Gadis itu meletakkan bungkusan plastik di atas meja, tangannya mengambil sesuatu dari dalam sana. Setelah menemukan apa yang ia cari, senyum lebar mengembang di bibir mungilnya. Kemudian menyodorkan pada Devano.

"Nih, buat Bapak."

Devano mengerutkan dahi, melihat gadis itu menyodorkan sebungkus coklat batangan yang tadi ia beli di supermarket. Kepalanya mendongak menatap lekat wajah cantik milik Alana.

"Kalau, Pak Dev, menerima coklat ini ... maka saya akan memaafkan Bapak."

Kenapa sikapnya masih sama kaya dulu waktu pacaran, sih? Malah, semakin sempurna di mataku. Huaaaa. Mata, please ... Jangan pernah masukin wajah dan sikap Devano ke hatiku lagi, karena di dalam sana udah ada Kiano. Cuma Kiano.

Pria itu terkekeh kecil lalu menerima coklat yang diberikan oleh Alana. "Terima kasih, sudah memaafkan saya."

Alana mengangguk, sambil menunjukkan deretan gigi putihnya. "Oh iya, Pak, mulai sekarang kalau Bapak mau meeting bersama Pak Handoko, izinkan saya ikut mendampingi Bapak, ya."

Devano mengerutkan dahi. "Kamu yakin?"

Alana mengangguk. "Iya, Pak."

"Baiklah. Tapi, saya harap kamu tidak terlalu memaksakan diri, karena saya tahu jika hal itu pasti akan sangat sulit untuk kamu."

"Terima kasih, Pak. Sudah memberikan kesempatan kepada saya."

Devano tersenyum tipis, sambil mengangguk pelan.

Ck, kenapa dia polos sekali, sih? Pantesan Kiano suka sama dia.

Alana menundukkan kepala sopan lalu berjalan menuju meja kerjanya. Dirinya yang semula takut tidak akan dimaafkan oleh Devano pun, kini merasa sangat bahagia dan tenang karena pria itu justru lebih baik dari yang pernah ia temui sebelumnya.

Perusak mood, kenapa malah jadi mood booster? Tuh kan, ini otak kenapa nggak sejalan sama tuannya, coba? Huh. Sadar, Alana, sadar ... kamu itu udah PDKT sama Kiano, jadi fokus aja sama dia.

•••

Di lantai dasar semua karyawan wanita yang biasanya selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tiba-tiba melupakan tugas yang diberikan oleh atasannya. Mereka justru duduk manis, sembari menopang dagu menatap pria tampan yang tengah berjalan melewati meja kerja mereka.

Para karyawan wanita langsung menundukkan kepala, tersipu malu tatkala Gavin melemparkan senyum manis andalannya, kecuali Silvi. Gadis itu justru sangat fokus menatap layar monitor, dengan jemari yang terus menari-nari di atas keyboard. Sehingga mengabaikan teman-temannya, yang hampir meleleh melihat Gavin yang tiba-tiba datang ke kantor.

"Ekhem."

Sejenak Silvi menghentikan pekerjaannya, saat mendengar deheman seseorang dari belakang. Ia beranjak dari tempat duduk lalu memutar tubuh, guna melihat seseorang yang ada di belakangnya.

"Hakh!" Bola matanya membulat sempurna, melihat Gavin—pria yang baru saja menjadi gebetan sejak dua hari lalu kini berdiri tepat di hadapannya. Saking terkejutnya, gadis itu langsung berjalan mundur hingga terpentok meja membuat beberapa berkas berjatuhan ke lantai.

Namun, sedetik kemudian ia kembali membenarkan posisi seperti semula. Netranya menatap lekat wajah tampan milik pria yang kini berdiri di hadapannya.

Ini beneran, Gavin? Aduh ... ini beneran mimpi apa bukan sih? Daripada bingung, lebih baik aku buktiin sendiri.

Silvi menghela napas panjang lalu maju satu langkah, hingga benar-benar berdiri dalam jarak dekat dengan pria tampan itu. Karena tubuhnya yang mungil, ia sampai harus mendongak agar bisa bertatap muka dengan Gavin.

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Where stories live. Discover now