***

"Bapak harus puasa supaya besok tidak muntah saat proses kemoterapi," ucap Emak saat aku menawarinya makan.

Kuurungkan niat untuk menyuapi Bapak. Saat ini aku sudah berada di ruang tamu sempit rumah kami. Mas Jo sudah kembali pulang sejak satu jam yang lalu. Kulihat Dian sedang sibuk mengerjakan tugasnya di laptop. Sementara Galih malah asik bermain game, dia mengatakan kalau tidak memiliki tugas dari sekolah.

Aku masuk ke kamar diikuti oleh Emak. Perempuan kurus itu duduk di sisi ranjang, menatapku penuh perhatian.

"Apa hubunganmu baik-baik aja dengan Jonathan?" Tanya Emak padaku.

Aku melepaskan napas singkat sebelum menjawab, "Entahlah, Mak."

"Ada apa? Kenapa jawabanmu begitu?" Cecar Emak sambil mendekatiku.

Tiba-tiba saja, semua sikap buruk Mas Jo terlintas di mataku. Bagaimana mudahnya ia mengabaikan perasaanku, bagaimana ketus suaranya, ditambah dengan sikap Edgar yang memancing bencana. Semua yang terjadi belakangan ini benar-benar membuatku sakit.

"Kadang, aku ingin menyerah," bisikku rendah.

Plak.

Pipiku perih, mataku membola dengan keterkejutan luar biasa. Emak berdiri di hadapanku dengan wajah memerah penuh amarah.

"Bagaimana bisa kau begitu egois!" Desisnya tajam.

"Mak, aku juga punya perasaan," balasku dengan bibir bergetar.

Plak.

Rasa perih itu bertambah lagi seiring dengan tamparan Emak di sisi lain pipiku. Aku terhuyung hingga jatuh terduduk di sisi ranjang. Emak mencekal jilbab belakangku dengan begitu erat, membuatku mendongak menatapnya.

"Apa perasaanmu begitu penting, hah?" Bentak Emak. "Apa kau pikir nyawa Bapakmu tidak berharga?"

Mata Emak menatapku nyalang, tajam dan sarat akan emosi. "Kau hanya perlu bersikap baik kepada Jonathan, apa itu berat untukmu?"

Aku menggeleng, menggenggam pergelangan tangan Emak agar cekalannya mereda. "Sakit, Mak."

"Apa kau pikir aku tidak sakit melihat kesombonganmu ini? Hah?"

"Maaf, Mak," bisikku diantara uraian air mata.

Emak melepaskan tangannya dan mendorongku menjauh.

"Jika aku masih sanggup, aku tidak akan memintamu melakukan semua ini," emak terisak di sisi ranjang yang lain. Perempuan yang telah melahirkanku itu tampak tertekan dan jauh lebih ketakutan.

"Mak, Citra tidak akan berpisah dari Mas Jo, janji..." Ucapku dengan suara serak.

Emak malah semakin menangis tergugu. "Jika kebahagiaanmu begitu penting, pergilah. Pergilah sejauh yang kau mau!"

Aku menggeleng kuat, "Maaf, Mak... Citra tidak akan pergi."

"Bapakmu tidak akan bisa sembuh. Aku hanya sedang berupaya memperpanjang nyawanya agar bisa bersamaku lebih lama lagi. Aku belum siap kehilangannya...."

Aku menutup mulut demi menahan isak. Bisa kulihat dengan jelas betapa menderitanya Emak selama ini. Rasa cintanya yang begitu besar kepada Bapak telah membuatnya rela mengorbankan aku, putrinya sendiri.

"Setidaknya, aku ingin melewati bulan Desember tahun ini bersamanya. Setelah itu, aku akan berusaha ikhlas dan kau terbebas dari semua beban ini."

Dua puluh lima tahun silam, Bapak dan Emak menikah di bulan Desember. Setiap tahun, sepanjang pernikahannya Bapak dan Emak akan kembali mengenang kisah mereka yang bermula di akhir tahun. Kata Emak, mereka pernah berjanji akan melewati hidup hingga Desember yang ke seratus. Tahun ini, perjalanan mereka baru mencapai seperempat abad. Sedangkan waktu yang tersisa semakin terasa sempit dari hari ke hari.

"Mak," kusentuh tangan keriput milik Emak. "Kita akan bersama sampai akhir tahun ini bersama Bapak. Citra janji akan memberi Bapak perawatan yang lebih baik."

Emak menangis, terisak dengan begitu buruk dan pilu. Kurangkul tubuh ringkihnya, mendekap dengan erat.

"Kadang aku bisa melihat kedatangan malaikat maut mengintai Bapakmu," lirih emak sambil tersedu.

"Bapak masih kuat," bisikku menegarkan.

"Apa aku perlu bersujud agar kau mau tetap bersama Jonathan dan membiayai seluruh pengobatan Bapak?" Ucap Emak menatapku sendu.

Aku akan menjadi anak yang paling kurang ajar sedunia jika membiarkan Emak membuktikan ucapannya. "Tidak, Mak. Kita akan melakukan segala yang terbaik untuk Bapak dengan cara masing-masing."

Malam ini, aku tidur di ranjang yang sama dengan emak dan Dian. Aku melewati malam yang semakin larut dengan begitu banyak pemikiran rumit. Saat menatap wajah damai Emak dalam tidurnya, aku sampai pada sebuah kesimpulan; cinta tidak hanya sebatas perasaan suka, namun lebih jauh dari itu ... cinta adalah sebuah kegilaan.

Setetes NodaWhere stories live. Discover now