"Aku anak pertama raja dan ratu Greece saat ini. Yang itu artinya aku adalah putra mahkota. Seorang putra mahkota diharuskan memiliki pendamping sebelum meneruskan tahta. Aku tidak mau dijodohkan dengan siapapun. Bangsawan atau bukan, bangsa eropa atau bukan, aku tidak peduli. Yang kubutuhkan adalah wanita yang tulus denganku. Tak memandangku karena status yang kusandang."

Aku menatapnya skeptis. Jadi, ini alasannya?

"Aku ingin dicintai bukan karena kedudukanku atau statusku sebagai seorang pangeran. Bukan karena hartaku yang kata orang tidak akan habis tujuh turunan. Bukan karena aku adalah calon penerus ayahku. Dan lain sebagainya. Aku ingin dipandang sebagai ... Theo. Ya. Seperti kau memandangku ... dulu." Pria itu tersenyum miris.

"Aku masih memandangmu sebagai Theo yang sama."

"Benarkah?" Ada binar tidak percaya di matanya.

"Ya. Aku terkejut, itu hal yang wajar. Tapi aku tidak peduli, kau kan tahu, apa yang kupedulikan ...," Aku menunduk. Bayangan kedua orang tuaku mulai memasuki benakku. Membuatku tanpa sadar meneteskan air mata.

"Aku hanya ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku. Aku jauh-jauh kesini karena aku ingin mengubah nasib keluargaku. Aku ingin mengubah pandangan mereka yang pernah menghina keluarga kami. Aku mungkin pemimpi, tapi percayalah, aku cukup realistis. Aku bisa memilah mana yang sekedar impian dan mana yang bisa dicapai dengan kerja keras. Aku membedakan angan dengan ambisi. Itu suatu hal yang berbeda."

Theo mendengarkanku. Maniknya tak lepas dari wajahku.

"Menikahi seorang pangeran terlebih dia adalah seorang penerus tahta mungkin menjadi rencana terakhirku."

"Jadi? Kau akan meninggalkanku?" Theo menatapku dalam, membuat pandanganku seolah tersedot ke dalamnya.

"Aku tak mungkin bisa mengikutimu ke negeri para dewa, kau kan tahu aku harus pulang...,"

Tak kusangka, lelaki itu menangis. Bukan jenis tangisan memilukan, hanya air mata yang mengaliri membasahi kedua pipinya. Pria itu berlutut dan menggenggam tanganku.

"Aku mencintaimu, Mainaka. Apapun akan kulakukan demi bisa bersamamu, meskipun aku harus melepaskan tahtaku untuk mengikutimu pulang ke Indonesia."

Aku...tidak bisa tidak terkejut mendengar pernyataan yang keluar dari penerus tahta kerajaan Yunani itu.

"Jangan gila. Keluargamu akan mengutukku kalau itu terjadi. Lagipula, kita berbeda keyakinan...,"

"Aku sudah memutuskan."

"Apa?"

"Aku ingin mengikuti keyakinanmu bukan karena kau, tapi karena keinginan hatiku sendiri."

Aku melongo.

"Izinkan aku memperdalam keyakinanmu sebelum memutuskan untuk mengubah keyakinanku. Aku tidak ingin mempermainkan agama. Beri aku waktu dan kesempatan, Mainaka Sunjaya.."

Tuhan, apakah memang secepat ini aku bertemu dengan jodohku?

"Baiklah. Kau punya waktu dua tahun untuk itu. Karena setelah lulus aku harus pulang ke Indonesia dan mencari pekerjaan disana." Aku mengusap-usap surai madunya dengan lembut.

"Terima kasih sayang. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku sungguh tak percaya. Bahkan setelah kau mengetahui latar belakangku, kau tidak serta merta berpikir macam-macam. Kau bahkan masih mengingat tujuan utamamu. Kau mungkin manja tapi kau punya rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap orang tuamu. Aku bangga padamu. Aku tidak salah telah memilihmu, gadis pembangkang."

"Hei siapa yang kau sebut dengan gadis pembangkang?!!" Aku menatapnya galak yang tentu saja tidak ditanggapi serius olehnya.

"Gimme a hug?"

Tanpa menunggu jawabanku, dia sudah memelukku erat seakan takut aku hilang.

—////—

"Jadi?"

Theo menatapku dengan tatapan bertanya.

"Kapan kau akan mendiskusikan hal ini dengan keluargamu?"

"Besok. Aku sudah memesan tiket penerbangan ke Athena. Apa kau mau ikut?"

"Tidak." Aku menggeleng. "Lagipula aku belum siap bertemu dengan keluargamu. Kalian bukan orang sembarangan."

"Tapi kami juga manusia biasa sepertimu." Theo memprotes. "Bukannya manusia di mata Tuhan itu sama? Hanya manusia sendiri yang mengklasifikasikan ke dalam kasta-kasta sosial."

"Apapun itu, mungkin tidak dalam waktu dekat."

"Kenapa?"

"Kau pastikan dulu keluargamu bisa menerimaku. Aku tidak ingin mencari masalah dengan keluarga kerajaan. Masalahku sudah cukup banyak, sir. Aku sudah lelah mencari masalah." Aku melepaskan seatbeltku saat range rover milik Theo memasuki pelataran parkir.

"Baiklah kalau itu maumu. Apa perlu setelah aku meyakinkan keluargaku untuk menerimamu, kita menemui kedua orang tuamu? Mungkin menjelang libur musim dingin."

Berhubung sekarang sudah memasuki bulan Mei, aku mengangguk saja. "Tapi aku harus melihat kondisi keuanganku dulu. Dan maaf, kalaupun bisa, aku hanya bisa memesan tiket pesawat yang termurah." kataku pada akhirnya.

"Aku yang membayar tiketmu."

"Ingat, disini kau hanya warga biasa." Aku menggeleng, menolak mentah-mentah ide Theo.

"Ya memangnya kenapa? Aku tidak semiskin itu." ujarnya sewot. "Sekedar membelikanmu tiket pulang pergi bukan masalah bagiku. Toh, ini demi restu yang ingin kudapatkan dari orang tuamu."

"Tapi—"

"Aku tidak menerima bantahan, nona Mainaka Sunjaya. Ayolah, apa salahnya? Simpan saja uangmu untuk hal yang lebih penting. Selama aku punya uang, aku yang akan membayarimu."

Seperti kata-kata Luce.

"Baiklah, tuan pemaksa. Jadi kapan kampus kita libur?" Aku bahkan tidak tahu kapan liburnya.

"Dua bulan lagi. Lebih baik kau fokus pada tugas-tugasmu dulu. Kudengar kau lagi banyak tugas, bukan?" Aku mengangguk.

"Jangan sungkan meminta bantuan. Aku pasti membantumu." Theo menarikku ke dalam pelukannya. "Fokus pada kuliahmu. Aku akan menyelesaikan yang perlu kuselesaikan. Kau cukup duduk manis dan menunggu semuanya beres."

Di dalam dekapannya aku tersenyum. Hatiku menghangat mendengar caranya ingin memperjuangkanku dan berharap semuanya bisa berjalan lancar.

Meskipun aku tahu, pastinya tidak akan bisa semudah itu mengingat banyaknya perbedaan di antara kami.

Crown Prince of Greece (TERBIT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora