Bukan dibuka dari dalam, tapi itu dari luar dan bukan aku yang melakukannya. Kulihat pemandangan di dalam, dua siswi yang tampak seperti preman dengan seorang lagi siswi berseragam olahraga yang duduk di lantai.

Salah satu tangan siswi itu masih mengambang di udara, seperti hendak menampar. Atensi mereka berhenti pada pintu toilet yang terbuka tiba-tiba.

"Kenapa kau diam saja, Eunkyung!"

Tidak, suaranya terucap tanpa nada bentakan. Tapi penuh penekanan hingga membuatku semakin bergetar. Aku menggenggam tanganku sendiri agar getaran itu segera teredam.

"Jiwoo-" ucapanku terhenti karena ia segera masuk ke dalam.

Tidak peduli itu toilet wanita, ia menarik lengan gadis yang duduk di lantai itu, yang baru kusadari adalah Soyoung. Jiwoo terlihat melirik tajam dua siswa yang masih terkejut, aku tak pernah melihatnya semarah itu.

Lantas keluar menerobos kerumunan yang entah sejak kapan ada.

"Wah, daebak, mereka benar-benar berani." (Keren)

"Jika aku jadi mereka, aku akan memilih tempat sepi, atau setidaknya tidak saat jam sekolah."

Bisikan-bisikan itu membuatku muak, dan aku segera meninggalkan tempat itu. Sambil memegang tanganku yang masih gemetaran.

●○●○

Disinilah aku berakhir, di ruang kesenian yang kebetulan tak dipakai hingga jam pulang. Aku duduk di pojok ruangan.

Mengamati kanvas-kanvas yang masih kosong, patung-patung di depan yang biasanya menjadi objek lukisan para siswa. Serta kerajinan dari tanah liat yang terpajang di lemari kaca. Ruangan ini cukup berantakan.

Aku berdiri lalu menatap ke luar jendela, sekolah sudah cukup sepi. Kuputuskan kembali ke kelas untuk mengambil tasku.

Pintu bernamakan ruang kesehatan itu menarik perhatianku, aku memasukinya, barangkali Soyoung dan Jiwoo ada disana. Tapi ruangan itu kosong.

Kuhembuskan napas berat, melanjutkan langkahku menuju ke kelas. Kemudian kembali terhenti, melihat Jiwoo di pintu kelasku sambil terfokus pada ponselnya. Lalu ia menempelkan ponsel itu ke telinganya, terlihat menelpon seseorang.

Sekian detik setelah itu, ponselku berbunyi, tertera nama Park Jiwoo di layar. Lantas mata kami bertemu.

Kembali pada niatku mengambil tas di dalam kelas, mau tak mau harus melewati Jiwoo.

Ketika aku hendak keluar kelas setelah mengambil tas, ia menghalangi jalanku. "Kita perlu bicara."

"Wae? Kau masih ingin membahas tadi siang? Kau marah padaku?" Sarkasku dengan setengah berteriak.

Amarahku tak tertahankan, aku juga tidak tahu kenapa emosiku tidak terkendali beberapa hari terakhir. Kurasa aku akan menggila setelah ini.

"Aku hanya ingin tahu, alasanmu." Ujarnya hampir tak terdengar oleh telingaku.

Kedua tangan kugerakkan untuk menutup mukaku, "Aku.. tak sanggup melihat seseorang yang tak berdaya."

Alasan sebenarnya adalah aku yang takut mendengar teriakan-teriakan marah. Dari siapapun itu, kepada siapapun itu.

Namun aku juga tidak mau pergi, karena aku paham hanya rasa bersalah yang menghampiri jika aku membiarkan pembulian itu seolah tak terjadi apa-apa.

"Kau yakin kau tidak sengaja?" Pertanyaan itu lebih mirip tuduhan padaku, kutatap Jiwoo tidak percaya.

"Untuk apa aku sengaja?" Kukembalikan pertanyaan itu padanya.

Tatapannya menyiratkan keraguan, tidak jelas keraguan atas diriku ataupun keraguan atas apa yang ia lakukan sekarang. 

Ia diam cukup lama hingga membuatku jengah, "Jiwoo-ya, jangan temui aku sementara."

Kakiku melangkah meninggalkan Jiwoo, kupikir ini adalah pilihan yang tepat. Aku perlu menenangkan diriku.  Karena walau kami membicarakannya, tidak ada solusi yang kami dapat. Hanya menambah parah amarahku.

Ia memanggilku dua kali, namun tak terdengar langkah kaki mengejarku. Seperti mulut dan hatinya tak bekerja sama. Aku juga tidak peduli, rupanya kami tidak bisa bicara dalam waktu dekat.

●●●●

Hi.. ga kerasa udah hari sabtu lagi hehe.
Di chapter ini jeykey ga keluar dulu ya... masih belum afal skrip ksks, apaan sih.

Xx,
Rinvsoul
305

Through The Night | JJK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang