1. Change

56 10 14
                                    

Dea Alma pernah mendengar mitos yang mengatakan jika dalam satu keluarga semuanya baik, pasti akan ada satu orang yang berbeda. Entah menjadi perusak nama baik keluarga atau selalu menyusahkan semua anggota keluarga.

Setelah dipikir kembali, Dea mengakui jika itu memang benar. Selama 23 tahun Dea tak pernah benar-benar taat pada agama. Berbeda dengan kedua orangtuanya yang tak pernah lalai sekalipun dalam sholat, mengaji, mengikuti kajian di berbagai tempat. Meski belum menginjakkan kaki di Mekkah untuk ibadah Umroh atau Haji, tapi kedua orangtuanya sangat dihormati karena memiliki kebaikan dan akhlak yang terpuji.

Juga kakak sulungnya, Teha Alman, meski tidak selalu mengatakan dalil tentang perintah agama namun kata-katanya seringkali bijak dan membawa semua teman-temannya ke jalan yang benar. Usianya 25 tahun dan sedang menjalani Ta'aruf dengan seorang perempuan yang tak lain adalah teman badung Dea.

Sungguh, hanya Dea yang enggan berubah sebaik apapun keluarganya menuntun dan mengarahkan. Sebijak apapun Teha hingga berhasil membuat temannya berubah drastis. Seindah apapun semua isi yang ada pada Kitab Suci Al-Qur'an, Dea selalu berakhir mimilih jalan yang tak di halalkan oleh Islam. Dea tak memikirkan dirinya seorang perempuan bahkan tak perduli ucapan semua orang. Hanya mau menjalani hidupnya sesuai dengan apa yang ia sukai.

Mabuk, merokok, mengumpat, clubbing, Dea benar-benar menikmatinya. Tapi, maaf saja, jika menyentuh Narkoba Dea tak pernah ingin mencobanya meski sekuat apapun teman-temannya membujuk.

Ini hanya Dea dengan dunianya. Yang penting ia tak pernah berurusan dengan hukum, baginya hidup seperti ini baik-baik saja. Toh, keluarganya pun masih menerimanya dengan baik meski seringkali telinganya panas karena terus diberi nasehat. Yang penging ia tak pernah dituntut untuk Ruqiah, itu saja cukup.

Namun entah mengapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk menghampiri Teha yang tengah membaca buku di depan teras sebagai rutinitas ngabuburit setiap Ramadhan. Ia ingin menuntut penjelasan rinci tentang kakaknya itu yang sangat menyukai Kimi yang jauh berbanding terbalik dengan kakaknya itu.

Karena akan lebih wajar jika Teha menyukai Aisyah, gadis bercadar yang ia dengar mengagumi Teha diam-diam. Ini selau menarik untuk dibahas.

"A," panggil Dea lalu duduk di kursi di sebelah Teha yang kini menoleh padanya.

"Apa, Dek? Mau jajan?" Teha merogoh saku celananya tapi cepat-cepat Dea menahannya.

"Bukan." Dea menggeleng, menaikkan kedua kakinya lalu duduk bersila menghadap Teha yang kini menutup Novelnya.

"Gua kepo, lu kok suka sama si Kimi. Dia kan temen mabok gua, A. Lu juga liat dia kayak anak setan joget-joget di depan rumah kalau lagi tebleng."

Teha terkekeh pelan, ingat dengan kejadian yang selalu berhasil membuatnya tertawa terpingkal di dalam kamar. Ia menyimpan Novel di atas meja kecil yang menengahi mereka lalu menatap Dea dengan teduh.

"Gua udah bilang sama lu berkali-kali. Gua juga nggak ngerti? Yang gua tau dia selalu bikin gua ketawa kalau ngomong. Lu tau gua ini monoton. Nggak bisa lawak, tapi dia bisa. Gua milih dia karena gua yakin kalau selama hidup sama Kimi gua bakal bahagia."

Dea masih tidak mengerti, ia saja sering merasa malu memiliki teman segila Kimi. Tapi, Teha bisa berpikir seperti itu?

"A, gua bukan jelekin temen sendiri. Tapi, kayak nggak adil buat lu. Semua orang tau lu se-alim apa dan Kimi se-goblok apa. Nih, gua juga pernah dikasih tau sama lu soal pasangan hidup. Orang baik itu buat orang baik. Orang buruk buat orang buruk. Lah elu? Padahal ada Aisyah yang suka sama lu. Dia orang baik padahal. Cocok sama lu dari pada sama Kimi goblok." Dea menggeleng dan berdecak tak percaya. Ia mengambil sebungkus rokok dan pematik bensin dari saku celananya, menyalakannya dan menyesap rokok itu. Ia mengepulkannya di depan Teha yang kini masih saja tersenyum dengan tatapan penuh arti padanya.

Ngabuburit Bareng Peanut (Oneshoot Project) Where stories live. Discover now