Part Tiga Belas

30.8K 5.1K 563
                                    

Sesaat dunia seakan berhenti seketika, seolah melenyapkan gaya gravitasi, pikiran Gween melayang-layang di udara. Mengerjap sesaat sebelum menoleh ke arah pintu yang membawa pergi tunangan yang mengkhianatinya bersama selingkuhan pria itu--begitu selamanya ia akan menyebut pasangan Greya dan Elzir--Gween lalu menjauhi Mahesti yang meraung dengan kata maaf meluncur pelan dari bibir wanita malang itu.

"Papa!"

Tak tahu tindakan apa yang harus dirinya ambil. Gween tersentak pada seruan Malla yang berusaha mengejar Janu yang kembali ke kamar pria itu di lantai atas. Ikut bergerak untuk menyusul sang ibu, ia rasakan genggaman hangat di jemarinya.

Dengan sepasang netra menyorot sayu, Mahesti memanggilnya penuh rasa iba. Wanita ini ... bagaimana bisa wanita ini yang menjadi dalang dari semua kehancuran.

Pengkhianatan.

Yah ... hanya pengkhianatan yang bisa menghancurkan segala sesuatu dengan begitu mudah.

Tapi ... Mahesti yang tampak begitu lugu dan tak berdosa selama ini adalah penyebab semua kehancuran ini.

"Gween."

"Kenapa tidak jujur sejak awal?" Menemukan pancaran ingin dikasihani dari balik kelopak sayu Mahesti, sebuah iba terbit layak senja yang akan tenggelam dalam gelap. Iya, sesaat saja iba itu tampil pancaran wajah Gween, memberikan angin sejuk untuk Mahesti yang kini butuh sosok pendukung. Sebelum kemudian Gween tarik tangan yang menggenggamnya erat, dan menggeleng pelan.

"Setidaknya, kalau nenek jujur dari awal, aku tidak perlu ada dalam kondisi seperti ini." Siap didepak keluar. Ah ... ia paham sekali watsk Janu. Jika pria itu rela melenyapkan Sadewa demi menyakiti Mahesti. Maka tak sulit bagi pria itu menendang Gween yang turut menjadi pusat balas dendam pria itu. "Bahkan aku rela jika tidak pernah dilahirkan di dunia ini."

Karena kelahirannya pun tak pernah benar-benar diinginkan. Dia bukan Greya yang mungkin saat lahir mendapat uluran tangan hangat Sadewa.

Sementara dia ... pria itu, yang mengaku sebagai ayahnya, hanya menemuinya beberapa kali saja sebelum di hari ulang tahunnya yang ke lima belas, tak lagi pernah kembali.

Janu hanya memanfaatkannya saja. Mengasuhnya seolah ia cucu, mendidiknya seolah ia akan menjadi pewaris utama kekayaan Citaprasada hanya kamuflase belaka. Pria itu merawatnya hanya demi hari ini. Dapat mendepak dirinya di hadapan Mahesti, menambah luka di hati wanita tua malang itu. Tapi ... Gween bahkan ragu jika Mahesti akan terluka hanya karena kehancurannya. Sang nenek juga tak benar-benar menerima kehadirannya, kan?

Dan Malla ... hanya melahirkannya agar bisa mendapatkan Sadewa. Agar bisa menikmati semua kemewahan ini. Ah ... tapi tanpa Sadewa pun, Malla menikmati dengan puas kekayaan Janu Citaprasada, kan? Biar Gween terka mengapa Janu mempertahankan Malla di sini.

Pasti hanya untuk membuat Mahesti kian menderita. Sungguh. Malla secara tak langsung turut andil dalam melenyapkan Sadewa dan keluarga pria itu. Dan tinggal bersama orang yang tidak disukai jelas akan membuat hati tersiksa dan ya ... terlihat jelas jika Mahesti terluka tatkala menatap Malla yang tak tahu diri.

Tapi tampaknya tugas Malla pun berakhir sampai di sini. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai wanita itu didepak bersama Gween.

Terisak lemah, Mahesti menggeleng. Berusaha meraih jemari cucunya lagi, namun tangan hanya menggantung di udara kala ia dapati Gween bergeser memberi jarak.

Dulu Gween selalu berusaha mendekatinya, mencari perhatiannya namun ia tak sanggup membalas semua itu secara langsung hanya karena beban bersalah terhadap Sadewa dan Greya. Menunjukkan rasa sayangnya pada Gween seolah membuat ia berkhianat pada sang putra, hingga ia hanya menyimpan rapat kasih itu dan membuatnya menjadi sosok yang seakan tak peduli.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang