Terdengar menjijikkan dan begitu rendah. Memang.

Sebagai anak tertua, aku harus bisa menjadi penyambung nyawa bagi keluargaku yang sedang sekarat. Ada adikku yang butuh biaya sekolah dan Bapak yang butuh dana berobat. Gajiku sebagai guru honorer tidak akan cukup untuk menyangga semua itu. Sedangkan Emak adalah perempuan tangguh yang pontang-panting melakukan pekerjaan apapun demi belahan jiwanya.

Lagipula, aku juga mencintai Mas Jo sepenuh hati. Jadi, sikap baikku tidak semata-mata hanya karena menginginkan uangnya.

**

"Mas, makasih udah ngirim duit untuk biaya kemo Bapak," ucapku melalui sambungan telepon.

'Ya,' Mas Jo menjawab singkat.

"Citra mau pulang ke rumah Emak, boleh ya Mas?"

'Memangnya besok nggak ngajar?'

"Sudah minta izin kepala sekolah. Lagian ada guru magang yang akan menggantikan Citra."

'Mau pulang kapan?'

"Nanti sore sepulang dari sekolah."

'Boleh. Nanti kujemput.'

"Baik. Terimakasih suamiku."

'Hm.'

Sambungan telepon kami terputus. Mas Jo memang jarang membalas ucapan cinta dariku. Aku menatap layar ponsel dengan perasaan haru. Ada rasa syukur yang diam-diam kusematkan kepada Tuhan atas kehadiran Mas Jo. Meskipun terkesan keras dan tidak peduli akan perasaanku, namun Mas Jo sudah banyak membantuku dari segi keuangan.

Tidak perlu menyangkal dan menjadi munafik, bagi orang yang sedang berada di tengah himpitan ekonomi sepertiku, uang bisa berubah menjadi dewa.

Jam tiga sore, Mas Jo menjemputku di halte depan sekolah. Aku duduk di sampingnya tanpa suara. Aroma udara di sekitar kami masih pekat akibat kejadian kemarin yang menghadirkan luka.

"Kita makan dulu," ajak Mas Jo.

Aku mengangguk dalam diam. Mobil yang dikendarainya berhenti di parkiran sebuah rumah makan. Kami turun dan memilih kursi di luar ruangan. Aku kehilangan kata-kata untuk sekedar bercerita demi mencairkan suasana. Mas Jo nampaknya juga tidak tertarik bercakap denganku.

Jadilah kami makan siang seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Duduk berhadapan, namun saling diam tanpa ada satupun kata yang terucap.

"Cit," panggil Mas Jo pelan. Namun masih bisa kudengar dengan jelas. Kami telah selesai makan dan sekarang melanjutkan perjalanan pulang.

Aku menoleh ke arahnya. Dari samping, ia terlihat begitu tampan dengan rahang kokoh dan hidung mancungnya. Aku menatapnya dengan getir.

"Masih punya uang simpanan?"

"Masih, Mas."

Setelah itu hening. Kami larut dalam kebisuan masing-masing.

Aku kadang tidak bisa menebak bagaimana perasaan Mas Jo kepadaku. Ia terlalu kaku, dingin, di suatu waktu ia bahkan terasa begitu jauh. Tidak mampu kugapai.

Kami tiba di rumah saat azan Ashar berkumandang. Dari pintu yang terbuka lebar, aku bisa menebak bahwa Ibu kembali berkunjung. Aku sengaja menunggu Mas Jo untuk berjalan beriringan. Seperti hari sebelumnya, ada Edgar yang menemani Ibu di ruang tamu.

Sambutan Ibu juga hangat dan masih terasa asing untukku.

Aku bergegas ke kamar dan segera berkemas. Setelah menunaikan solat Ashar, aku menenteng ransel menuju ruang depan. Ibu yang melihat kehadiranku langsung bereaksi.

"Mau kemana, Cit?" Tanyanya sambil meneliti ranselku yang cukup padat.

"Pulang ke rumah Emak, Bu," jawabku jujur.

"Kok tiba-tiba? Ada apa?" Tanya Ibu beruntun. Dari sudut mata, kurasakan Edgar menatapku dengan sorot matanya yang tajam.

Sebisa mungkin aku menguasai diri untuk tidak bereaksi berlebihan.

"Bapak besok kemoterapi, jadi Citra mau menemani Bapak di rumah sakit biar Emak nggak terlalu repot," jelasku padanya.

"Naik apa?" Tanya Ibu lagi.

"Aku yang ngantar Citra," jawab Mas Jo sambil meraih ranselku untuk dimasukkan ke dalam mobil.

"Jo 'kan sibuk. Kenapa nggak Edgar aja yang nganterin?"

Astaga, bulu kudukku langsung berdiri mendengar ucapan Ibu. Jangan sampai Mas Jo mengalah dan Edgar mengambil alih. Itu mimpi buruk untukku. Lebih baik aku pulang sendiri, karena perjalan ke rumah Emak hanya membutuhkan waktu satu jam.

"Nggak apa-apa, Bu," jawabku.

"Ed, kasih Citra duit. Cepetan!" Perintah Ibu saat aku berjalan keluar ruangan. Aku mempercepat langkah sebisa mungkin. Kalau bisa segera menghilang dari pandangan mereka.

"Citra, tunggu...." Teriak Ibu menyusul langkahku. "Ini ada duit dari Edgar," ucapnya sambil menahanku.

"Nggak usah, Bu. Citra ada duit kok," tolakku dengan sopan.

"Sudah, ambil kartu ini untuk jaga-jaga kalau kamu butuh uang mendadak." Ibu mendorong tangan Edgar yang terulur ke arahku. Di tangannya ada sebuah kartu debit yang kuyakini berisi saldo cukup banyak.

"Bu, nggak usah, ya...."

"Ambil, Citra. Aku paling tidak suka ditolak," seru Edgar. Matanya masih memancarkan binar yang membuatku takut.

Aku menggeleng. Menatap ke arah Mas Jo yang menunggu di samping pintu mobil.

"Ambil!" Perintah Mas Jo tegas. "Kau terlalu lama mengulur waktu!" Ketusnya lagi.

Aku tidak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar, kuterima kartu debit milik Edgar. Ibu menatap dengan puas, begitupun dengan Edgar.

"Gunakan sebanyak yang kau mau, tidak masalah jika kau mau memanjakan keluargamu dengan uang itu. Edgar masih mampu menambah digitnya dalam waktu singkat," tambah Ibu dengan bangga.

"Paswordnya tanggal lahirmu!" Seru Edgar dengan nada bahagia yang tidak bisa ia sembunyikan.

Aku menelan ludah yang menggumpal pahit. Tidak berani menatap Edgar sedikitpun.

Setetes NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang