#30

1.8K 119 0
                                    

Aku memandang pantulan wajahku dari air kolam renang yang tenang dengan pandangan kosong. Kuberanikan diri duduk di pinggirnya dan mencelupkan kaki telanjangku ke dalam air. Hangat. Kugerakkan kakiku di air seiring dengan anganku yang semakin berkelana bebas.

"Hei."

Luce memposisikan diri duduk di sebelahku dan memasukkan kakinya ke dalam kolam. Kami terdiam dengan pikiran masing-masing sampai lelaki itu berinisiatif memecah keheningan.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tidak ada." Aku menciptakan riak air dengan gerakan kakiku. "Kau sedang apa disini?"

"Aku bosan." katanya sembari memandang langit. "Besok kau kembali ke Melbourne, kan?"

Aku ikut memandang langit. "Ya. Kau kenapa tidak ikut?"

"Ada sesuatu yang perlu kuurus. Mungkin paling cepat lusa aku baru bisa kembali ke Melbourne."

Angin bertiup cukup kencang dan menerbangkan rambutku sampai menutupi sebagian wajahku. Luce dengan sigap menyingkirkannya dan tanpa sadar memangkas jarak di antara kami.

"Maaf," Aku buru-buru memundurkan posisiku sebelum menimbulkan kesalahpahaman.

"Aku benar-benar sudah tidak punya kesempatan lagi ya," ucapnya lirih nyaris seperti berbisik tapi aku masih bisa mendengarnya. Enggan berkomentar, kualihkan topik daripada terasa canggung. "Anyway, aku baru tahu kau mengecat rambutmu menjadi hitam."

Luce menatapku lekat sejenak sebelum membuang pandangan ke arah kolam, "Aku ingin kembali menjadi jati diriku. Jadi, kukembalikan warna rambut asliku."

"Jadi kau tidak terlahir pirang?" Aku pura-pura tidak tahu menahu soal itu.

"Tidak. Aku terlahir dengan rambut hitam."

Merasa sudah terlalu lama berendam, aku mengangkat kakiku dari air dan duduk bersila menghadapnya. "Luce, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Sure."

"Bagaimana perasaanmu terhadap Aubrey?" tanyaku hati-hati. "Kau tahu, dia sahabatku. Aku menyayanginya dan aku tidak ingin dia tersakiti."

"Entahlah," Lelaki tampan itu membuang pandangan dariku. "Aku menyukainya, tapi aku tidak yakin apa aku bisa membawa rasa ini ke tingkat yang lebih serius."

"Jadi?"

"Jujur aku terjebak dilema. Di satu sisi, aku tidak ingin memberinya harapan palsu. Aku tidak ingin berpura-pura mencintainya di saat aku tidak merasakan hal itu. Tapi di sisi lain, aku ingin belajar mencintainya, karena ....,"

"Karena?" Aku mengulangi kata-katanya.

"Kurasa Aubrey tulus mencintaiku." Luce menunduk dan memainkan air dengan tangannya. "Lagipula, kau kan tahu aku berencana pindah ke Indonesia. Mungkin aku bisa belajar melibatkan Aubrey ke dalam setiap rencanaku ke depan."

"Bagaimana dengan Defne?" Aku menoleh ke kanan kiri, memastikan tidak ada satupun orang yang mendengarnya, sekalipun tukang kebun. "Kau sama sekali tidak punya rasa terhadapnya?"

"Pasti Philo yang memberitahumu," Luce tersenyum ironis. "Aku hanya menganggapnya sebagai adikku. Kami tumbuh bersama dan aku tidak tertarik menghabiskan sisa hidupku di lingkungan istana ataupun yang berkaitan dengan kehidupan bangsawan. Itu mengingatkanku dengan luka lama," Aku menatapnya khawatir, "Kau tidak perlu melanjutkannga jika tidak ingin." Tapi dia menggeleng, dan melanjutkan kata-katanya. "Aku sudah memaafkan mereka tetapi benar-benar ingin terlepas dari bayang-bayang itu,"

"Apa karena bibi Letta adalah seorang Putri, kau jadi tidak tertarik dengan Defne yang seorang Putri?"

"Itu salah satunya tapi sebenarnya bukan karena itu ....," entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak.

Crown Prince of Greece (TERBIT)Where stories live. Discover now