39. Dipenghujung Waktu

762 39 3
                                    

Andaikan aku bisa menghentikan waktu, tentu sudah kuhentikan sebelum hari itu tiba. Hari di mana aku, Dory juga teman-teman satu angkatan melaksanakan ujian akhir.

Ah, cepat sekali waktu bergulir, hampir tiba dipenghujung perpisahan; aku yang mau tidak mau harus mengikuti kemauan Papa untuk kuliah di London, sementara Dory dengan cita-citanya sekolah musik di Institut Seni Indonesia, entah di Jogja atau Solo.

"Ngelamunin apa, Fe?" Dory tiba-tiba saja sudah duduk di sebelahku dengan sebuah cup es teh dalam genggamannya.

"Buat kamu, diminum dulu," sambungnya, diulurkan cup tersebut padaku, yang langsung kusambut.

"Makasih, ya."

Kami tengah berada di pinggir lapangan basket yang saat ini lengang. Anak-anak kelas satu dan dua libur, sementara kami yang kelas tiga masuk hanya untuk mengambil kartu peserta ujian.

"Kamu sendiri nggak minum?" tanyaku lalu menyeruput es teh yang nyatanya memang nyegerin itu.

Dory menggeleng. "Kamu kenapa?" Dia kembali bertanya.

Netraku lepas menatap ke tengah lapangan kosong di hadapan kami ini, hampa.

"Ujian sudah di depan mata, Dor, itu artinya suka tidak suka, hari kelulusan pun akan segera tiba. Lalu kita..." Kalimatku tergantung begitu saja. Nyeri hebat tiba-tiba saja datang memukul-mukul dinding hatiku.

"Fe, bukankah perpisahan hanya antara kita dengan masa SMA, bukan antara saya dengan kamu. Kita ndak akan kenapa-kenapa, Fe. Semua akan tetap baik-baik saja."

Aku menatap kedua bola matanya, keteduhan yang terpancar dari sana setidaknya mengalirkan sedikit ketenangan untukku.

"Percaya sama saya," sambungnya.

"Aku bisa percaya sama kamu, Dor. Tapi bagaimana dengan jarak yang nanti memisahkan kita, tidakkah kamu bayangkan betapa jauhnya jarak yang terbentang antara London dengan Jogja atau Solo?" kataku pesimis.

"Fea, jangan takut pada jarak. Selama kita sama-sama saling menyayangi, jarak bukan jadi persoalan." Lagi-lagi Dory berusaha menenangkan aku.

"Lihat saya, Fe. Kamu percaya, kan, sama saya?" tanya Dory yang kujawab dengan anggukan.

"Kalau begitu buang jauh rasa takut kamu, ya. Kita jalani hari yang kian singkat ini dengan kebahagiaan. Saya ndak mau lihat kamu sedih apalagi sampai menangis. Saya hanya ingin melihat kamu tersenyum, Fe."

Mendengarnya justru membuat mataku terasa hangat, bulir air mata seakan ingin berlomba jatuh membasahi pipi.

"Ssttt.. jangan menangis, Fea. Saya mau lihat senyuman kamu." Dory mengangkat daguku dengan tangan kirinya, ibu jarinya mengusap pipiku. Mau tidak mau seulas senyum pun merekah di bibirku.

"Nah, itu yang saya mau," ucapnya lega. Satu tangannya yang lain menepuk lembut puncak kepalaku.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Dory lembut, dan lagi-lagi aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Sekarang kita mengambil kartu peserta ujian, ya. Teman-teman yang lain sudah," ajaknya, tangannya meraih tanganku, lalu disisipkannya jemarinya mengisi sela jemariku.

Dor, aku bakal merindukan saat-saat seperti ini nanti, batinku pilu.

***

Akhirnya tiba juga hari di mana kemampuan kami selama tiga tahun ini diuji. Aku beruntung karena selama mengikuti ujian masih bisa satu ruangan dengan Dory, meski kali ini bangkuku berada beberapa deret di belakangnya. Bisa melihatnya dari belakang saja sudah cukup membuatku tenang, setidaknya untuk beberapa hari ke depan selama ujian berlangsung.

Meski bukan kategori murid berprestasi tapi aku dengan mudah dapat mengerjakan soal-soal ujian ini. Otakku tidak terlalu payah menyerap materi pelajaran selama ini.

Dan sekali lagi waktu semakin cepat berjalan, sepertinya baru kemarin kami melaksanakan ujian hari pertama, tapi sekarang tanpa terasa sudah memasuki hari terakhir ujian berlangsung. Seharusnya aku merasa lega karena akhirnya ujian telah berakhir, tapi justru kesedihan yang kembali aku rasakan. Betapa tidak sedih bila penghujung waktu kebersamaanku dengan Dory di SMA ini pun akan segera tiba.

"Bagaimana ujian terakhirnya tadi, Fe? Lancar, kan, mengerjakannya." Dory menyambutku di depan kelas begitu aku selesai mengerjakan semua soal-soal yang ada, dia lebih dahulu menyelesaikan soal ujian dan keluar dari ruangan.

"Lumayanlah," jawabku dengan tidak bersemangat.

"Kenapa lesu seperti itu, Fe? Ndak bisa mengerjakan?" tanya Dory cemas.

Aku menggeleng lemah. "Bukan itu..."

"Lalu kenapa kamu lesu seperti ini?"

"Tinggal berapa hari kita bisa bersama di sekolah ini, Dor?" lirihku dengan mata berkaca-kaca.

"Ya ampun, Fea... jangan mulai sedih seperti ini lagi. Kamu lupa kalau saya hanya ingin melihat senyumanmu di hari yang tersisa ini." Dory menatap manik mataku, tangannya terulur menangkup kedua pipiku. "Jangan menangis," lirihnya. Tapi justru membuatku terisak.

"Sssttt.. ya, sudah, untuk menghibur kamu bagaimana kalau sekarang kita keliling kota saja? Kamu ndak keberatan, kan, naik motor bebek saya terlalu lama?"

Refleks aku langsung mengangguk cepat. "Iya, aku mau!" tegasku.

Dory tersenyum, kemudian mengacak lembut puncak kepalaku. "Tapi ada syaratnya," ucapnya kemudian.

"Pake syarat segala??" tanyaku heran, yang dibalas Dory dengan anggukan.

"Apa syaratnya?"

"Beri saya senyuman kamu."

Tanpa disuruh dua kali, aku pun tersenyum manis untuknya.

Berada diboncengannya merupakan hal paling nyaman untukku. Tanganku dengan erat melingkari pinggangnya, dan Dory pun sudah terbiasa dengan apa yang kulakukan ini. Jika pada awalnya dia merasa risih, sekarang tidak lagi, senyumannya justru mengembang di sepanjang perjalanan.

Ah, seandainya aku bisa berlama-lama seperti ini dengannya. Tidakkah waktu bisa bersahabat dengan kami, terus mendekatkan kami seperti ini, tanpa harus ada kata selamat tinggal, apalagi air mata yang mengiringi perpisahan.

You wish, Fea! satirku.

Bersambung...

Update
Sudah terbayar lunas, ya, kerinduan kalian terhadap Dory & Fea di part ini.

Jangan lupa terus berikan vote kalian buat mereka berdua, ya, readers.

Cium hangat Dory & Fea buat kalian semua😚😚😚

See you next part

Sad Boy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang