Tak lama kemudian, ayah mengangkat teleponnya. Aku memberitahukan ayah dan meminta mereka untuk datang besok setelah shalat subuh saja.

"Nggak papa, Yah. Ada Ari yang bakal temani Aira disini. Ayah dan ibu gak usah khawatir, kami minta doanya ya, agar dilancarkan. Apalagi doa seorang ibu untuk anaknya, akan segera Allah kabulkan tanpa penghalang," ujarku sedih. Dalam waktu yang sama aku jadi berfikir, andai Ummi ku masih ada.

Setelah ayah dan ibu berdoa dan memberikan wejangan untuk kami, ayah mematikan teleponnya. Kemudian aku mulai menelpon Abati untuk mengabarinya juga.

"Assalamu'alaikum, Abah. Aira mau melahirkan sebentar lagi. Mohon doanya ya, biar dilancarkan. Kalau Abati mau, Abati kesini ya, di rumah sakit Jingga lantai dua ruang bersalin. Nanti kalau udah sampai telfon Ari aja. Ari tunggu, Assalamu'alaikum,"

"Kamu nggak adil," ujar Aira setelah aku selesai teleponan dengan Abati.

"Kenapa?"

"Kamu nggak biarin ayah dan ibu datang, tapi kamu malah suruh Abati untuk ke sini," ujar Aira dengan cemberutnya. Aku hanya bisa tersenyum simpul melihatnya.

"Kan Abati deket," aku beralasan.

Akhirnya kami melewati perdebatan panjang sampai Aira lupa dengan sakit di perutnya.

_____

Adzan subuh berkumandang, aku segera menuju mushalla rumah sakit untuk sholat subuh karena persalinan Aira akan berlangsung sebentar lagi. Usai menunaikan kewajiban ku, aku memanjatkan doa agar Allah mudahkan semuanya.

Setetes air bening keluar dari mataku. Begitu gundah hati ini, apakah semuanya akan berhasil. Dokter sempat menyarankan untuk operasi karena bayinya terlalu sehat dan kemungkinan untuk melahirkan secara normal sangat tipis. Tetapi aku bersikeras untuk meminta pada dokter agar Aira bisa melahirkan secara normal saja. Aku ingin ia merasakan bagaimana proses menjadi seorang ibu yang sesungguhnya.

Aku tahu, itu sangatlah sakit. Berada diantara hidup dan mati. Terserah dengan persepsi orang-orang diluar sana yang memilih jalur yang menurut mereka aman itu, tapi tidak denganku, menurutku operasi justru lebih beresiko kedepannya, dan sembuhnya juga lama.

Aku kembali memasuki ruangan dimana Aira akan melahirkan. Ia sedang berbaring sambil mengaduh kesakitan.

Aku duduk di kursi yang ada di sebelah ranjangnya, ku pegang erat tangannya sembari merapalkan ayat-ayat Allah.

"Nggak usah takut, sayang. Kamu bisa lewati semua ini. Aku tau kamu kuat,"

"Bang, apa gak sebaiknya di operasi saja? aku takut banget," lirih Aira.

"Kamu tau nggak, betapa besarnya pahala seorang wanita yang melahirkan? dengan rasa sakit itu, dosa-dosanya akan diangkat oleh Allah," Akhirnya Aira beristighfar dan membacakan beberapa surah pendek.

Suara deringan telepon mengagetkanku. Aku segera beranjak keluar karena Abati menelpon. Pasti Abati sudah sampai.

"Abati," aku memeluk lelaki paruh baya itu dengan erat. Entah kapan terakhir kalinya aku memeluk dan menangis didepannya seperti ini. Seingat ku adalah ketika aku masih SD dulu. Aku tidak mau menangis di depannya, tapi kali ini aku meneteskan air mataku di hadapannya karena rasa khawatir menyelimuti ku.

Di depan Aira aku bersikap biasa saja, tapi sebenarnya inilah yang akhirnya rasakan. Aku juga tak kalah khawatir.

"Kamu harus tenang, jangan menampakkan ekspresi khawatir kamu didepan Aira," ujar Abati seraya menepuk pundak ku. "Masa calon  ayah cengeng gini?" Abati melempari ku dengan senyuman juga meninju pundak ku. Akhirnya aku tertawa dibuatnya.

Manajemen Rumah Tangga ✔Where stories live. Discover now