bagian 6 | the meaning of Imah

Mulai dari awal
                                    

Tatapan Kiev terlempar ke depan, lantas berujar, "Gue pikir tadinya Kirana bakal rugi udah nolak lo mentah-mentah, tapi begitu tahu kalo lo minus attitude, gue jadi paham dan sangat mendukung pilihannya itu."

***

KEANDRA melepaskan celemek yang melekat. Lewat sudut mata, ia melirik pada jam dinding yang tak jauh dari posisinya. Ternyata sudah hampir menunjukkan pukul 22.50 WIB. Beberapa kursi yang disediakan di kafenya tampak sudah kosong. Hanya ada beberapa pasang manusia yang berkutat dengan laptop, sisanya sedang mengobrol ringan dengan pasangannya.

Sejak maghrib tadi, Keandra sudah undur diri dari rumah Aldo. Apalagi ia mendapat info dari Sandi bahwa kafe sedang ramai, dan Refa sedang izin. Keandra pun memutuskan untuk turut menyumbangkan tenaga di kafenya.

"Di atas masih rame, Lang?" tanya Keandra begitu melihat Gilang yang membawa sebuah nampan berisi beberapa gelas minuman ke arah tangga.

Gilang mengangguk terburu-buru. "Iya, nih, Mas. Kayaknya lagi ada yang ulang tahun deh."

Keandra membalasnya dengan anggukan pula. Ia memang mendesain kafe ini menjadi tiga bagian, di mana ada lantai satu untuk mengobrol ringan, lantai dua khusus untuk reservasi meeting dan kegiatan yang bersifat ramai, sedangkan lantai tiga adalah rooftop. Ruangan yang paling gencar dipromosikan adalah lantai dua karena biasanya ditempati oleh para petinggi perusahaan yang sedang mengadakan acara.

Ingatan Keandra kembali pada jarum jam yang hampir menuju tengah malam. Ia lantas merogoh ponsel yang ada di saku baju. Tampak sebuah pesan belum terbaca yang dikirimkan oleh Kirana sejak dua jam yang lalu. Sebelum memutuskan untuk membalas, Keandra lebih dulu mendudukkan diri di kursi kasir.

Kirana

[Gue besok balik ke basecamp dulu. Lo jemput di sana aja.]

[Btw, pada ngajakin minum-minum nih :((]

[Gue boleh aja kan ya?]

Keandra

[Boleh]

[Minum air putih]

Pesan yang sudah dikirimkan dua jam yang lalu, sudah pasti persetujuannya pun kadaluarsa. Keandra lantas menekan ikon telepon yang ada di sebelah kanan atas. Terdengar sebuah dering yang menunjukkan bahwa teleponnya tersambung. Beberapa detik berlalu dan sambungan teleponnya tak kunjung diangkat.

"Angkat dong, Ki." Keandra menyugar rambutnya dengan perasaan gundah gulana. "Lo kalo beneran minum bisa-bisa habis sama cowok-cowok sialan itu," ujarnya begitu kesal.

Keandra mengulang aktivitasnya hingga beberapa kali. Ia juga mengirimkan pesan beruntun agar Kirana segera mengangkat teleponnya. Sampai pada panggilan ke sepuluhnya, Keandra meremat buku jemarinya hingga memutih. Rasa paniknya menjalar hingga ke ubun-ubun.

"Halo ...?"

Sambungan telepon itu diangkat juga akhirnya. Namun, Keandra yakin jika yang berucap dari seberang itu adalah laki-laki. Keandra mencoba mendengarkannya dengan lebih seksama, terutama ketika mendengar beberapa dialog tak terstruktur.

"Halo ... ini siapa ya?" Benar, itu adalah suara cowok.

"Kirana, lo beneran minum?" tanya Keandra kemudian. Ia berusaha mengacuhkan fakta bahwa manusia yang mengangkat panggilan teleponnya itu bukan Kirana.

"Bang Kiki, balikin hape gue!" teriak Kirana dari seberang.

Beberapa suara gemerisik terdengar kemudian. Keandra menebak bahwa sedang terjadi drama perebutan ponsel di sana. Ia lantas menekan tombol merah untuk memutus sambungan telepon. Dadanya berdenyut tak karuan. Ia merasa udara di sekitar begitu menghimpit. Membawanya pada rasa sakit yang menjalar dan tak berbentuk.

"Udah gila sih lo, Ki," gumam Keandra setelah meletakkan ponselnya pada meja kasir.

Tak berselang lama, sebuah panggilan dari Kirana terlihat. Keandra hanya melihatnya beberapa saat. Bahkan ia membiarkan panggilan itu berlangsung tanpa berniat mengangkatnya. Pada hitungan kelima, panggilan itu terhenti, berganti dengan chat beruntun.

Kirana

[Gue nggak minum. Demi Tuhan, Keandra.]

[Lo juga tahu sendiri gue gimana.]

[Sorry tadi hapenya dibawa sama Bang Kiki, ketua perhimpunan]

[Besok gue balik.]

[Estimasi sampe basecamp sekitar jam 10.00]

[Sorry udah bikin lo panik dan makasih udah khawatirin gue, Keandra.]

***

KIRANA mendudukkan diri di tepian kasur. Rentetan pesan yang dikirimkannya bahkan tak dibaca oleh Keandra, panggilan teleponnya pun tak terjawab semua. Ia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut, membawa puing-puing pening tak berkesudahan. Ia memutuskan untuk merebahkan diri di samping Ratu yang sudah terlelap.

"Lo kenapa dah, Ki?" tanya Ratu tanpa membuka kelopak mata.

Kirana membuang napasnya yang begitu berat. "Keandra kayaknya marah deh, tadi pas dia telepon tuh hape gue pas lagi dipegang sama Bang Kiki dan malah diangkat. Lo tahu kan, chat terakhir gue tuh bekas dare dari Kenya. Jadinya, Keandra mikir macem-macem."

Kelopak mata Ratu terbuka di seper sekian detik. Bahkan ia mengubah posisi tidurnya jadi menghadap pada Kirana. Rasa penasaran sekaligus spekulasinya menjadi melejit.

"Kan, lo sama Keandra pasti ada hubungan apa-apa. Ngaku, deh, lo udah jadian, kan, sama Keandra?!"

Kirana menggeleng keras. "Gue sama dia tuh nggak ada apa-apa. Lo kayak amnesia aja posesifnya Keandra gimana. Dari dulu kan dia emang kayak gitu, Ra. Dia juga udah sering bilang kalo kita ini kayak saudara kembar beda orang tua."

Ratu mendesah kecewa. Lagi-lagi spekulasinya disadarkan oleh realita bahwa keduanya memang sudah sedekat itu sejak dahulu. Ratu kembali memposisikan dirinya untuk berbaring menghadap langit-langit atap.

"Gue jadi inget pas dulu kita baru masuk SMP. Lo sama Keandra beneran kayak perangko sekaligus musuh bebuyutan. Nempel banget tapi nggak akur. Satu sekolah bahkan tahunya kalian itu pacaran," ujar Ratu dengan mata berbinar. Ia lantas menjatuhkan arah pandangnya pada Kirana yang juga menatapnya. "Eh, ternyata malah terjebak di hubungan kakak-adik."

Kirana tak dapat menahan tangannya untuk tidak memukulkan guling kepada Ratu. Ia bahkan membiarkan Ratu berulangkali mendesis kesakitan meski diselingi tawa. Ia diam-diam merindukan masa itu. Masa di mana ia sangat menyukai Keandra dengan segala tingkah pedulinya.

"Fun fact-nya lagi, Ki. Anak seangkatan kita tuh nggak ada yang berani deketin Keandra karena tahu lo pawangnya. Kita semua tahu lah gimana beringasnya elo," ujar Ratu yang diakhiri tawa, lagi.

Kirana ikut tertawa mendengarnya. "Oh, bener juga, gue baru sadar sekarang deh, kenapa mantannya Keandra rata-rata itu kakak kelas."

"Btw, lo besok jadi balik sama Kalion, sesuai dare dari Adil tadi?"

"Jadi, kok. Toh, cuma sampai basecamp aja. Keandra nggak mungkin lihat itu, kan?"

Ratu mengernyitkan dahi. "Kenapa semua pertimbangan di hidup lo selalu ada Keandra, sih? Emang dia seberharga itu?"

"Yailah, Ra. Di hidup manusia sebatang kara kayak gue, mah, manusia modelan Keandra juga udah berharga banget." Helaan napas Kirana terdengar. "Cuma gue yang nggak ada artinya buat dia, Ra. Kasian banget ya, gue ...."

***

AKUNTAN(geng)SI [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang