Bahagia

2 0 0
                                    

Libur akhir semester masih tersisa tiga hari lagi. Aku masih berbaring di kasur bermalas-malasan, menikmati sisa hari liburku.

"Tok.. Tok.."
"Gita."
"Ya Bu?"
"Ada Dennis di bawah." Aku langsung melompat dari kasurku ketika mendengar nama Dennis.
"Bu? Yakin Dennis di bawah?" Ibu hanya tertawa ketika kubuka pintu kamarku.
"Iya, sudah cepat mandi sana."

Dengan cepat aku mandi dan bergegas turun ke bawah. Benar saja! Dennis sedang mengobrol dengan Ayah dan Ibuku.

"Baru bangun Nona?" Dennis tersenyum manis yang kubalas dengan dengusan kecil.
"Sudah siap? Ayo." Dennis beranjak berdiri.
"Hah?" Aku bingung.
"Oh ya ampun! Maaf Ibu lupa bilang kalau Nak Dennis mau mengajak kamu pergi katanya."
"Tunggu dulu kalau begitu. Aku haru mengganti bajuku." Aku hampir saja melesat naik kembali ke atas.
"Gak usah. Baju itu juga sudah bagus kok."
"Memangnya kita mau ke mana?"
"Sudah ayo."
"Om, Tante Dennis pinjam Gita sebentar ya."
"Iya, hati-hati ya Nak."

Akhirnya setelah berpamitan aku dan Dennis pergi dengan menggunakan motor Dennis.

"Rindu ya."
"Hah apa?"
"Rindu!" Dennis sedikit berteriak.

Sebenarnya aku mendengar apa yang Dennis ucapkan, hanya saja aku ingin memastikan bahwa pendengaranku tidak salah.

"Kok diam?"
"Aku harus jawab apa?"
"Rindu juga."
"Haha."
"Ta, serius! Aku rindu seperti ini."
"Sama." Kuucapkan pelan sekali agar Dennis tidak mendengarnya.
"Apa Ta?"
"Gak apa-apa."

Dennis mengajakku ke kebun binatang kecil yang cukup terkenal di kota kami. Waktu berjalan begitu sangat cepat. Tidak ada pembicaraan tentang Niko maupun Karina. Kami hanya tertawa dan tertawa. Sampai akhirnya sore pun telah tiba. Aku mendengus kesal ketika melihat matahari mulai terbenam.

"Makasih ya, Ta sudah mau pergi sama aku." Dennis dan aku sudah sampai di depan rumahku.
"Sama-sama. Makasih juga ya. Kalau gitu aku masuk dulu ya."
"Ta."
"Ya?" Aku membalikkan badanku dan kulihat Dennis sedang berjalan mendekatiku.
"Aku bahagia Ta hari ini sama kamu." Aku tersenyum.
"Aku serius."
"Aku tahu Dennis." Kami berdua terdiam sesaat.
"Aku juga bahagia."

Setelah itu aku segera berlari masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Dennis yang aku yakin pasti sedang tersenyum atau bahkan kebingungan. Biar saja.
———————————————————————————
Tidak terasa waktu liburan telah berakhir. Hari ini aku kembali masuk sekolah di semester terakhir di kelas tiga. Semenjak kali terakhir Dennis mengajakku pergi, keesokan harinya ia terus saja muncul di rumahku. Entah hanya untuk mengobrol sampai sore di teras rumahku, atau pergi makan bakso di depan komplek.

Dan semenjak itu pula aku seakan lupa kalau Dennis sudah memiliki kekasih. Beruntung hari ini aku kembali sekolah, kalau tidak mungkin aku akan terus lupa kalau Dennis sudah bukan milikku lagi.

"Gita!" Niko menyapaku ketika aku akan duduk di bangku kelasku.
"Hai, Nik."
"Liburan ke mana saja nih?"
"Di rumah saja." Terpaksa aku berbohong.

Tak lama kemudian aku melihat Dennis baru datang dan segera duduk di bangkunya tanpa melihatku, tanpa menyapaku. Jujur aku kesal dengan sikapnya. Seakan tiga hari kemarin hanyalah mimpi.

"Git, woi. Git."
"Hah? Iya kenapa?"
"Ditanya kok diam saja?"
"Hah? Sorry, sorry. Lo tadi mau tanya apa?"
"Lo sudah daftar untuk kuliah?"

Pertanyaan Niko membuatku tersadar. Aku tidak pernah bilang apa-apa kepada Dennis tentang kuliahku.

"Git?" Lagi-lagi Niko menyadarkan lamunanku.
"Lo kenapa sih hari ini? Sakit? Atau masih belum sadar masuk sekolah? Haha."
"Ah, iya. Gue ke Ruang Kesehatan dulu ya." Segera kutinggalkan Niko yang masih kebingungan.
"Kenapa? Sakit?"
——————————————————————————
Sesampainya di ruang kesehatan, aku meminta izin kepada guru yang bertugas untuk meminta istirahat. Alasanku? Perutku sakit karena mendapat tamu bulanan. Untungnya beliau percaya saja dan mengizinkanku untuk beristirahat di sana.

Belum juga lima menit aku berbaring, Dennis sudah berdiri di sampingku. Aku tidak tahu sejak kapan ian masuk.

"Kamu sakit?" Aku menoleh.
"Gak kok." Jawabku berbisik.
"Kenapa bolos?" Dennis kini duduk di samping ranjang.
"Gak apa-apa, lagi malas saja." Elakku.
"Maaf ya."
"Kenapa?"
"Aku gak bisa mendekat sama kamu lagi di sekolah. Aku gak mau kamu terluka lagi." Aku tersenyum.
"Gak apa-apa kok. Aku ngerti."
"Terus kamu ngapain ikut ke sini?"
"Kangen sama kamu." Kupukul pelan lengan Dennis.
"Ngaco."
"Serius, Ta. Aku sebel banget tadi lihat kamu ngobrol sama Niko."
"Dennis, aku sama Niko cuma teman saja."
"Aku tahu, tapi tetap saja."
"Sudah sana, balik ke kelas. Nanti dicariin guru loh."
"Gak apa-apa. Aku maunya di sini saja sama kamu."
"Dennis!"
"Apa?"
"Dennis!!"
"Haha. Iya, iya. Aku ke kelas lagi ya. Tapi, nanti pulang sama aku ya."
"Loh? Nanti Karina sama siapa?"
"Biar saja. Aku malas kalau harus nganterin dia."
"Kenapa?"
"Jauh rumahnya."
"Dennis!!"
"Haha. Cepet sembuh ya." Dengan cepat Dennis mengecup dahiku.

Sebelum sempat ku marahi Dennis sudah terlebih dahulu berlari meninggalkanku. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Sejujurnya aku merasa bersalah kepada Karina. Aku merasa seperti memiliki hubungan khusus dengan Dennis di belakangnya. Tapi, bolehkan aku merasa bahagia sebentar saja. Sebelum aku meninggalkan semuanya.
———————————————————————————
"Gita, perutnya sudah baikan?" Tanya Niko ketika melihatku kembali ke kelas.
"Sudah." Aku sempat melirik ke arah tempat duduk Dennis, tapi dia tidak di sana.
"Dennis? Tadi Karina ke sini, jadi mereka pergi berdua deh."
"Gue kan gak tanya Dennis."
"Tapi lo penasaran kan?"
"Enggak."
"Gita, gue tahu kok lo masih suka kan sama Dennis."
"Niko, cukup ya kita bahas tentang Dennis. Gue gak mau nantinya jadi salah paham lagi sama Karina."
"Tapi kan..."
"Niko."
"Ok, ok."
"By the way, lo jadinya kuliah di mana?"
"Singapore."
"Wah! Kita berjodoh nih. Gue juga ke sana."
"Niko!"
"Hehe. Oh iya, Dennis tahu kalau lo bakalan kuliah di sana?"
"Enggak."
"Dan gue mohon, lo jangan sampai kasih tahu dia ya kalau gue bakalan kuliah ke Singapore."
"Kenapa? Bukannya ini kesempatan bagus ya buat lo balikan lagi sama dia."
"Niko, gue bukan orang yang senang gangguin hubungan orang ya."
"Tapi, kalau kata gue..."
"Niko."
"Iya, iya. Gue janji. Tapi lo juga harus janji sama gue. Lo bakalan ngasih kabar ke gue lo tinggal, kuliah, dan kapan berangkat ke Singapore sama gue."
"Buat apa?"
"Biar bisa berangkat bareng sama lo. Biar di sana gue bisa ketemuan juga sama lo."
"Iya."
"Janji ya."
"Iya."

Sebenarnya itu hanya akal-akalanku saja agar Niko segera menyudahi percakapan ini. Aku tidak suka kalau harus membicarakan tentang kuliahku. Aku tidak mau Dennis mendengarnya dan menjadi salah paham. Aku ingin menjelaskan kepadanya secara langsung dan baik-baik. Aku tidak mau lagi kehilangan Dennis.

You are my destinyМесто, где живут истории. Откройте их для себя