#14

2.3K 159 1
                                    

Theo menepati janjinya.

Pria itu sudah berdiri tidak jauh dari kelas dan bersandar pada tiang dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana jeans hitamnya. Kasual namun tetap berkelas.

"Hai."

Aku mengabaikan tatapan ingin tahu dan bisik-bisik yang kudengar dari mahasiswa yang masih bergerombol di depan kelas.

"Hai."

Pria itu maju selangkah mendekatiku lalu menarik tanganku. Menggenggamnya, sebelum mengajakku pergi dari sana diiringi pekikan tertahan dari para mahasiswi yang melihatnya.

Ugh, aku benci menjadi pusat perhatian.

"Kau—"

"Aku menepati ucapanku, bukan? No more backstreet." demi Tuhan, aku sangat ingin menyumpal mulutnya yang sengaja berbicara dengan nada keras.

"Tapi aku tidak suka menjadi pusat perhatian." Aku cemberut. Kenyataan jika mungkin saja setelah ini aku jadi punya haters adalah kesalahan Theo yang absolut.

"Sudahlah. Lagipula, kau harus terbiasa dengan semua perhatian publik. Menjadi istriku, tidak mungkin bisa jauh-jauh dari kamera blitz dan semacamnya." Pria itu mendekatkan punggung tanganku yang berada dalam genggamannya ke arah bibir dan menciumnya.

"Theo!" Aku menatapnya tajam. Pria itu justru tertawa. Lengkap dengan giginya yang rapi—sungguh membuatku iri setengah mati—dan lesung pipi yang membuatnya menawan.

"Sabar, sweetheart. Kau harus mulai bisa mengontrol emosimu yang meledak-ledak." Theo menuntunku ke arah Range Rover miliknya yang terparkir di parkiran dosen terdekat dengan kelasku. "Kau tahu, kau mengingatkanku pada Philo. Emosinya persis sepertimu."

Aku menipiskan bibir membentuk garis lurus. Malas berdebat dengannya. Aku memasuki mobilnya dalam diam saat pria itu sudah membukakan pintu mobilnya untukku.

"Sayang, seatbelt." Theo mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuatku bisa mencium aroma musk yang menguar dari tubuhnya. Aroma khas Theo. Aku memejamkan mata, menikmati aroma yang kurindukan selama beberapa minggu terakhir tidak bertemu dengannya.

Sekarang, jarak wajahnya sangat dekat denganku. Helaan nafasnya yang beraroma mint sampai tercium olehku.

"Kau kenapa, sih?" Theo memundurkan tubuhnya setelah memastikan seatbelt ku telah terpasang dengan sempurna dan kembali duduk di kursinya. "Menunggu kucium, hm?"

Sialan Theo!

Rona merah menjalari wajahku. Aku yakin wajahku pasti sudah semerah kepiting rebus. Aku menggeleng tegas dan menatapnya tajam, "Ayo jalan! Kau mau kita digosipkan yang tidak-tidak dengan mereka?" kutunjuk gerombolan gadis yang masih setia menatap mobil Theo dengan tatapan penasaran.

"Aku tidak peduli, sweetheart. Lagipula, untuk apa kau peduli? Ini hidupmu, bukan hidup mereka. Kau yang berhak mengaturnya, bukan mereka." Theo mendekatkan wajahnya kembali untuk mencium keningku.

"Kau cantik."

"Sudah, ayo jalan!" Aku membuang muka. Sumpah demi apapun, aku tidak pernah merasa segugup ini saat berdekatan dengan pria.

Theo lagi-lagi tertawa.

Jenis tawa yang ingin kudengar setiap hari. Setiap waktu, setiap menit, dan setiap detiknya.

"Maaf ya membuatmu menunggu lama." ucapnya tanpa menoleh. "Aku punya kabar baik untukmu."

"Apa?"

"Keluargaku merestuiku hubungan kita. Mereka ingin segera bertemu denganmu. Tapi, kukatakan pada mereka kalau kita ingin menemui orang tuamu terlebih dahulu di Indonesia."

Hatiku menghangat. Aku selalu percaya, kalau jodoh pasti dimudahkan.

Tangan kananku yang bebas ditarik masuk ke dalam genggamannya. Diletakkan di atas perseneling dengan telapak kirinya yang melingkupi di atas punggung tanganku.

"Kita mau kemana?" tanyaku saat Range Rover miliknya terus melaju menjauhi kota. Theo tidak menjawab, hanya tersenyum.

Ternyata dugaanku salah. Tak lama kemudian kami memasuki suatu kawasan yang asing bagiku. Tempatnya rindang, karena banyak pepohonan disini. Sekilas terlihat seperti hutan, namun saat kuperhatikan lebih detail, itu lebih ke sebuah taman.

"Welcome to the beautiful hidden park," Aku menatap takjub pada pemandangan yang memanjakan indera penglihatanku. Theo mengajakku mendekati sebuah kolam yang berukuran cukup luas namun terlalu kecil untuk bisa disebut danau.

Suasana yang sepi membuatku dapat mendengar suara gemerisik daun yang jatuh di permulaan musim gugur ini.

"Indah sekali." Aku berjalan mendekati batu yang berada di pinggiran kolam itu. Airnya berwarna biru kehijauan, namun tetap terlihat jernih. Ikan-ikan koi berkerumun mendekat ke arah kakiku yang menggantung di atas batu.

"Bagaimana caramu menemukan tempat seindah ini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari ikan-ikan koi berukuran besar itu. Mungkin ukurannya setengah meter.

"Aku menemukannya saat usiaku dua belas tahun. Waktu itu aku dan sepupuku dari Inggris mengikuti kunjungan rutin Ratu Inggris terdahulu ke beberapa kota di Australia, salah satunya Melbourne. Ketika ada kesempatan untuk kabur dari jadwal pertemuan yang memuakkan, aku dan James ibarat singa lepas dari kandang. Kami membuat pengawal kami kewalahan dengan menaiki transportasi umum yang ada hingga akhirnya terdampar di tempat ini. Sejak saat itu, tempat ini menjadi destinasi utamaku saat berkunjung ke kota ini."

Theo terlihat antusias menceritakan taman ini. Aku mengulas senyum tipis, kurasa pria itu jarang terlihat secerewet dan selepas ini.

"Mainaka," Aku merasa terbius saat manik emerald miliknya menatap tepat ke arah manik hazel milikku. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa kau berharga untukku. Mungkin kau merasa bahwa kau bukan siapa-siapa, tapi tidak bagiku. Aku tidak peduli apa kata orang, yang kupedulikan hanya dirimu."

Aku menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Membiarkan aroma musk darinya menguasai indera penciumanku. Jemarinya mengelus-elus rambut sehitam ebony ku yang tergerai sebahu.

"Aku jadi tidak sabar untuk menemui kedua orang tuamu." Theo memandangku sekali lagi sebelum menoleh ke arah kolam yang terhampar di depan kami. Aku menatap wajahnya dari samping, benar-benar terlihat sempurna.

Hidung mancung bak perosotan, tulang hidung yang relatif tinggi, rahang tegas bersih dari jambang, bibir tipis kemerahan yang menggoda, surai madu keemasan yang terpotong pendek dan tersisir rapi, serta iris tajam sewarna emerald yang membius.

Wajah khas aristokrat dengan ketampanan di atas rata-rata itu terkadang membuatku rendah diri. Apa aku pantas bersanding dengannya? Aku menunduk karena tak kuasa menahan sedih yang tiba-tiba merasuk.

"Hei, kau kenapa?" Aku menggeleng. "Apa yang kau pikirkan? Tolong katakan, aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiranmu." Theo memberiku tatapan khawatir.

"Kau terlihat begitu sempurna atas ketidaksempurnaanmu." kata-kata itu melucur bebas dari bibirku tanpa bisa kucegah. "Entah apa aku pantas nantinya untuk bersanding denganmu. Aku merasa, tidak sepadan denganmu."

Theo mengarahkan wajahku supaya mau menatapnya. Aku berusaha menghindari pandangannya. Aku takut pertahananku seketika runtuh, tersedot ke dalam manik emeraldnya yang magis.

"Kita memiliki perasaan yang sama. Apa lagi yang kita tunggu? Kita cukup berjuang untuk bisa bersama. Kau cantik, di mataku hanya kau yang mampu membuatku bertekuk lutut. Mungkin kau tidak secantik mereka, yang kau sebut cantik menurut opinimu. Tapi kau harus ingat, cantik itu relatif. Jangan rendahkan dirimu seperti itu, aku tidak suka."

Aku menghela nafas panjang sebelum menghembuskannya. "Semoga kau bisa konsiten dengan ucapanmu, Pangeran Theodore."

"Don't worry, sweetheart. Seorang bangsawan sejati harus bisa menepati setiap ucapannya."

Crown Prince of Greece (TERBIT)Where stories live. Discover now