Janu tentu saja merasa tidak enak hati. Namun, Ratih tetap memaksa. Lagipula dia memang lapar berat. Namanya rezeki tidak boleh ditolak, walaupun awalnya dia sempat jual mahal.

"Ke rumah temannya, Pa."

Saat menjawab, Ratih mengambil sebuah sendok lalu mengambilkan tambahan lauk untuk suaminya. Tangannya cekatan sekali. Sementara Raka masih mengunyah makanan dengan santai.

Janu teringat akan mamanya sendiri, karena mirip saat melayani suami makan. Hanya saja mamanya lebih bawel, senang bercerita apa saja. Bedanya, papanya lebih asyik, tidak galak seperti Raka.

Tatapan mata Janu beralih ke arah Nadine, kemudian mengulum senyum. Rasanya gugupnya berangsur hilang, ketika membayangkan bahwa gadis itu akan melakukan hal yang sama untuk anak-anak mereka kelak. Entah mengapa pikirannya sudah berkelana hingga jauh ke sana.

"Jam berapa Nabil pulang? Jangan kemalaman," tanya Raka lagi.

"Gak ngabarin, Pa."

"Telepon sekarang. Suruh pulang."

Ratih menghentikan makan dan berkata, "Biarin aja, Pa. Sekali-sekali juga."

Ratih merasa kasihan karena anak-anak mereka sering dilarang banyak hal. Namanya masa remaja, putranya pasti ingin bermain. Lagipula, Nabil dan Nadine tidak pernah berbuat yang aneh-aneh selama ini. Mereka anak baik-baik.

"Ini udah jam berapa, Ma?"

Suara Raka kali ini meninggi. Suasana di ruang makan ini tiba-tiba menjadi horor.

"Biarin aja dulu. Anak lelaki bebas, kok. Lagian Nabil juga jarang keluar. Dia cuma pengen nonton bioskop sama teman-temannya. Habis itu pulang."

Ratih menjawab pertanyaan itu dengan tenang. Menghadapi suami yang galak memang harus begitu.

"Nadine." Pandangan Raka kini beralih kepada putrinya.

"Ya, Pa."

Nadine menjawab malas. Walaupun begitu, mulutnya tetap saja bekerja, melahap apa saja yang tersedia di meja. Janu sampai takjub dibuatnya, karena satu per satu ikan dan sayur beralih ke piring gadis itu.

"Selesai makan, langsung istirahat." Raka melanjutkan pembicaraan.

Janu membuang pandangan. Ucapan tadi seperti mengusirnya secara halus. Lelaki itu dengan cepat menghabiskan makanan dan meneguk segelas air.

"Eh, Pa. Ini kan masih ada Nak Janu. Masa Papa gitu."

Raka menatap Janu dengan tajam, kemudian bertanya dengan suara yang sengaja dikeraskan.

"Kamu siapanya Nadine?"

Tangan Janu gemetaran saat meletakkan sendok, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.

"Teman, Om."

Saat mengucapkan kata-kata itu, Janu memasang wajah yang serius agar tak dikira main-main.

"Kenal berapa lama?" Alis mata Raka terangkat.

"Hampir dua bulan ini," jawab Janu lancar.

"Serius atau gak?"

Nah, pertanyaan ini yang susah dijawab karena mereka baru saja melakukan pendekatan.

"Serius, Om."

Janu menjawab dengan tegas, lalu melirik ke arah Nadine. Gadis itu tertunduk malu. Dia menggerutu dalam hati. Tadi marah-marah di mobil, sewaktu dibilang serius malah senang. Wanita, hatinya memang sulit diterka dan bisa berubah-ubah kapan saja.

"Memang kamu kerja apa?" Raka bertanya sembari meletakkan sendok.

"Dokter, Om," jawab Janu jujur.

Seketika, wajah Raka berubah sembringah. Senyum merekah di bibirnya, disertai anggukan senang.

"Oh, boleh kalau gitu. Om setuju."

* * *

'Ndin.' Begitulah pesan yang dikirimkan Janu.

Setelah makan malam tadi di rumah Nadine, dia memilih langsung pulang, walaupun kedua orang tua gadis itu tidak berkeberatan dia mengobrol lebih lama.

Janu berpamitan karena merasa lelah setelah seharian beraktivitas. Sejak pagi dia berada di rumah sakit, lalu menemani mamanya ke butik. Dilanjutkan dengan mengantar Nadine pulang, yang berujung dengan makan malam.

'Apa."

Nadine membalas pesan itu. Sebenarnya dia sudah mengantuk, tetapi Janu malah mengajaknya chatting.

'Makasih yang tadi. Masakannya enak
Mama mertua pinter masak ya.

'Iya, dong. Mama.'

Nadine terdiam sesaat. Tadi Janu menyebut mamanya dengan sebutan mertua.

'Nanti gantian, kamu yang ke rumah saya. Makan malam juga.'

'Enggak ah. Malu.'

'Kamu gak mau kenalan sama mama mertua kamu.'

Wajah Nadine merona saat membaca pesan terakhir dari Janu. Ini dokter cinta namanya, pintar sekali merayu.

Nadine merebahkan diri di kasur. Dia tak membalas pesan Janu karena sudah malam. Saat mengecek kembali ponselnya, lelaki itu sudah tidak online. Sepertinya mereka sama-sama lelah hari ini.

Nadine bergerak menuju ke meja rias untuk membersihkan wajah dari sisa make-up. Gadis itu melepaskan ikatan rambut dan membiarkannya tergerai. Untunglah besok hari libur, jadi dia bisa beristirahat di rumah saja.

Sementara itu Janu sudah terlelap di kasur empuknya. Sebelumnya, dia hanya mengganti baju dan mencuci wajah. Setelah chat yang terakhir dengan Nadine, lelaki itu memilih untuk istirahat karena besok masih harus bekerja.

Tidak banyak hari libur bagi para dokter, kecuali saat cuti. Itu juga kadang-kadang masih menerima telepon dari para perawat yang berkonsultasi. Namun, tidurnya kali ini berbeda. Ada senyum di wajah Janu karena bahagia. Nadine, gadis itulah yang menjadi mimpi indahnya malam ini.

Hello Dr. JackWhere stories live. Discover now