Bab 4

12 2 0
                                    

Tangan kiriku terangkat, melayangkan tamparan keras ke pipi kiri tiga kali berturut-turut. Berharap apa yang barusan kulihat menjadi buyar. Napasku tersendat. Mendadak lantai yang kupijak terasa seperti agar-agar. Setiap langkah yang kuambil untuk kembali ke tempat tidur jadi terhuyung-huyung, serasa kaki melesak ke dalam tanah.

Aku terduduk di kasur, menggenggam kedua tangan yang mulai berkeringat dingin. Tidak boleh sampai terkena serangan panik lagi... Aku sudah berhasil meyakinkan Meiko-san untuk tidak membawaku ke rumah sakit atau psikiater lagi. Harus bersikap normal. Tidak apa-apa... tidak perlu tersiksa oleh mimpi buruk...

Suara-suara riuh anak-anak dari ruang tengah yang seharusnya terdengar sampai kamarku mendadak jadi terasa jauh. Semakin menjauh hingga seolah terdengar dari luar sumur sedangkan aku berada di dasar sumur paling dalam.

Aku menunduk. Bahuku terasa pegal, berat, semakin berat, dan dingin.

Serasa ada dua tangan yang merangkul bahuku dari belakang.

Tak tahu harus pergi ke mana untuk menenangkan diri, dengan putus asa, aku meringkuk bersembunyi di balik selimut di tempat tidur sambil menyumbat telinga. Tapi meskipun kusumbat telinga ini dengan batu sekalipun, kata-kata yang bergaung di kepalaku tetap terputar, mengaduk-aduk pikiranku.

"Rin pembohong. Tidak bisa dipercaya."

Suara anak laki-laki. Diulang terus menerus. Kepalaku mendidih. Mataku mulai berair.

"Bukannya Rin sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku?"

Kupejam mata erat-erat. Tenggorokanku tercekat. Aku mendekap sebuah boneka beruang berwarna hitam-putih, salah satu benda yang tersisa dari masa laluku. Di dalam selimut mulai panas dan pengap. Aku membuka mulut. Tak ada suara yang keluar. Hanya suara napas yang mungkin terdengar seperti binatang yang sekarat.

Beberapa saat yang terasa seperti seabad kemudian, kurasakan sepasang tangan menguncang tubuhku di balik selimut. Aku yang masih mengatur napas berusaha menenangkan diri, berusaha meredam suara di kepala dan memfokuskan pendengaran.

"Rin-chan! Rin-chan!" Terdengar seperti suara wanita.

Aku mengintip dari balik selimut hingga hanya kedua mataku yang terlihat dari luar. Kuatur suara setenang mungkin. "Meiko-san? Ada apa?"

Ah, gawat. Suaraku bergetar, malah terdengar seperti habis menangis. Padahal aku tidak menangis. Siapapun tidak boleh melihatku dalam keadaan seperti ini.

Kubuat suaraku jadi agak ceria. "Ah iya, tadi Luka-neesan memintaku menjahit baju anak-anak yang sobek." Nah, terdengar lebih baik. "Semuanya sudah selesai. Kusimpan di atas nakas."

Dan aku tidak menelan jarum seperti yang Meiko-san takutkan, sebenarnya itu yang ingin kutekankan. Aku baik-baik saja.

Tapi di tangan wanita berambut pendek kecoklatan itu sudah tersedia obat dan segelas air bening. "Terima kasih. Aku benar-benar terbantu." Meiko-san tersenyum lembut. Senyum yang selalu ia tunjukkan sejak ia membawaku ke panti asuhan ini lima tahun lalu karena rumahku yang terbakar. Senyum yang selalu memunculkan dua emosi yang bersamaan dalam diriku.

Rasa tenang karena di dunia ini masih ada seseorang yang tidak memandangku dengan sinis. Juga ada rasa curiga, kenapa ia tidak memperlakukanku seperti yang dilakukan orang lain, atau apakah selama ini Meiko-san berpura-pura, atau tentang apa yang membuatnya begitu peduli padaku, padahal kami sama sekali tidak ada hubungan darah.

Seperti yang tidak kuharapkan, Meiko-san memintaku meminum obat itu. Katanya untuk mengurangi rasa cemas. Aku yang sedang terlalu malas mendebat terpaksa menurutinya. Entah karena obat itu memberikan efek mengantuk atau tubuh dan mentalku yang sudah kelelahan, aku kembali membenamkan diri di balik selimut. Menolak saat Meiko-san mengajakku berkumpul di ruang tengah.

Wanita itu masih menemaniku di kamar saat aku terkantuk-kantuk dalam selimut. Perasaan resah masih menggelayuti dan entah pikiran dari mana, mendadak aku merasa bahwa Meiko-san berhak tahu tentang apa yang membuatku panik seperti tadi.

Aku bergumam, terdengar seperti orang mabuk. "Tadi aku melihat Len duduk di bawah pohon."

Kemudian kedua mataku tertutup rapat, membawa semua kekhawatiranku dalam mimpi.

Dan dia marah padaku.

The Taste of Nightmare [On-Hold]Where stories live. Discover now