis! Aku cariin ke mana, taunya di sini."
"Lagi pada ngapain?" Karina menatap kami satu-satu.
"Jagain pacar lo tuh. Jangan suka gangguin pacar orang." Aku mendelik. Bukan, bukan cuma aku. Dennis serta Karina pun ikut membesarkan bola matanya.
"Wah! Selamat ya. Akhirnya Dennis bisa tenang deh." Karina memecah keheningan.
"Akhir-akhir ini Dennis khawatir sahabat kesayangannya belum move on. Iya, kan?" Karina meminta persetujuan dari Dennis. Dennis hanya bisa terdiam.
"Kalau begitu, ayo kita keluar sayang. Jangan mengganggu pasangan baru. Hehe." Kata Karina sambil menarik pelan lengan Dennis.

Dennis tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti Karina. Kulihat ia sempat menoleh padaku meminta kepastian sebelum Niko berdiri menghalangi pandanganku.

"Gita." Panggil Niko pelan.
"Niko! Lo apa-apaan sih? Sejak kapan kita pacaran?"
"Sejak tadi. Lo gak mau?"
"Gosh! Niko!" Aku menahan amarahku.
"Kalau memang lo gak mau silahkan tolak gue secara langsung." Aku terdiam. Bukan karena aku ingin menerima Niko menjadi kekasihku. Tapi, aku takut menyakiti Niko.
"Atau, lo bisa pakai gue sesuka lo."
"Maksud lo?" Aku melihat Niko tersenyum sebelum akhirnya duduk di sebelahku.
"Gue tahu kok, lo masih ada perasaan kan sama Dennis. Lo bisa pakai gue sebagai pelarian lo, lo bisa pakai gue sampai lo benar-benar melupakan Dennis. Atau bahkan lo bisa pakai gue supaya Dennis kembali lagi sama lo."
"Niko! Kalau ngomong jangan ngaco!" Sungguh aku tidak mengerti jalan pikirannya.
"It's up to you. Lo bisa suruh gue pergi dari sisi lo, atau lo bisa membiarkan gue tetap di sisi lo."
"Niko. Gue gak pernah sekalipun anggap lo lebih dari teman."
"I know Git. Gue tahu. Makanya, gue bilang. Lo bisa suruh gue pergi, atau tetap di samping lo."
Aku menghela napas.
"Tapi jangan berharap gue akan berubah ya." Aku menyerah. Berharap pilihanku ini yang terbaik untuk semuanya.
"Ya, let's see aja." Kata Niko sambil tersenyum sebelum kembali ke tempat duduknya di pojok kanan.

You are my destinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang