Bayang hitam timpaan hujan dalam arang para. Memotret, mengulas balik lembaran pita pada memori di ruang hampa. Terperosok, tertatih-tatih merangkak dari lubang dalam samudera. Hitam legam, terbakar sempurna menggores ia semakin merana.
Kelam keciak, bukan berarti ia kalah dalam perlawanan. Dalam suatu pergelutan, di mana sang Teruna yang, kan, keluar 'tuk merasai kemenangan. Tak mau lagi diperdaya oleh masa-masa yang telah lampau, menggaris ulang serpihan-serpihan pita yang porak-poranda dihancurkan sang bayangan.
Wahai dara jelita penjelma peri dalam surga Tuhan. Yang durjanya elok, yang senyumnya bersinar bagai purnama di langit malam. Tak pernah terpungkiri kau, kan, menjadi satu dari sekian pengharapan. Memerdaya sang Teruna, memenjarakan ia hingga terjerembab dalam langit yang kian kelam.
Demikian, selesailah sudah untaian ini dengan sebuah penutup berupakan senja yang melindap terbiaskan awan. Yang dibiarkan oranye, tapi diinginkan sang Teruna 'tuk diubahnya menjadi gradasi biru terang yang sebegitu menyilaukan. Diubah seseorang, yang diumpamakan bagai manusia di persimpangan jalan. Tak tahu ke mana ia, kan, pergi, tak tahu ke mana ia harus mengambil jalan pulang. Tak lupa hatinya tuk berucap pada Tuhan. Sambil berharap bahwa, kan, dituntunnya ia, menuju sebuah tempat yang dipenuhi keindahan.
***
Ditulis pada : 23 April 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
[PUBLISHED] Belenggu Kata
Poetry[Sudah diterbitkan] "Ketika kemarau masih setia memeluk September, ada dia yang sendiri memeluk kenangan. Memeluk tangis, tak mau reda. Dia adalah aku. Yang tak mampu beranjak ... dan tak berupaya pergi." *** Bentuk pelampiasan dari seor...