Berpisah

1 0 0
                                    

Aku kira semua akan berjalan sebagaimana harusnya. Aku kira, persoalan kuliah tidak akan menjadi masalah yang berarti. Aku kira, ucapan Dennis bisa kupercaya. Ternyata, semua hancur dalam sehari.
———————————————————————————
Tidak terasa waktu cepat berlalu. Tahu-tahu saja aku sudah memasuki tengah semester. Yang artinya, sebentar lagi aku dan Dennis serta yang lainnya akan segera lulus SMA. Mungkin bagi banyak orang, lulus SMA adalah hal yang menyenangkan. Karena tidak ada lagi yang namanya harus bangun pagi setiap hari, PR yang banyak, dan yang lainnya.

Tapi, buatku waktu-waktu ini adalah waktu yang menakutkan. Karena artinya aku akan segera berpisah dengan orang tuaku dan Dennis. Dan aku sama sekali belum membicarakan tentang ini kepadanya.
———————————————————————————
"Gita! Gimana persiapannya? Sudah selesai semua?" Lamunanku buyar.
"Hah? Sudah. Lo?"
"Sama. Nanti berangkatnya bareng ya?"

"Oi. Mau pada ke mana sih?" Tiba-tiba saja Agus sudah ikut berdiri di samping Niko.
"Hah? Itu..."
"Loh, lo belum tahu? Gue kan satu universitas sama Gita nanti di Singapore. Terus tempat tinggal kita juga berdekatan lagi."

Aku melotot mendengar jawaban Niko. Bukannya aku tidak tahu, tapi aku yakin Niko sengaja memberi tahu Agus agar perkataannya sampai pada Dennis.

"Iya, Git?" Agus meminta kepastianku. Dengan terpaksa kuanggukkan kepalaku.
"Dennis tahu?" Aku menggeleng.
"Jangan bilang Dennis dulu ya." Aku memohon.

Agus hanya menghela napas kemudian mengangguk dan segera meninggalkan kami berdua.

"Nik. Kenapa sih harus semua dikasih tahu?"
"Kenapa? Takut Dennis tahu?"
"Bukan gitu.."
"Git. Lo tahu kan gue suka sama lo? Gue gak mau lo terus menerus sedih kalau melihat Dennis lagi bareng Karina. Gue juga mau lo bahagia. Meskipun bukan sama gue."
"Gue kasih tahu Agus karena gue mau Dennis tahu, dan mencegah kepergian lo."
"Tapi kan gak mungkin kalau gue harus ngebatalin kuliah di Singapore."
"Iya gue tahu. Tapi, setidaknya kalian bisa kembali jujur sama perasaan kalian masing-masing. Setidaknya kalian bisa kembali bersama lagi."

Aku terdiam memikirkan kata-kata Niko. Apakah harus aku meminta Dennis kembali padaku?

"Hoi! Ngelamun aja. Aku panggilin dari tadi."
"Hah?! Dennis! Dari kapan kamu di sini?"
"Dari tadi." Dennis tersenyum.
"Lagi melamun apa sih? Aku sampai dicuekin?"
"Gak. Gak ngelamun apa-apa." Aku berbohong.
"Oh iya, aku lupa terus mau tanya sama kamu. Kamu jadi ambil kuliah di mana?" Aku tersentak.
"Hah? Mm..."
"Jangan bilang kamu lupa belum daftar?"
"Gak kok. Cuma..."
"Cuma?"

"Gita! Ditungguin kok gak keluar-keluar?" Tiba-tiba saja Niko muncul di depanku.
"Ngapain lo?"
"Gue mau jemput Gita. Kenapa?" Aku menghela napas. Mereka berdua tidak pernah bisa akur kalau bertemu. Selalu saja sinis satu sama lain.
"Gita lagi sama gue."
"Tapi dia sudah janji sama gue mau pulang bareng."
"Gak bisa. Gita pulang sama gue. Titik."
"Lo mending urusin aja pacar lo. Ingat, pacar lo itu Karina. Bukan Gita."

Dennis terdiam. Lihat, begitu nama Karina disinggung, ia tidak bisa berkata apa-apa. Bukankah berarti di hatinya hanya ada Karina? Kenapa pula diriku begitu yakin kalau Dennis ingin kembali padaku.

"Git."
"Ayo, sebentar. Gue beres-beres dulu."
"Ta, kita belum selesai."
"Kita sudah selesai dari tiga tahun lalu, Nis." Dennis terdiam mendengar kata-kataku. Aku yakin dia pasti kaget. Begitu juga dengan Niko. Suasana berubah menjadi tak enak.

Dengan kesal Dennis berdiri kemudian menendang meja yang ia lewati sebelum benar-benar keluar dari kelas.
———————————————————————————
"Are you okay?"
"Maksudnya?"
"Iya, lo gak apa-apa? Soal tadi."
"Soal lo yang selalu sinis sama Dennis?"
"Bukan. Perkataan lo tadi, soal..." Niko tidak menyelesaikan kata-katanya.

You are my destinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang