Masa Lalu

3 0 0
                                    

Dennis menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Seragam SMAnya belum ia lepaskan. Matanya terpejam, pikirannya kembali ke masa itu. Empat tahun lalu, di saat semua sibuk memilih SMA mana yang akan diambil.

"Gita!" Dennis berteriak dari lapangan tempat upacara sekolah dilaksanakan. Gita yang berada di lantai dua segera menoleh ke bawah. Ia tersenyum ketika mendapati Dennis tengah tersenyum memanggilnya.

"GITA, MULAI HARI INI KAMU PACAR AKU YA!" Gita terkejut mendengar Dennis berteriak seperti itu. Semua murid bersorak mendengarnya. Gita tahu, Dennis menaruh perasaan padanya. Tapi Gita tidak yakin dengan perasaannya sendiri.

Semuanya berjalan begitu sempurna. Tidak pernah ada pertengkaran yang terjadi selama dua tahun berpacaran. Hingga pada akhirnya semua bermula ketika Dennis menerima sebuah surat cinta dari Karina.

"Ta, aku dapat surat cinta nih." Kata Dennis. Seperti biasa, setiap jam istirahat tiba, Dennis akan selalu duduk di kelas Gita. Entah mengapa sejak kelas satu mereka tidak pernah satu kelas.
"Dari siapa?" Dan seperti biasa pula, Gita selalu santai ketika mendengar Dennis "ditembak" siswi lain. Baginya, sudah biasa mendengar cerita Dennis seperti itu. Bahkan sebelum mereka berpacaran pun, Gita selalu mendengar cerita seperti itu.
"Karina."
"Anak kelas satu itu?"
"Kok kamu tahu sih? Jangan-jangan kamu sudah incar ya mana yang kira-kira mau nembak aku? Haha." Dennis tertawa.
"Bukan, aku tahu dari Lia. Katanya ada anak kelas satu setiap hari mampir ke kelas kamu, ngikutin ke mana kamu pergi."
"Duh, kalau cemburu bilang aja. Aku seneng kok kamu cemburu." Dennis menggoda Gita.
"Memangnya aku bilang cemburu ya? Ngaco deh kamu." Dennis hanya bisa terdiam.

Banyak yang berpikir bahwa Gita bersikap terlalu dingin kepada Dennis. Bahkan mungkin sebenarnya Gita tidak punya perasaan untuk Dennis. Dan, bukan sekali dua kali Dennis mendengar pernyataan itu. Bahkan kini, teman dekatnya sedari SMP pun meragukan Gita.

"Nis, sudah terima aja itu si Karina. Kayanya lebih suka dibanding Gita deh." Mata Dennis melotot mendengar kata-kata Agus.
"Ngaco lo! Memangnya lo tahu perasaannya si Gita gimana? Toh selama dua tahun ini gue baik-baik aja tuh. Jangan seenaknya gitu kalau ngomong, Gus. Gue tahu lo sahabat gue dari SMP, tapi lo gak bisa seenaknya ngomongin Gita di depan gue."
"Bukan gitu, Nis. Gue kasian sama lo. Kayanya tiap hari dikacangin melulu sama Gita. Pernah gak lo ditanyain lagi di mana? Sudah makan belum? Gak pernah kan? Lo pacarana atau musuhan sih?"

Dennis terdiam mendengar kata-kata sahabatnya. Terkadang ia pun merasa bahwa Gita tidak pernah sekalipun menunjukkan perasaannya. Tidak pernah sekalipun Gita mengkhawatirkannya. Hati Dennis mulai goyah. Di satu sisi, Dennis tahu kalau perasaanya pada Gita bukan hanya sekedar perasaan yang baru datang sebentar. Tapi di sisi lain, Dennis merasa hubungan ini hanya sia-sia saja.

"Heh! Kok malah bengong. Bimbang?" Agus membuyarkan lamunan Dennis.
"Gue bingung. Kalau memang si Gita gak ada perasaan apa-apa sama gue, kenapa dia mau terus bertahan selama ini? Padahal yang naksir dia juga banyak kok. Yang lebih dari gue banyak."
"Mungkin, karena dia merasa lo satu-satunya teman terdekat dia Nis. Kalau kalian putus kan gak mungkin kalian masih sedekat ini." Dennis kembali terdiam.

Semenjak itu Dennis mulai berubah. Dia tidak pernah lagi duduk di sebelah Gita ketika istirahat tiba. Kini Dennis lebih memilih duduk bersama Agus di kantin. Di mana Karina akan selalu ikut duduk di sebelahnya. Sejujurnya, Dennis hanya ingin mengetes Gita. Apakah dia akan cemburu atau merasa kehilangan? Tapi ternyata sudah satu bulan berlalu pun, Gita tidak bergeming sama sekali.

Dennis semakin yakin kalau memang selama ini Gita tidak pernah sekalipun memiliki perasaan lebih kepadanya. Hari itu untuk pertama kalinya di bulan itu, hujan tidak turun sama sekali. Langit begitu biru dengan angin yang berhembus membuat hari ini begitu sempurna. Tapi tidak untuk Gita. Dunianya hancur seketika, hatinya terhenti di sana.

"Gita, boleh gue tanya sesuatu?" Setelah satu bulan penuh Dennis tidak lagi duduk di sebelah Gita, ini adalah pertama kalinya Dennis menghampiri Gita kembali di kelasnya.
"Boleh, mau tanya apa?" Dennis terhenti sejenak.
"Tidakkah dia sadar? Bahwa kini aku tidak lagi menyebut kata aku dalam percakapan ini?" Dennis berbisik dalam hati.
"Sepertinya, kita harus berakhir di sini." Dennis mengucapkannya dengan hati-hati, sepelan mungkin. Berharap Gita tidak mendengarnya. Gita berhenti menulis. Dia kini menatap lurus Dennis. Untuk beberapa saat, Gita hanya memandang Dennis tanpa berkata apa-apa.
"Git..."
"Iya." Dennis bingung. Ia hampir saja mengulang untuk meminta putus karena Gita sama sekali tidak memberi tanggapan. Tapi, seketika Gita menjawab.
"Semoga bahagia ya, Nis." Kata Gita sambil tersenyum.
"Maafin gue ya kalau selama ini gue banyak salah sama lo. Gue gak bisa jadi pacar yang terbaik buat lo. Gue harap, kita bisa tetap berteman seperti dulu ya. Kapan pun lo butuh seseorang untuk cerita, lo bisa telepon gue kapan pun seperti biasanya. Gue harap lo bahagia, Git."

Gita kembali tersenyum tanpa berkata apa-apa lagi. Dennis menghela napas, kemudian berjalan meninggalkan Gita sendirian.

"Git, gue berharap lo bakalan mempertahankan hubungan kita. Tapi, ternyata gue salah." Dennis sempat menoleh kembali ke dalam kelas. Melihat Gita yang masih asyik menulis di bukunya. Dennis yakin bahwa ini adalah yang terbaik untuk Gita.

———————————————————————————

"Sepertinya, kita harus berakhir di sini." Hampir saja aku melempar pensil yang sedang kugunakan untuk menulis.
"Apa lagi ini, Dennis?" Tanyaku dalam hati.

Kutatap mata coklatnya. Aku tidak bisa lagi menebak tatapan itu. Mungkin memang sudah seharusnya aku dan dia berakhir. Aku tidak sanggup mengucapkan apa-apa lagi selain iya dan semoga bahagia. Kuatur setiap nada kata yang keluar dari mulutku. Sebisa mungkin kutahan air mata yang terus saja memaksa keluar.

Kembali aku berpura-pura menulis. Padahal, aku sudah tidak ada tenaga untuk menyelesaikan PR itu. Kulihat punggung Dennis untuk yang terakhir kalinya. Dan setelah kuyakin Dennis benar-benar menghilang, segera kutinggalkan semua PR-ku. Berjalan lambat menuju UKS.

Setelah memastikan tidak ada siapapun di sana, aku berbaring sambil menutup mukaku dengan lengan. Perlahan aku bisa merasakan pipiku sudah basah. Sejujurnya, aku ingin sekali menahan Dennis. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa menahannya, ketika hatinya sudah bukan milikku.

Beberapa minggu terakhir aku bukannya tidak tahu kalau Dennis dekat dengan siswi lain. Bahkan aku tahu bahwa perempuan itu menyukai Dennis. Awalnya aku tidak menghiraukan hal itu, karena aku terlalu yakin bahwa Dennis tidak mungkin berpaling dariku. Ternyata aku salah. Diamku yang membawaku sampai di sini.

You are my destinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang