Bimbang

0 0 0
                                    

Semenjak Dennis mendengar bahwa aku dan Niko "berpacaran", aku merasa Dennis mulai menjauhiku. Aku tidak lagi pernah melihatnya ada di dekatku.

Sejujurnya, aku merasa ada yang hilang. Tadinya aku berniat menjelaskan semuanya pada Dennis, tapi setelah ku pikir-pikir, Dennis tidak perlu penjelasan dariku juga kan? Dia sudah memiliki kekasih.

Beberapa minggu ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak hanya karena memikirkan persoalan ini. Sedangkan, otak dan tubuhku harus bekerja keras dalam menghadapi Ujian Akhir Semester.

"Selesai juga." Aku merentangkan tanganku ke atas.

Kulihat sekelilingku. Tidak terasa waktu sekolahku di SMA akan segera berakhir. Aku menghela napas pelan, membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Apa yang akan terjadi antara aku dan Dennis.

"Mau pulang?" Tiba-tiba saja Dennis sudah berdiri di sampingku.
"Iya."
"Ayo, bareng." Dennis berjalan mendahuluiku. Kukejar Dennis dan berjalan beriringan.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kenapa kita pulang bareng?"
"Kan rumah kita satu arah."
"Motor kamu?"

Aku sadar semenjak aku dan Dennis dihukum bersama, dalam sekejap sikap dinginku mulai mencair. Terbukti bahwa aku sudah enggan menggunakan kata 'gue dan elo' padanya.

"Di bengkel. Rusak."
"Oh." Kami berjalan beriringan melewati ramainya murid-murid sekolah kami yang tujuannya sama. Pulang ke rumah.
"Gak tanya kenapa?"
"Kan rusak?"
"Rusaknya karena apa kamu gak mau tahu?"
"Bukan urusanku, Dennis."
"Tapi ada kaitannya denganmu." Kuhentikan langkahku dan kutatap mata coklat milik Dennis.
"Bercanda." Belum sempat kulayangkan pukulanku padanya, Dennis sudah berlari menjauh sambil tertawa.
"You're back, Dennis." Kataku pelan.

Kemudian segera kukejar Dennis yang berhenti menungguku di luar gerbang sekolah. Aneh rasanya, hari ini semuanya seperti berjalan seperti terlalu mulus. Tidak ada Karina yang tiba-tiba muncul, atau Niko yang tiba-tiba saja seperti mengajak berperang pada Dennis. Aku harap hari ini akan terus berlanjut.
———————————————————————————
Setelah berjalan selama dua puluh menit tanpa kata, akhirnya aku dan Dennis sampai di depan rumahku.

"Aku masuk duluan ya. Thank you." Aku berjalan meninggalkan Dennis yang masih menatapku.
"Ta." Panggilannya membuatku berhenti.

Panggilan yang selalu aku suka, panggilan yang hanya keluar dari mulut Dennis seorang. Panggilan yang sudah lama aku rindukan.

"Iya?" Aku berbalik menatap Dennis. Kulihat Dennis sudah berjalan mendekatiku.

Dan sedetik kemudian, kedua tangannya sudah berasa di atas pipiku, menarik lembut wajahku, mendekatkannya ke wajah Dennis. Dan sebuah ciuman manis dan lembut mampir di bibirku.

"Dennis!" Segera kutarik wajahku. Aku yakin saat ini pipiku dan telingaku akan semerah tomat. Dennis tersenyum.
"Aku gak akan minta maaf." Aku terperangah mendengar kata-kata Dennis.
"Kenapa? Kamu pasti mau meminta aku untuk minta maaf kan?" Aku masih terdiam.
"Atau..."
"Atau apa?"
"Atau kamu senang karena aku menciummu?"
"Dennis!!!" Dennis tertawa mendengar teriakanku.

"Loh? Ada Nak Dennis? Kok gak disuruh masuk, Git?" Tiba-tiba saja Ibuku muncul dari balik gerbang.

Sekujur tubuhku menegang. Bagaimana kalau Ibu melihatku tadi?

"Ta? Aku gak disuruh masuk?" Dennis mengulang pertanyaan Ibu. Aku memelototinya.
"Gak usah. Dennis masih banyak PR katanya Bu." Segera kutinggalkan Dennis dan Ibu.
"Loh, bukannya kalian baru selesai Ujian Akhir ya? Memangnya masih ada PR" Aku masih mendengar Ibu bertanya pada Dennis.
"Haha. Gak kok, Tante. Gita lagi marah sama saya, makanya dia begitu."
"Kalau begitu saya pamit dulu ya. Salam buat Om ya, Tante." Kulihat Dennis akhirnya beranjak dari depan rumahku.

You are my destinyWhere stories live. Discover now