Bab 3

21 3 1
                                    

"Sudah semua, Rin?"

Satu.

Aku membeku. Seorang wanita berambut panjang mengambil alih pisau dari tanganku. Baskom berisi irisan sayur pun sudah ada di tangannya.

"Wah, makasih ya! Maaf jadi merepotkan." Wanita itu tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang tersusun rapi seperti mutiara. "Aku sudah selesai melipat baju, jadi biar aku saja yang membantu Meiko-san memasak."

Ah, aku lupa ada Luka-neesan di sini.

Aku menyingkir sambil menahan diri agar tidak berdecak. Dia baru datang beberapa hari lalu di panti asuhan ini. Meskipun Luka-neesan bilang padaku bahwa ia hanya membantu Meiko-san mengurus anak-anak, tapi pandangannya tak pernah lepas dariku. Seolah-olah alasan utamanya datang ke sini memang diminta untuk mengawasiku.

Mendadak aku yakin kemunculan Luka-neesan yang menggagalkan usahaku tadi sama sekali bukan kebetulan. Setiap gerak-gerikku akan selalu ada dalam pengawasannya. Pengacau ini tahu apa yang akan kulakukan. Tokoh yang dimunculkan alam mimpi untuk mencegahku keluar dari kutukannya.

Meskipun sekarang aku diizinkan menyentuh pisau, kalau selalu diawasi seperti ini, aku jadi tidak bisa memotong kelingkingku, sialan!

"Ah iya. Ada beberapa baju anak-anak yang sobek hari ini. Mungkin mereka terlalu semangat main kejar-kejaran." Luka-neesan tertawa, mungkin mencoba mencairkan suasana. Bertingkah seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi.

Aku bertanya tanpa keingintahuan. "Lalu?"

"Boleh aku minta tolong Rin untuk jahitkan baju-baju mereka?"

Di sini tidak ada mesin jahit. Mau tidak mau, pekerjaan menjahit harus dikerjakan secara manual.

Apa lagi ini? Bukannya selama ini Meiko-san melarangku menyentuh benda tajam? Tadi aku baru diperbolehkan menggunakan pisau untuk membantu Meiko-san memasak, tiba-tiba sekarang diperbolehkan menggunakan jarum dan gunting?

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Bukannya Meiko-san bilang aku tidak boleh pegang jarum?"

Dulu, sebelum tinggal di panti asuhan ini, aku sering—dan amat suka—menjahit. Aku bisa membuat boneka, menjahit tepian taplak meja, celemek, atau menambal baju. Tapi beberapa tahun sejak tinggal di sini, aku tidak diperbolehkan lagi menjahit ataupun memegang jarum dan gunting.

Kejadiannya lima tahun lalu saat aku baru selesai memperbaiki jahitan boneka beruang dan menambal jaket hitamku yang terbakar di beberapa bagian dengan kain merah jambu. Meiko-san membentakku dan mulai menjauhkanku dari benda tajam apapun. Padahal saat itu aku hanya iseng memasukkan jarum ke mulutku. Aku tidak benar-benar akan menelannya.

Sebenarnya cara keluar dari mimpi buruk ini—selain memotong kelingkingku—adalah menelan seribu jarum. Namun, memotong kelingking jelas lebih mudah daripada harus menelan seribu jarum yang kemungkinan akan tersangkut di kerongkongan atau di organ pencernaan lainnya.

"Kata Meiko-san, kali ini boleh kok." Luka-neesan menyimpan baskom irisan sayur itu di dekat kompor dan memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. "Lagipula Rin-chan hobi menjahit, kan? Hobi yang positif harus disalurkan."

Aku tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Lagipula aku harus tetap sibuk agar kewarasan pikiranku tetap terjaga.

ia menyerahkan setumpuk baju anak-anak bersama segulung benang dan sebuah jarum jahit. Hanya sebuah.

Lalu Luka-neesan berpesan, "Jarumnya dikembalikan lagi, ya!" yang kujawab dengan anggukan.

Aku tidak mau menjahit di tengah suasana ramai ulah anak-anak yang bermain di ruang tengah. Jadi aku membawa baju-baju dan alat jahit itu ke kamarku. Tidak seperti anak-anak lain yang harus berbagi kamar, kamarku hanya ditempati olehku. Isinya hanya satu lemari, ranjang kecil, dan sebuah nakas. Tanpa barang pecah belah seperti lampu tidur, bingkai foto, atau cermin besar. Aku bersyukur ditempatkan di kamar sendirian bersama setumpuk buku pelajaran SMA yang tidak akan dicoreti tangan usil bocah. Satu-satunya tempat yang kusukai di mimpi ini.

Aku langsung mengunci pintu, tidak mau diganggu siapapun. Setelah duduk di ranjang dengan posisi memunggungi jendela, aku memulai persiapan menjahit. Mulai dari mengukur panjang benang yang diperlukan, memutusnya dengan tangan, lalu memasukkannya ke lubang jarum tanpa harus mengulum ujung benangnya terlebih dulu. Aku mengambil baju di tumpukan paling atas dan membalikkannya sebelum mulai menjahit. Beberapa detik kemudian aku sudah asyik menusuk jarum dan menarik benang dengan pola yang teratur.

Tepat setelah selesai menjahit baju terakhir, aku tersentak dengan suara bola plastik yang membentur jendela kamar di belakangku dengan keras. Aku menoleh ke belakang. Untung saja kacanya tidak pecah. Kulihat seorang anak laki-laki, salah satu anak asuh Meiko-san (yang aku tidak tahu namanya karena tidak terlalu peduli) berlari-lari kecil mendekat untuk memungut bola dan langusung pergi setelah mendapatkan bola.

Dari balik jendela, kulihat anak itu kembali bermain bersama teman-temannya di halaman belakang. Sebuah pohon tumbuh menjulang tak jauh dari tempat mereka bermain. Mereka menendang bola, berlari, dan berseru semangat dilatari oleh langit yang mulai menggelap.

Seorang anak menendang bola dengan kuat. Bola itu melambung kemudian membentur batang pohon dan mendarat di samping seorang anak laki-laki berambut pirang—sepertiku—yang duduk berselonjor di bawah pohon. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, menatap tangannya yang asyik memainkan beberapa helai rumput yang tercabut, terlihat sama sekali tidak terusik.

Anak-anak yang bermain bola pun tidak memanggilnya untuk melempar kembali bola itu. Salah satu dari mereka berlari, lalu menunduk untuk mengambil bola dan lanjut bermain, mengabaikan anak itu begitu saja.

Awalnya kukira anak berambut pirang itu mengalami perundungan atau memang senang menyendiri, tapi sepertinya dugaanku salah. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa dibanding anak-anak yang sedang bermain... kulit anak berambut pirang itu jauh terlihat lebih pucat.

Udara meninggalkan paru-paruku perlahan, membuat dadaku agak sesak. Aku melangkah mendekati jendela, bermaksud mengamati anak itu lebih dekat. Lantai serasa membekukan telapak kaki. Firasat buruk menghinggapiku. Sebagian akal sehatku memerintah untuk menjauhi jendela dan segera memberikan baju-baju yang telah kujahit pada Luka-neesan. Tapi aku tetap mendekat. Ada sesuatu yang perlu kupastikan.

Tepat saat aku berdiri di depan jendela di mana sosok anak itu terlihat lebih jelas, semua seolah melambat. Anak itu mengangkat wajahnya. Mata birunya yang persis milikku dinaungi bayangan dedaunan, terlihat sendu dan tajam di saat yang sama. Wajahnya terlihat, membuatku seolah bercermin. Energiku menguap. Gerak bibirnya masih dapat kubaca sebelum tubuhku merosot ke lantai.

"Rin pem-bo-hong."

The Taste of Nightmare [On-Hold]Where stories live. Discover now