Noda 3

1.7K 64 3
                                    

Mas Jo membanting pintu mobil hingga menimbulkan dentuman yang cukup jelas. Kurasa ia tersinggung melihat perlakuan Ibu dan Edgar barusan. Emosi suamiku sangat terasa ketika ia mengemudi dengan kecepatan diatas rata-rata, padahal kami masih berada di lingkungan komplek perumahan.

Aku duduk di sebelahnya dengan ujung jemari yang dingin, masih menggenggam sebuah kartu debit milik Edgar. Ingin rasanya kubuang, namun mengingat kemarahan Mas Jo yang sangat kuhindari, niat itu kuurungkan.

"Pelan-pelan saja, Mas," ucapku memperingatkannya. Ia malah menginjak pedal semakin dalam.

"Jangan terlalu sering membuat masalah dengan Ibu," ujarnya tanpa menoleh. Sepertinya kemarahan Mas Jo sudah sedikit reda.

Aku menggigit bagian dalam pipi, lalu mengangguk.

"Belajarlah menjadi penurut, bahkan jika kau harus berpura-pura sekalipun."

Kuhela napas panjang, lalu menunduk. "Maaf."

"Jika mulutmu hanya berisi bantahan atas ucapan ibuku, sebaiknya sumpal saja sekalian daripada menimbulkan masalah."

"Maaf," ucapku lagi, semakin lirih. "Kadang aku tidak bisa mengendalikan diri."

"Itu kesalahanmu yang paling besar. Kau selalu pantang kalah. Padahal apa salahnya menurut tanpa membantah."

"Aku akan mengingat ini," janjiku dengan suara pelan.

Mas Jo melengos dengan dengkusan kesal. Aku kadang tidak mengerti bagaimana cara bersikap yang baik di hadapan Mas Jo. Sikap yang paling wajar sekalipun terasa begitu salah di matanya.

"Mas, Citra untuk sementara tinggal di rumah Emak saja, ya?" Pintaku setelah kami berdiam diri sekian lama.

"Berapa lama?" Tanyanya.

"Seminggu, atau mungkin bisa lebih kalau Mas memberi izin."

"Nggak!" Tolaknya tiba-tiba.

"Tapi Mas, Citra mau menemani Bapak."

"Ada ibu dan adikmu."

"Untuk sementara saja, Mas. Citra janji nggak akan lama."

"Kau sudah mendengar jawabanku, Citra!"

Aku menyandarkan punggung, menghela napas kesal. Memoriku masih mengingat dengan jelas bagaimana perlakuan Edgar kepadaku. Segala hal tentangnya membuatku cemas dan takut.

"Aku takut..." Lirihku.

"Jangan berlebihan!" Sentak Mas Jo dengan raut wajah kurang senang.

"Jangankan untuk membela dan berada di pihakku, sekedar mempercayai ucapanku saja Mas tidak mau! Aku takut, Mas ... aku takut jika semua kecemasanku menjadi nyata."

Mas Jo memukul setir, aksinya ini membuatku terkejut. "Dengar, Citra. Jangan memperkeruh suasana dengan segala pemikiranmu yang konyol itu. Kau akan tetap tinggal bersamaku!"

"Besok kau pulang!" Putusnya sepihak tanpa bisa kutawar lagi.

"Mas...." Kali ini aku menatapnya. Memohon agar ada sedikit pengertian untukku.

"Aku lelah, Citra." Ia berucap ambigu sambil mengusap wajah.

Mataku mengerjap cepat, mengusir kabut yang mengundang hujan. Apa yang membuat suamiku terlihat begitu lelah?

"Tetaplah di posisimu, jangan membuat segalanya menjadi semakin rumit."

Aku tidak tahu apa kesalahanku sehingga Mas Jo berkata demikian. Mas Jo tiba-tiba saja terlihat begitu rapuh. Aku ingin memeluknya, bertanya tentang segala gundah yang ada layaknya sepasang suami istri. Sayangnya, suamiku memilih untuk memberi jarak tak kasat mata denganku. Ia terlihat dingin dan juga sunyi.

Setetes NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang