Bab 2

30 4 2
                                    

Saat kuangkat pisau itu di depan mata, benda tajam itu berkilat riang. Seolah berbicara padaku dengan penuh keyakinan.

"Gunakan aku untuk terbebas dari mimpi buruk tak berkesudahanmu ini. Bayar hukumanmu. Potong kelingkingmu sekarang juga!"

Aku mengerjap. Bodoh. Mana mungkin sebilah pisau bisa bicara. Sepertinya aku memang sudah gila. Makanya Meiko-san, pengelola panti asuhan yang kutempati sekarang, begitu rajin mendesakku untuk minum obat... apa ya namanya? Antidepresan? Antiansietas? Antibiotik? Bahkan wanita berusia awal 30 tahunan itu sering sekali mengajakku pergi ke psikiater. Sebenarnya aku bersimpati pada kepeduliannya. Tapi kadang-kadang perilakunya yang terlalu hati-hati—seakan menganggapku seperti barang pecah belah yang akan hancur berkeping-keping jika tersenggol sedikit saja—membuatku merasa kesal dan muak.

Lagipula obat-obat itu tidak bisa mengeluarkanku dari mimpi buruk ini.

Ya. Aku yakin semua hal yang kualami bertahun-tahun ini hanyalah mimpi buruk. Mungkin di suatu tempat, tubuhku tertidur lelap seperti mayat sementara aku di sini melayang-layang, terjebak dalam mimpi menyebalkan yang terasa amat nyata. Masuk sekolah tanpa benar-benar mendengar pelajaran, nyaris tidak merasakan apapun saat makan, dan nyaris tidak merasakan apapun saat terluka.

Aku tak pernah ambil pusing dengan setiap kekacauan yang kubuat—seperti kasus di tangga itu. Ini hanya mimpi. Semua akan selesai begitu aku bangun. Maka, setiap malam sebelum tidur, aku berdoa semoga mimpi sialan ini segera berakhir.

Tapi saat terbangun keesokan paginya, aku tetap berada di tempat terkutuk ini.

Pisau itu kembali memanggil. "Sekarang kesempatanmu! Meiko-san sedang tidak mengawasi dan sekarang kamu diperbolehkan memegang pisau. Tidak ada kesempatan dua kali!"

Kupandangi telapak tangan kiriku, terfokus pada kelingking yang kecil dan pucat. Beberapa detik berlalu dan tangan itu makin gemetar dan berkeringat dingin seiring dengan detak jantungku yang bertambah cepat. Sial. Padahan aku sudah punya kesempatan, tapi malah ketakutan.

Kuletakkan tangan itu di alas potong dan memperkuat genggaman pada pisau di tangan yang lain agar tidak tergelincir saat memotong.

Setelah beberapa kali menghirup napas dalam-dalam, tubuhku jadi rileks. Kalau pakai pisau setajam ini, pasti akan langsung terpotong. Sakitnya juga cuma sebentar. Setelah ini aku akan langsung bangun. Demi keluar dari dunia mimpi ini, aku tidak boleh ragu.

Pisau terangkat. Napasku tertahan. Dalam hitungan... tiga... dua...

The Taste of Nightmare [On-Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang