Noda 7

2.7K 129 24
                                    

Mas Jo menatapku dengan tatapannya yang benar-benar mengintimidasi. "Kupikir kau bisa menjaga diri dan tidak tertarik pada si Brengsek itu. Tapi ternyata aku salah, kau malah menikmati sentuhannya."

"Mas!" teriakku frustrasi. "Hentikan omong kosongmu!" bentakku padanya.

"Semua itu kenyataannya, Citra!" balas Mas Jo tak kalah keras.

Aku tertawa sumbang, rasa sakit di kepalaku semakin menjadi saat menyadari alur permainan ini. "Apa ini caramu untuk mengajakku bertengkar?" tanyaku padanya.

"Rendahan sekali cara yang kau pakai untuk menyudutkanku, Mas," tambahku lagi.

"Ini kenyataannya, Citra. Kau terlihat lebih bahagia bersama Edgar!"

Dadaku semakin nyeri dengan air mata yang tumpah ruah. "Aku tahu Mas sedang bersandiwara, tapi ini semua menyakitkan," ucapku lirih dengan bibir bergetar.

Mas Jo melepaskan napasnya dengan kasar dan resah. "Kau sudah mendengar semuanya 'kan?" tanyanya.

Aku menghapus air mata yang membanjiri pipi.

"Kau berdiri tepat di depan pintu saat Edgar memintaku melepaskanmu, kau telah mendengar semuanya, Citra."

Aku menggeleng, "Tolong jangan kabulkan permintaan konyol Edgar, Mas. Tetaplah di sisiku sampai kapanpun," aku memohon dengan begitu sakit.

Mas Jo menatapku lurus, "Maaf, tapi semuanya harus diakhiri sekarang. Aku lelah, Citra."

"Nggak Mas, tolong jangan begini!"

Mas Jo mencekal lenganku dan menyeretku keluar kamar, melewati lorong menuju ruang tamu yang diisi oleh Ibu dan Edgar.

"Ada apa ini?" tanya Ibu sambil berdiri saat melihat kehadiran kami.

"Kalian dengarkan baik-baik! Hari ini aku menceraikan Citra!" seru Mas Jo setengah berteriak. Ia mendorongku hingga tersungkur di lantai yang dingin.

"Nggak Mas ... jangan ucapkan kata-kata itu! Aku tidak mauuu!" teriakku sambil berdiri.

"Talak berapa yang kau jatuhkan kepada Citra?" tanya Ibu dengan begitu dingin.
Aku seakan dihampiri oleh malaikat maut ketika Mas Jo memberikan jawabannya.

"Kujatuhkan kepadanya talak tiga!"

Kubekap mulutku sendiri untuk menahan teriakan kesedihan yang menyerang.

"Apa dengan begitu kau bisa kembali padanya?" tanya Ibu lagi.

Mas Jo menggeleng pelan, "Aku tidak akan kembali padanya. Sekarang dia bebas dan menjadi tanggung jawab kalian!"

"Bagus!" seru Edgar tenang. "Dengan begitu, kau bisa bertanggung jawab sepenuhnya atas Marina."

"Kau...!" telunjuk Mas Jo mengarah pada Edgar. "Aku menyesal menjadi saudaramu!"

Edgar tertawa kecil. "Seharusnya aku yang berkata demikian, Jonathan. Sekarang kau paham, bahwa aku juga bisa menghancurkanmu!"

"Sudah cukup!" hardik Ibu sekeras mungkin. "Sekarang kau pergi dari rumah ini, Jonathan!"

Aku masih menangis tersedu-sedu, Ibu memegangiku agar tidak mengejar Mas Jo yang perlahan menjauh.

"Kalian kejam sekali," ratapku pedih. "Aku tidak rela jika pernikahanku berakhir hanya karena permusuhan yang terjadi diantara kalian!"

"Kelak, kau akan bersyukur telah terlepas dari Jonathan," seru Ibu sambil melepaskan rangkulannya dari tubuhku.

"Kenapa, Bu?" tanyaku. "Kenapa Ibu begitu pilih kasih dan terlihat sangat membenci Mas Jo?"

Ibu menggeleng pelan dengan sudut mata yang ikut basah. "Mereka berdua anakku. Tapi nanti kau akan paham kenapa aku begini."

"Setelah masa iddahmu selesai, kau akan menikah dengan Edgar!" putus Ibu secara sepihak.

***

Setelah kehancuran dalam rumah tanggaku, aku merasa kehilangan kendali atas diriku sendiri. Seringkali aku kehilangan arah dan tidak fokus dalam melakukan sesuatu. Aku tidak lagi mengajar dengan sepenuh hati. Semuanya kulakukan semata-mata demi tugas dan tanggung jawab.

Nafsu makanku semakin memburuk, aku telah kehilangan selera dan warna dalam hidup ini. Banyak yang berkomentar bahwa tubuhku semakin kurus, namun aku tidak peduli.

Kehilangan Mas Jo benar-benar membawa separuh kehidupanku yang lain. Aku tidak terima dengan ucapan talak yang ia jatuhkan, namun pada kenyataannya, ucapan sakral itu benar-benar memutus ikatan diantara kami.

Ditambah lagi  keputusan Ibu yang akan menikahkanku dengan Edgar terasa jauh lebih menyakitkan. Aku kerasa seperti barang yang dioper dengan begitu mudah, tanpa perlu mempertimbangkan perasaanku.

Seakan-akan perasaanku tidak berarti sama sekali bagi mereka.
Sungguh, aku mulai membenci Edgar dengan segala kelicikannya, juga Ibu dengan keputusannya yang menyakitkan.

Hingga kemudian aku kembali tumbang dan berakhir di rumah sakit. Aku menangis tersedu-sesu saat dokter menyatakan bahwa aku sedang hamil.

Ya ... aku hamil anak Mas Jo.

Ini kabar bahagia, namun aku tidak bisa berbahagia atas anugerah ini. Rasa sakit di dalam hatiku semakin bertambah saat menginginkan Mas Jo ada di sini bersamaku. Angan-angan itu terlalu jauh dari harapan, jika pada kenyataannya dia telah pergi entah kemana.

"Anak ini akan tumbuh dibawah pengasuhan orang tua yang utuh, Citra. Edgar akan menjadi ayah yang baik untuk anak kalian," ucap Ibu dengan begitu tenang.

Hatiku teriris saat mendengar itu. Anak ini adalah anak Mas Jo, hanya dia yang berhak menjadi ayah untuknya.

"Aku tidak akan menikah dengan Edgar. Tidak akan pernah!" teriakku frustrasi.

"Jangan membuat keputusan sendiri, Citra. Kau tidak berhak untuk memutuskan siapa yang akan menjadi ayah bagi cucuku ini," sahut Ibu dengan nada tajamnya.

"Lalu apa ibu berhak memutuskan siapa yang akan mendampingiku sampai mati?" tanyaku perih.

Ibu mengangguk, "aku akan memutuskan segala yang terbaik untukmu."

"Tidak ada yang terbaik jika itu menyakitiku."

Aku menangis lagi. Entah berapa ember air mata yang telah kutumpahkan karena rasa sakit yang menyerang bertubi-tubi ini.

"Bulan depan saat akhir semester, kau akan berhenti mengajar dan fokus merawat kehamilanmu." Lagi, Ibu mengeluarkan titah seenaknya tanpa butuh pendapatku.

"Kenapa Ibu tidak membunuhku saja? Rasanya itu jauh lebih baik daripada aku hidup dalam kendali kalian," ucapku pelan. Aku benar-benar putus asa.

Ibu menggeleng, "Edgar sangat mencintaimu, Citra."

Setetes NodaWhere stories live. Discover now