"Dia ngga ikut latihan akhir-akhir ini bukan karena malas atau apa. Tapi karena luka-luka itu."
"Saya tahu." sela Pak Hans. "Maka dari itu, saya ngga mau ambil risiko yang bisa memperparah lukanya nanti."
"Pak, Gasta itu kuat, Pak." tukas Aimee. "Meski dia seperti itu, dia bakal rela berkorban. Dia bakal berusaha ngobatin. Harusnya Bapak kasih dia kesempatan. Bukan asal ngeganti. Saya tau reputasi Gasta dan gimana dia berusaha mempertahankan reputasinya. Saya yakin, kalo Bapak kasih Gasta kesempatan, dia bakal struggle, Pak." tutur Aimee panjang lebar.

"Jadi kamu tau, soal luka itu? Penyebabnya?" tanya Pak Hans.
"Saya tau, tapi saya sudah janji pada Gasta buat ngga ngasih tau siapa-siapa soal itu."
"Bapak juga sudah tau."
"Tapi Bapak ngga tau kan, ada luka-luka part dua?" senyum tipis Aimee terkembang.
Raut Pak Hans menegang.

"Part dua?"
Aimee mengangguk.
"Gimana itu?"
"Intinya karena Bapak habis mengontak orangtuanya, dia yang kena imbasnya. Luka-lukanya nambah lagi. Gitu lah, Pak. Wajar kan kalo dia sakit, ngga bisa ikut latian."
Air muka Pak Hans benar-benar berubah. Kesinisannya sirna, hilang berganti dengan raut penuh perasaan bersalah.

"Kalo Bapak berkenan ngajak dia lagi, saya janji saya bakal bantu support dia. Dengan motivasi maupun ngerawat luka dia. Saya yakin, Gasta bisa bangkit, Pak." ujar Aimee memantapkan hati Pak Hans.

Pak Hans mengangguk. "Akan saya pertimbangkan lagi nanti." pungkasnya.

Aimee meninggalkan ruangan Pak Hans dengan hati lapang. Sedangkan Pak Hans, duduk termangu, memandangi kepergian Aimee, murid perempuannya yang berhasil membukakan pintu hatinya untuk tidak lagi bertindak gegabah.

***

Setelah pelajaran olahraga keesokan paginya, saat Gasta berjalan meninggalkan lapangan menuju kelas, Pak Hans terlihat menantinya di ujung koridor sekolah.

"Sini." ujar Pak Hans, menggamit tangan Gasta, mengajaknya ke dekat pintu kantor yang tidak dilalu-lalangi oleh orang-orang.
"Ya Pak?"
"Saya sudah bilang Valdi." beritahu Pak Hans.
Gasta menunduk. Wajahnya lesu. Itu gue juga udah tau Pak, batinnya.
"bahwa dia ngga perlu gantiin kamu jadi kapten." lanjut Pak Hans, menepuk pundak Gasta.

Terbelalaklah netra Gasta. "Serius, Pak?"
Pak Hans mengangguk, tersenyum mantap.
Senyum Gasta merekah. Binar matanya tampak sangat bahagia.
"Makasih, Pak. Makasih banget." Gasta menyalimi pelatih basket sekaligus wakil kepala sekolahnya itu. Dengan hati riang, Gasta melenggang menuju kelasnya.

***

Tiba di kelas, Gasta senyum-senyum sendiri. Lalu dia duduk di sebelah Valdi. Valdi yang menangkap kegembiraan hati Gasta tentu tidak heran.

"Seneng kan ati lo." celetuk Valdi, memicingkan matanya ke arah Gasta.
Gasta membalasnya dengan senyum. "Masih rejeki, Di." Gasta mengacungkan jempolnya.

"Ya udah. Lo bikinin yel-yel kelas buat POR sekolah minggu depan."
"Eh? Kok gue?"
"Kan lo sering tanding basket. Pasti tau lah model yel-yel yg oke kaya gimana."
"Lah, kan lo juga ikutan tanding, babi. Gimana sih? Amnesia lo?"
"Tapi otak gue kaga jalan. Kaga kaya otak lo yang ada treadmillnya, bisa muteeeer terus. Ya? Ya? Ya?" rayu Valdi dengan senyum merajuk.

Gasta melengos. "Ya udah. Tapi terserah gue ya?"
"Ya iya. Masa terserah emak lo. Sekalian lo latih temen-temen besok."
Gasta melotot. "Yang ketua kelas kan elo. Gimana sih gardu ronda! Semua semuanya gue!" Gasta mendengus kesal.
"Kan pas hari H, gue tanding, bego!"
"Heh, gue juga ya!" Gasta menunjuk-nunjuk muka Valdi.
"Lo basket doang anjir. Gue basket, futsal, voli, balap karung, kelereng..."
"Lo kira tujuh belasan!" Gasta menjitak kepala Valdi. "Gue voli juga ikut ye!"
"Udah lah ngga usah bacot. Lo bikin yel-yelnya sekarang, besok tinggal kasitau temen-temen." Valdi menepuk pundak Gasta.

Aim for AimeeΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα