15. Penyihir

Mulai dari awal
                                    

Tangan Lova terangkat, menunjuk bagian utara langit yang tampak hitam pekat. “Kak Julian lihat itu? Emang bentar lagi bakal turun hujan, bukan karena aku penyihir. Lagian, kalau aku penyihir, udah dari dulu aku kutuk Kak Julian jadi kecoak.” Lova kembali menurunkan tangannya. “Daripada kepalanya diisi sama pikiran negatif, sama fantasi aneh, mending diisi sama pemikiran positif. Aku juga pernah kasih tahu, kalau apa yang kita pikirkan, akan terjadi sama kehidupan nyata kita. Masih aja ngeyel.”

“Atas dasar apa gue harus ikuti kata-kata lo? Bokap gue aja bukan!” Julian malah bersikap ketus. Dia bersiap untuk kembali mendorong motornya. “Pergi sana! Sikap lo yang kayak gini enggak bakal berhasil bikin gue berpikiran positif tentang lo.” Lalu, Julian kembali melangkah lambat dengan tangan yang dikerahkan untuk mendorong beban tidak ringan.

Malas juga sebenarnya. Namun, Lova masih memiliki belas kasihan. Dia tidak akan menutup mata begitu saja setelah melihat dengan jelas kesusahan yang sedang dialami Julian. "Gak usah anggap aku ada kalau gitu. Niat aku dari awal murni buat bantu, kok, bukan buat mengubah penilaian Kak Julian tentang aku," jawab Lova dengan acuh, sambil kembali mendorong motor Julian.

“Gue bilang pergi! Gue enggak butuh bantuan lo!”

“Bentar lagi hujan. Mending tenaganya buat dorong motor aja, jangan teriak-teriak.”

Baiklah, Julian menyerah. Terserah kalau Lova mau mendorong motornya. Toh, dia tidak pernah meminta bantuannya. Gadis itu saja yang bodoh, masih mau lelah-lelah membantu orang yang jelas-jelas selalu jahat padanya. Kalau nanti tangan dan kakinya pegal-pegal, Julian tidak akan mau tanggung jawab. Jika nanti Arvin mempermasalahkan ini, dia juga akan berkata bahwa Lova yang keras kepala di sini.

Dan rupanya, kesialan tidak hanya berhenti di sana. Tinggal beberapa meter lagi menuju bengkel, hujan justru turun sederas-derasnya. Bahkan, kepala Julian sampai sakit. Dia kira, itu hujan batu, bukan air. Akhirnya, mereka basah kuyup saat berhasil sampai di bengkel. Ada yang aneh, Lova sama sekali tidak mengeluh, tidak menyalahkan Julian. Dia justru sibuk mengeringkan rambutnya menggunakan sapu tangan. Dan diam-diam, Julian memperhatikan kegiatan Lova itu.

“Aku cuma bisa bantu sampai sini. Kalau nanti ada angkot, aku bakal pulang,” ucap Lova sambil terus berusaha mengeringkan rambutnya. Dia belum sadar kalau Julian sedang menatapnya lekat-lekat. “Sekedar ngasih tahu. Kak Julian aku tinggal sendiri di bengkel.”

“Naik taksi aja, jangan naik angkot. Gue yang bayarin.”

Pergerakan Lova langsung berhenti saat itu juga. Kepalanya terangkat sedikit demi sedikit. Dan dia berhasil mendapati sepasang mata yang memperhatikannya. Sebelum akhirnya Julian mengalihkan pandangan ke motornya yang sedang diperbaiki. “Kak Julian itu baik. Cuma sayang, selalu berpikiran negatif. Sampai sekarang, aku enggak tahu alasan Kak Julian enggak suka sama aku.”

“Gue juga enggak tahu. Mungkin karena nggak ada alasan buat gue suka sama lo aja.” Julian mengangkat bahunya acuh. Dia tahu, jawabannya benar-benar kekanakan. Namun, memang begitu adanya. “Gak usah sok lugu, bilang gue orang baik segala. Gue udah jahat sama lo selama ini.”

Lova mengangguk, setuju kalau selama ini Julian sudah jahat padanya. Kemudian, dia teringat sesuatu. Lova segera merogoh tasnya, lalu menyodorkan sesuatu ke depan Julian. “Aku lihat Kak Julian cari sesuatu di lapangan tadi. Mungkin, ini yang Kak Julian cari.”

Dengan cepat, Julian menoleh. Dia langsung mengambil alih gelang yang ada di tangan Lova. Bahkan, beberapa kali dia menciumi gelang itu. Bibirnya tersenyum lebar. Mungkin, ini kali pertama Julian menunjukkan senyum kebahagiaan di depan Lova, bukan lagi senyum mengejek. Benar, gelang inilah yang dia cari seharian ini. Gelang yang menjadi kenang-kenangan dari almarhumah mamanya. Gelang yang sangat berarti untuk Julian.

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang