Part Tiga Belas

Mulai dari awal
                                    

Kini, ketika ia dapati Gween yang tampak tak sudi mendapatkan perhatiannya, ada yang menghimpit dada.

"Aku tidak tahu akan seperti ini."

"Ya...." Gween mengangguk. "Sekarang sudah seperti ini. Harus apa lagi. Iya, kan? Kita akan ditendang dari sini sebentar lagi." Gween mendesah sebelum dengkus geli meluncur pelan. "Akhirnya kita sama seperti papa dan istrinya. Dibuang." Tanpa tatapan kasih seperti biasanya Gween menatap Mahesti datar. "Ini semua karena apa? Kebohongan. Aku tidak peduli dengan pengkhianatan nenek. Tapi membiarkan semua kebohongan ini berlanjut begitu lama...." Jeda, Gween menatap langit-langit rumah yang menggantung lampu cristal mewah. "Kebohongan nenek tidak hanya membunuh papa. Tapi juga akan membunuh kami." Ia gedikan bahu. "Berdoa saja, Janu Citaprasada tidak memperlakukan kita seperti papa. Ditendang begitu saja rasanya jauh lebih baik, dari pada terus dihancurkan, sampai nyawa benar-benar tidak sudi lagi menempel dalam raga kita."

Lalu benar-benar meninggalkan Mahesti yang kian tak bisa membendung air matanya.

Gween bergerak, menyusul cepat Malla sebelum kemudian berhenti di depan pintu kamar Janu yang terbuka ketika didengarnya suara pria yang memiliki kewibawaan begitu kontras dengan usia yang tak lagi muda.

"Karena kalian sudah tidak dibutuhkan lagi. Maka pergi."

*

"Tapi, pa! Bertahun-tahun kami di sini untuk papa! Hanya karena kesalahan mama, kami diusir?!"

Malla tak terima. Menepis pengusiran Janu dengan berbagai bujuk rayu. Biasanya Janu akan mendengarkannya.

"Kamu hanya pion, Malla. Keberadaanmu di sini hanya untuk membuat Mahesti semakin menderita." Melihat wanita yang menghancurkan putranya, pasti membuat Mahesti terus dihampiri rass tak nyaman dan ya ... Janu tahu itu berhasil.

"Tapi ini tidak adil papa! Aku menantu di keluarga ini!"

Malla meremas rambutnya kasar. Gaun tidur bercorak bunga sakura tak mampu memberikan kesan anggun pada sosoknya yang terlihat kacau. Malla tak siap didepak.

"Kamu bukan menantuku. Kamu bukan siapapun." Tak sama sekali menatap Malla, melainkan pada halaman luas yang terhampar di bawah sana, dari balik jendela besar di kamarnya. Janu menjawa dengan tegas tanpa terbersit sedikit iba pada Malla yang kini menangis berlutut di kakinya.

Dia tahu itu hanya lakon semata. Malla hanya terlalu takut kehilangan semua kemewahan ini. Tapi cukup. Cukup sudah Janu memberikan semua fasilitas untuk sebuah pion. Terlebih itu adalah Malla, wanita tak tahu diri yang melakukan berbagai hal licik di belakangnya seolah ia tak pernah tahu.

"Pa ... biarkan aku di sini. Pa ... papa ngga mungkin sendirian, kan? Biarkan aku merawat papa."

Janu nyaris berdecih jijik. Merawat. Sungguh, Malla tak akan pernah melakukan hal itu.

"Sekarang pergilah. Aku tidak membutuhkanmu lagi."

"Paa! Tol--"

"Pergi, ma."

Dari ambang pintu, mengepal erat telapak tangan, Gween angkat suara.

"Pergi, ma."

Tidak. Dia tak menginginkan ini. Tapi ... pengusiran Janu rasanya tak lagi mampu ia atasi bahkan dengan bujuk rayu. Pria itu keras kepala. Dan entah mengapa, di balik semua rasa takut akan kehilangan semua jabatan dan kedudukan yang sudah ia dapatkan dengan susah payah terkikis dengan rasa lelah. Lelah bersujud untuk memohon belas kasih seorang Janu.

Namun sebelumnya, ia memohon pada seorang kakek yang membesarkannya. Dan kini ... Janu sudah mengatakan jika ia bukan cucu pria itu. Bukan bagian dari Janu Citaprasada lagi. Dan untuk memohon pada seseorang yang bukan siapa-siapa dalam hidupnya ... itu tak akan terjadi.

"Gween!"

Bangkit, Malla menghampiri putrinya, menarik tangan wanita itu agar mendeksti Janu dan memohon seperti dirinya. Namun, bergerak barang seinci saja tidak. Gween tak akan memohon.

Seiring dengan gerak Malla yang mendekati Gween, Janu yang sudah menoleh tepat ketika suara Gween terdengar, mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh.

Gween ... cucunya.

Tidak. Bukan. Wanita itu bukan cucunya. Gween juga pion. Ya ... Gween juga pion untuk menyakiti Mahesti.

"Gween! Minta kakek kamu untuk menarik keputusannya. Dia pasti mau dengarkan kamu."

Gelengan tegas Gween lantas Malla terima dengan kesal. Gween dan harga dirinya. "Jangan keras kepala! Ini tempat tinggal kita dan kita ngga akan pergi dari sini!"

"Apa yang tuan Janu katakan kurang jelas, ma?" Tatapan selaksa anak panah itu Gween arahkan pada Janu yang menahan gerak tangan menyentuh dada yang mendadak nyeri. "Aku bukan cucunya. Dan mama orang lain di sini. Kita hanya pion. Hanya pion."

Segera melengos saat setetes cairan ingin meleleh dari telaga beningnya. Gween menarik tangan yang Malla genggam sebelum kemudian berbalik menahan diri untuk tak luluh di sini.

Ia takut kehilangan semua kemewahan ini. Takut semua kerja keras dan pengorbanannya musnah tak berarti. Namun di atas itu semua. Nyatanya ia lebih takut ketika Janu tak menganggap dirinya lagi.

Janu ... pria yang bahkan lebih berarti dari Sadewa dala hidupnya. Hari ini, mengatakan jika ia bukan bagian dari pria itu. Bukan cucu pria itu.

Mencipta langkah dengan kaki yang terasa goyah. Gween berhenti kala suara tegas Janu menyusup ke indra pendengarannya. "Aku sudah memecatmu."

Menelan kasar saliva yang terasa seperti sekepal duri, Gween mengangguk tanpa mampu menoleh pada Janu yang sudah tak lagi memandangnya, melainkan pada langit mendung di luar sana. Namun tak dengan dengan tatapan tajam seperti biasanya. Pria itu, memberikan sorot sayu, tanpa ada nyala kehidupan dalam netra tua itu.

"Ya..." Kek. "Terima kasih."

Dan kepergian wanita itu, diiringi jerit tak terima Malla akan keputusan sang putri yang menyerah begitu saja. Sungguh. Andai Gween ingin memohon sekali saja. Janu pasti akan luluh.

Tbc....

Masalah Gween dan keluarganya kelar. Dan setelah ini benar-benar fokus ke Gween dan kehidupannya.

Akhirnyaaaa.

With love,
Greya

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang