Noda 4

1.8K 75 2
                                    

Satu minggu setelahnya, aku mendapat kabar kepergian Bapak dari Dian. Sebuah berita besar yang entah kenapa, tidak membuatku terkejut sama sekali. Seperti sesuatu yang telah kuprediksi sebelumnya. Aku kembali pulang ke rumah, kali ini diikuti oleh Mas Jo, Ibu dan juga Edgar.

Reaksi Emak atas kematian Bapak ternyata tidak seperti bayanganku sebelumnya. Beliau menghadapi semua ini dengan wajah tenang penuh keikhlasan. Justru kami lah—anak-anak beliau—yang menangis penuh duka. Emak merangkul kami bertiga, sesekali menyuruh kami untuk ikhlas dan membisikkan kalimat-kalimat penghiburan.

"Kita sudah mengupayakan segala yang terbaik untuk Bapak, setidaknya dia pergi dengan iringan cinta kita bersamanya," ucap Emak membelai kepalaku.

"Bukankah ini yang terbaik untuk Bapak?" Tanyanya kepadaku. Aku membisu, merasa tidak perlu menjawab pertanyaan semacam itu. "Dia sudah terbebas dari rasa sakitnya, dia juga membebaskan kita dari beban yang telah dia ciptakan."

"Aku tidak merasa terbebani!" sanggahku cepat.

Entah kenapa, hatiku sakit sekali mendengar penuturan Emak yang demikian. Seolah-olah penderitaan Bapak di akhir hidupnya telah menciptakan beban tak kasat mata untuk kami—untukku lebih tepatnya.

Meski separuh hatiku mengakui kebenaran itu, namun aku menolak bahwa pernikahanku dengan Mas Jo sebagai salah satu bentuk upaya penanggungan beban itu.

Setelah melewati hari-hari penuh haru dan sendu, aku kembali pulang ke rumah. Kembali pada sebuah kehidupan yang sebelumnya dengan warna bahagia perlahan menghilang.

Aku masih mengingat ucapan Emak setelah tiga hari kematian Bapak.

"Emak telah membersamai Bapak dalam keadaan suka maupun duka, sejak kami masih memiliki jiwa yang menggelora hingga akhirnya sama-sama redup di akhir usia. Emak tidak menyesali apapun, karena memang tidak ada lagi yang perlu disesali. Jika ada satu-satunya kesedihan yang tersisa hingga kini, itu hanya tentangmu," ujar Emak padaku.

"Maafkan Emak yang menutup mata atas segala kemelut rumah tanggamu, Citra. Maafkan keegoisan Emak karena memaksamu bertahan bersama Jonathan meski dia telah menyakiti perasaanmu. Kali ini, buatlah sebuah keputusan untuk kebahagiaanmu sendiri."

Emak mendekapku dengan sentuhannya yang terasa hangat. Sebuah sentuhan yang hampir aku lupa karena beberapa bulan belakangan sering berganti menjadi tamparan, namun kali ini aku lega bahwa Emak masih menyimpan kehangatan yang sama seperti sebelumnya.

Teringat lagi bagaimana sikap Emak selama ini. Hubunganku dengan Emak selalu penuh gejolak tak berujung. Namun, setelah menata hati dan melihat dengan pikiran jernih, aku tahu bahwa kami saling menyayangi satu sama lain. Di balik kemarahannya, terdapat kasih sayang yang tak terucap. Di balik teriakan dan sesekali tamparan yang melayang, ada ketulusan yang murni. Keluarga kami sebenarnya penuh cinta, namun ditunjukkan dengan begitu keras dan banyak kemarahan.

Memang bukan contoh keluarga yang ideal, namun semua itu terasa cocok dengan sikap berapi-api milik Emak dan sikap mengalah dari kami. Semua yang kami miliki terasa seimbang dengan porsi masing-masing.

Aku menatap Emak dengan cermat, di dalam dirinya kutemukan sosok baru. Sosok yang benar-benar berbanding terbalik dengan perempuan yang menamparku secara beringas minggu kemarin.

Seperti sebuah lingkaran dengan waktu yang berputar penuh, aku kembali menjalani hidup setelah kehilangan sosok Bapak. Lalu, hari-hariku berlanjut seperti semula. Aku mengajar setelah memasang topeng penuh keceriaan seakan tak pernah melewati sebuah duka.

Sementara itu, Mas Jo semakin hari semakin terasa jauh. Senyumnya perlahan memudar—bahkan nyaris tidak ada. Tatapannya tidak mengarah kepadaku sepenuhnya, dan pelukannya yang terasa dingin. Pada malam-malam yang terasa sunyi dan panjang, ia mengajakku bercinta dengan wajahnya yang kaku. Ia tahu aku tersiksa, namun ia memilih untuk bersikap tidak peduli.

Mungkin ia ahli dalam menyimpan perasaan, namun sikapnya yang demikian membuatku seakan ingin melompati jurang. Dia benar-benar membuatku depresi dan frustrasi.

Lain Mas Jo, lain pula Edgar. Semenjak hari duka akibat kepergian Bapak, ia semakin jarang berada di rumah. Aku mungkin harus bersyukur atas keputusannya menyibukkan diri, namun semua itu tidak bertahan lama. Ia kembali dengan sikap menyebalkan, apalagi ketika ada Ibu di antara kami.

Perlahan-lahan, aku merasakan sebuah keganjilan yang telah terjadi di dalam keluarga suamiku.
Saat berada di antara Mas Jo dan Edgar, aku seolah sedang berdiri diantara dua hubungan kakak beradik yang rusak. Aroma permusuhan di antara mereka semakin menguar dari hari ke hari.

Ibu tentu saja tidak mau kalah. Sikapnya yang berubah-ubah seringkali membuatku serba salah. Di saat ada Edgar, beliau akan bersikap manis dan hangat kepadaku. Jika bersama Mas Jo, Ibu berubah menjadi perempuan galak dan judes, tidak jarang ucapannya menyakiti perasaanku.

***

"Sejak awal Citra itu milikku, Jonathan!"

Suara Edgar yang keras dan tegas memenuhi indera pendengaranku. Kuhentikan langkah tepat di depan pintu rumah yang sedikit terbuka. Tanganku menggantung di udara dengan langkah tertahan. Di dalam sana, kudengar suara Ibu dan Mas Jo bersahut-sahutan. Sesekali ditimpali oleh Edgar yang penuh emosi.

Ya. Mereka sekeluarga sedang bertengkar.

"Kau pecundang tolol!" Maki Edgar lagi. "Lepaskan Citra dan bertanggung jawablah atas semua noda yang telah kau ciptakan!" ancam Edgar kemudian.

Akunyang baru saja oulang dari sekolah berdiri di depan pintu, termangu dengan tubuh kaku seperti patung. Awalnya aku ingin mundur dan menjauh, namun ketika mendengar namaku disebut-sebut dalam pertikaian mereka, kuputuskan untuk tetap di sini. Diam dan mendengarkan semuanya dengan dada bergemuruh.

Mereka menyudahi pertengkaran itu setelah Mas Jo menendang meja sehingga menumpahkan apapun yang ada di atasnya. Kudengar suamiku mengumpat pada ibu dan adiknya dengan kata-kata kasar. Kepanikan mulai menyerang saat aku harus mempertimbangkan langkah selanjutnya.

Dengan berpura-pura tidak mengetahui apa yang telah terjadi, aku mengetuk pintu dan masuk ke dalam. Ibu menjawab salamku dengan lirih, sementara Edgar hanya melempar sedikit senyum tanpa suara. Wajah mereka kaku dan resah, sesuatu yang jarang kulihat pada mereka berdua.

Malam itu, tidak banyak percakapan yang kami lakukan. Mas Jo tidak bercerita mengenai permasalahan keluarganya, sementara aku mengunci mulut rapat-rapat untuk tidak melontarkan satupun pertanyaan mengenai kejadian sore itu. Demi hatiku—demi keutuhan pernikahanku—aku telah memilih untuk memerankan sosok perempuan bodoh yang tidak tahu apapun.

Sayangnya, hari-hari yang kulalui semakin lama semakin terasa berat. Ada yang hilang secara perlahan dari hidupku, sebuah kehilangan yang rasanya sama menyedihkan dengan sebuah perpisahan akibat kematian.

Perasaanku semakin sakit saat melihat Mas Jo perlahan menarik diri dariku—dari hubungan sakral pernikahan kami. Seringkali kutemui Mas Jo diam-diam berbicara dengan seseorang, wajahnya berbinar bahagia dengan senyum merekah. Satu-satunya yang ganjil adalah perasaanku yang menyatakan bahwa sikap Mas Jo lebih mirip seorang aktor drama.

Kepura-puraan Mas Jo terasa begitu nyata dan sangat dipaksakan. Bagaimana ia sengaja meninggalkan ponsel di atas meja rias supaya aku bisa melihat panggilan masuk dari perempuan bernama Tiara. Atau bagaimana cara ia berbisik lirih namun berusaha untuk tetap berada di dalam jangkauan pendengaranku.

'Lepaskan Citra dan bertanggung jawablah atas semua noda yang telah kau ciptakan!'

Kalimat Edgar yang kudengar beberapa waktu yang lalu masih terngiang begitu jelas.

Kalimat itu tidak hanya sekedar sebuah perintah, namun lebih jauh lagi, semua itu terdengar seperti sebuah permohonan.

Noda apa yang dia maksud? Pertanyaan itu masih menggantung di udara tanpa jawaban.

Setetes NodaWhere stories live. Discover now