"Pa, Resha mau ngomong sama papa." Ucapnya dengan nada sedikit parau.
"Papa sibuk. Kamu urus diri kamu sendiri." Ucapan dingin dari ayahnya membuat nyalinya menciut seketika.
Resha menunduk mengeratkan pelukannya pada buku rapor yang ia pegang saat ini. Resha menggeleng pelan dan memundurkan kakinya perlahan.
Gadis itu kembali ke kamarnya dengan lesu, ini sudah sekian kalinya ia mencoba mengambil hati ayahnya namun usahanya nihil. Ia tidak bisa mengambil hati sang ayah sejak hari itu.
Resha duduk dengan lemas di sudut kamarnya. Ia sengaja mengunci rapat-rapat pintu kamarnya agar tak seorang pun masuk ke kamarnya dan melihat ia meneteskan air mata.
Gadis dengan rambut yang ia kucir kuda itu menangis dalam diam. Membiarkan seragam putih biru miliknya basah oleh derasnya air mata. Sampai kapan ia harus melihat kilat kebencian di mata sang ayah?
Ia tidak cemburu kepada kakaknya karena sang ayah lebih menyayangi kakak laki-lakinya itu. Ia hanya kecewa kepada dirinya sendiri mengapa ia begitu bodoh membiarkan jurang antara dirinya dan sang ayah yang begitu dalam.
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusannya di SMP dan ia berhasil meraih peringkat 1 dalam satu angkatannya. Ia lulus sebagai salah satu siswi pintar di sekolahnya. Namun, hari ini sudah bukan lagi hari bahagianya. Ia berharap bahwa ayahnya bisa datang dan melihat dirinya mendapat penghargaan oleh para guru atas prestasinya.
Dan lagi, ayahnya selalu beralasan sibuk. Bahkan Resha harus mengambilnya sendiri tanpa perwakilan orang tua yang mendampinginya. Resha mencoba mengerti kesibukan papanya, bahkan saat ia pulang pun tak ada yang menyambutnya seperti dulu.
Resha tertidur di lantai kamarnya. Tentu saja tidak ada yang membangunkannya karena semua orang di rumah ini ada di rumah sakit menemani bundanya yang masih sakit.
Hampir satu tahun sejak kejadian itu menimpa dirinya dan bundanya masih belum mendapatkan donor yang cocok. Resha terbangun dari tidurnya dan melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB.
Resha bergegas mandi dan berganti pakaian menggunakan sweater putih dan celana jeans panjang. Tak lupa ia mengikat rambutnya dan memakai kaca mata. Ah, tunggu dulu matanya terlihat begitu sembab. Resha segera turun dari lantai atas kamarnya dan mengambil satu balok kecil es kemudian menempelkannya pada matanya.
Resha kembali bercermin dan itu lebih baik dari sebelumnya. Ia memesan ojek online dan segera pergi ke rumah sakit. Sebelumnya ia meminta agar diturunkan di toko bunga yang dekat dengan rumah sakit tempat bundanya dirawat.
"Bu, buket bunga mawar putih ya." Ucap Resha sopan dengan senyum manis di wajahnya.
"Eh, Neng Resha, iya ini udah ibu siapin buat eneng." Ucap Bu Lastri penjual bunga.
"Ah, ibu, tahu aja hehe."
"Ya tahu dong, kan neng Resha pelanggan setia ibu."
Resha tertawa pelan, ia melambaikan tangannya dan menuju rumah sakit untuk membawakan bunga kesayangan bundanya.
Resha tersenyum dan berkali-kali menghirup aroma bunga yang ia beli. "Hmm, bunda pasti suka." Gumamnya pelan.
Rumah sakit ini adalah rumah sakit milik keluarganya. Jadi, tak heran jika semua perawat dan dokter disini mengenalnya. Saat Resha sampai di depan pintu kamar inap sang bunda, Resha mendengar percakapan ayahnya dan dokter Reza.
"Kita harus segera mendapatkan donor yang cocok dengan ginjalnya, jika tidak itu akan beresiko untuk keselamatan hidupnya." Ucap Dokter Reza.
"Bagaimana kita akan menemukannya dokter? Sudah hampir satu tahun." Ucap kakaknya, Devano Putra Raveena.
Ayahnya duduk dengan lemas di sofa, Resha menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan menahan isak tangis yang siap keluar dari mulutnya. Buket bunga yang ia pegang terjatuh.
"Aku akan berusaha kita harus mendapatkannya hari ini juga." Dokter Reza keluar dengan raut wajah yang khawatir. Resha bersembunyi di balik tembok yang ada didekatnya.
Resha melihat kakaknya memeluk sang ayah mencoba memberi semangat. Resha menatap bundanya yang terbaring lemah lalu menatap kepergian Dokter Reza yang sedang mengobrol serius dengan seorang suster.
Resha berlari menghampiri Dokter Reza, "dokter!" Panggilnya.
Dokter Reza menoleh melihat Resha. "Kenapa Res?"
"Dokter coba cek ginjal Resha, Resha mau mendonorkannya untuk bunda." Ucap Resha mantap.
Dokter Reza menatapnya tak percaya. Ia masih terlalu muda. "Tapi Res-"
"Dokter, Resha mohon. Coba cek ginjal Resha cocok ngga sama bunda. Resha mohon dok," Resha memohon dengan berlutut di depan Dokter Reza, ia terkejut. Lalu memegang pundak Resha dan membawanya ke dalam ruangannya.
"Kamu tahu resikonya kan? Resha kamu masih terlalu muda untuk mendonorkan ginjal kamu." Ucap Dokter Reza yang masih terkejut dan khawatir. Resha sudah seperti anaknya sendiri.
"Dok, nggaada pilihan lain selain ini."
"Baiklah, aku akan mengeceknya."
Resha tersenyum, ia berharap ginjalnya cocok dengan bundanya. Resha dibawa oleh suster untuk dicek, setelah beberapa menit menunggu ternyata ginjalnya cocok dengan bundanya.
"Dokter, sebelum melakukan operasi Resha boleh minta satu permintaan?"
"Tentu boleh nak, apa yang mau kamu minta?" Ucap Dokter Reza lembut.
"Resha mau dokter merahasiakan hal ini dari bunda, papa dan Bang Devan."
"Tapi kenapa? Mereka pasti akan senang saat mengetahui bunda kamu sudah memiliki pendonor dan itu adalah kamu."
"Nggak dok, mereka nggaboleh tahu. Resha mohon rahasiakan ini dok. Resha, Resha nggamau bikin semuanya khawatir sama Resha." Ucap Resha menundukkan kepalanya.
Dokter Reza tersenyum tipis. Ia memeluk Resha dengan erat seolah dia adalah putrinya sendiri.
~~~~~
N/B : cerita ketiga dari aku buat kaliannnn semuaaa🤩
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote and coment. Jangan bosen bosen buat mampir ya guys
YOU ARE READING
Sorry, I'm a Nerd
Teen FictionSEGERA TAMAT! "Papa, maafin Resha. Resha nggamau bikin papa jadi benci sama Resha. Resha sayang sama papa." Aresha Putri Raveena. ***** Secercah harapan dalam jurang penyesalan. Maaf. Maaf. Maaf. Beribu kata maaf rasanya tak cukup untuk menga...
