Noda 2

1.9K 65 2
                                    


"Cit, udah makan siang?" Tanya Nimas padaku.

Aku menggeleng lemah, sejak tadi pagi aku memang belum makan apa-apa. Lebih tepatnya, tidak sanggup menelan sebutir nasi pun. Perasaanku semakin berat dari waktu ke waktu. Suasana ruang guru yang mulai ramai siang ini tidak mengusikku sama sekali.

"Ini kamu yang pucat atau efek dari lipstikmu yang terlalu 'nude', ya?" Tanya Nimas sambil meneliti wajahku seksama.

"Warna lipstiknya nggak nyambung," balasku sekenanya.

"Pake lipstik aku nih, biar lebih seger dikit," ujarnya sambil menyodorkan lip cream berwarna terang.

Aku menolak dengan gelengan. Sementara itu Nimas masih mengamatiku, jujur saja kelakuannya yang terlalu perhatian kadang membuat tidak nyaman. "Kayaknya kamu lagi ada masalah ya. Keliatan banget beban hidupmu yang berat."

Aku memutar mata sekilas, sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk berbagi cerita dengan siapapun. Nimas masing betah duduk di depanku, sementara aku mengalihkan perhatian ke layar ponsel yang bergetar.

Ada nama Emak dalam panggilan masuk, aku mengerutkan kening sesaat sebelum mengangkat telepon. Sepertinya ada sesuatu yang penting.

Nimas beranjak pergi saat melihatku sibuk menerima telepon. Setelah berbasa-basi, Emak menyampaikan maksudnya kepadaku.

'Cit, bilang makasih sama Jonathan, ya. Transferan udah Mak terima. Alhamdulillah cukup untuk biaya kemoterapi Bapak.'

"Mak, bukannya jadwal kemo Bapak itu dua minggu lagi ya?" Tanyaku bingung.

'Besok, Cit. Kondisi Bapak drop, kemarin dibawa ke dokter katanya Bapak harus kemo secepatnya. Jadi jadwal kemo Bapak berubah.'

"Kok Mak baru bilang sekarang kalau Bapak sempat drop? Terus biaya berobat kemarin uang dari mana?"

'Mak mau nelpon kamu, tapi nggak boleh sama Dian. Katanya takut kamu kepikiran. Mak pinjem Pak Dulah dulu, nanti dibayar kalau duit kiriman Jonathan sudah ditarik.'

Sudut hatiku terasa diiris-iris mendengar pengakuan Emak dari seberang sana.

"Berapa yang dikirim Mas Jo, Mak?" Tanyaku sambil menghapus air mata yang merembet.

'Lima juta, Alhamdulillah.'

Dadaku sesak, terbayang kondisi Bapak yang menderita kanker paru dan sirosis hati secara bersamaan. Di usia senjanya yang seharusnya bisa duduk tegap menikmati hidup, justru terbaring lemah tak berdaya.

Bagiku, penyakit Bapak bukanlah sebuah beban, apalagi sebagai bentuk lain dari hukuman Tuhan.

Sakit yang diderita Bapak adalah bukti dari rasa cintanya kepada kami, keluarganya. Semasa muda Bapak bekerja di pabrik cat yang kesehariannya berkutat dengan cairan alkohol dan bahan kimia. Dulu, standar keselamatan para pekerja belum diatur oleh undang-undang, bahkan serikat pekerja saja belum ada. Pekerjaan yang membutuhkan ketelitian demi menjaga kualitas produk membuat Bapak menenggak bergelas-gelas kopi kental dalam satu hari agar tetap fokus.

Efek samping dari pekerjaan dan kebiasaan Bapak sejak muda mulai terlihat semenjak dua tahun yang lalu. Waktu itu, Bapak hanya mengeluh sesak napas. Semakin hari semakin parah, hingga akhirnya Bapak divonis menderita kanker paru. Satu tahun setelahnya, Bapak kembali tersungkur oleh vonis dokter yang menyatakan bahwa beliau mengalami gangguan fungsi hati.

Lengkap sudah kesedihan kami atas derita Bapak.

Satu tahun yang lalu, aku memutuskan untuk menikah dengan Mas Jo setelah berkenalan dalam waktu yang relatif singkat. Mungkin aku seorang oportunis yang memanfaatkan keadaan demi mencapai tujuan pribadi. Mas Jo yang berasal dari keluarga kaya dan memiliki penghasilan lumayan besar membuatku menggantungkan hidup keluargaku di pundaknya. Dan dia sama sekali tidak keberatan atas permintaanku yang menguras dompetnya secara berkala.

Setetes NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang