Orang yang duduk di samping Azna adalah seorang pria, dia pria yang Azna kenal. Pria yang akhir-akhir ini sering mengisi kehidupannya, dan juga hatinya.

Anaz menaikkan satu alis, menatap Azna dari atas hingga bawah, tatapannya jatuh pada wajah Azna yang menampakkan kesedihan.

Anaz sadar, tidak seharusnya menatap Azna seperti itu. Anaz langsung mengalihkan pandangan.

"Ha-habis nangis ya?" tanya Anaz, entah kenapa ia menjadi gugup setelah menatap Azna.

"Kenapa ... kenapa harus lo yang selalu ada di saat gue sedih?" tanya Azna balik.

Anaz mengedikkan bahu. "Memang gue ditakdirin buat bikin lo selalu tersenyum, mungkin."

Azna memanyunkan bibir, kesal dengan jawaban Anaz yang menurutnya tak masuk akal.

"Cerita dong sama gue," tukas Anaz.

Azna menghela nafas, ia kemudian menghirup oksigen cukup banyak, seraya menutupkan mata Azna menghembuskan nafas lewat mulut.

"Gue ada masalah keluarga. Rumit, gue, gue bingung mau cerita dari mana," ujar Azna parau.

Azna kembali mengeluarkan air mata setelah mengungkapkan satu masalah terbesar dalam kehidupannya.

Sungguh berat menyatakan kalimat tersebut, menyatakan kalimat tersebut itu sama saja mengungkit masa lalu Azna yang kelam.

"Kalo emang nggak mau cerita, nggak perlu lo cerita semua masalah lo ke gue. Gue cukup tahu, lewat tangisan lo ini, gue tahu, lo nggak mau ngungkit masalah ini," kata Anaz lantang.

Azna menghapus air mata, ia tidak ingin terlihat cengeng di depan seorang pria, terlebih Anaz.

"Gue paling nggak tega liat cewek nangis, tapi gue juga nggak akan mungkin kaya cowok-cowok di luaran sana. Yah, yang bakal meluk sambil ngusapin kepala lo, itu bukan gue banget," tukas Anaz.

"Gue cuma bisa ngasih ini." Anaz memberi baju kemeja yang ia pakai pada Azna. Beruntung hari ini Anaz pakai baju kaos dibalut kemeja.

"Buat apa?" tanya Azna parau, hidungnya bahkan sudah mengeluarkan cairan kental.

"Buat ngusapin muka lo yang udah kaya anak kucing baru lahir," sahut Anaz tanpa beban.

"Ish, nggak mau. Jahat banget, masa aku di samain kaya kucing sih," ceplos Azna.

Ia memalingkan muka, menolak mentah-mentah kemeja Anaz.

"Nggak gitu Azna, kucing yang baru lahir itukan imut, nah lo itu imut." Hibur Anaz.

"Gue juga nggak mungkin bawa lo kerumah dengan keadaan yang kaya gini, ntar Ummi kira aku yang ngapa-ngapain kamu. Jadinya berabe."  Sambungnya.

Azna yang merasa tertarik dengan kalimat yang di ucapkan Anaz langsung menoleh. "Ngapain ke rumah lo?"

"Ummi sama Fira kangen sama lo," sahut Anaz.

Azna mengambil kemeja yang masih ada di pangkuan Anaz, ia kemudian mengusap kemeja itu dengan kasar pada wajahnya, tak lupa mengeluarkan cairan kental di kemeja Anaz.

"Maaf, kirain udah nggak di pake," ucap Azna tanpa dosa. Anaz menatap kemejanya dengan wajah kasihan.

Kemeja Anaz yang tadinya kering kini jadi basah di beberapa tempat. Anaz menatap Azna. 'Nih bocah emang nggak punya malu, fiks.'

"Nggak papa," jawab Anaz.

"Ayo buruan pulang ke rumah gue," ucap Anaz, ia kemudian berdiri memimpin jalan menuju mobil yang di parkirkan di bahu jalan.

******

"Make up gue pasti lunturkan?"

Pertanyaan sekaligus pernyataan barusan ada tepat setelah kedua remaja tersebut ada di dalam mobil.

Anaz mengangkat bahu acuh, mana ia tahu soal make up yang luntur atau tidak, sedangkan ia sekarang sedang fokus pada jalan.

Azna mengeluarkan peralatan make up di tas selempang yang ia bawa, membetulkan setiap make up yang luntur akibat tangisannya.

Tanpa rasa malu sedikitpun, gadis itu mendandani wajah di samping pria yang ia sebut sebagai calon suami.

Anaz menatap Azna, tepat saat mobil berhenti karena lampu merah.

"Apa?" tanya Azna yang masih sibuk menghiasi wajah.

Anaz menggeleng, menjawab pertanyaan Azna barusan.

'Dia, memang gadis yang nggak punya malu, tapi kenapa gue malah suka sama dia? Aneh'

Anaz membatin, memikirkan isi hatinya, hingga tepukan tangan di depan wajah membuyarkan lamunannya yang ia tidak ketahui karena apa ia melamun.

"Udah lampu hijau," ujar Azna kala Anaz melirik Azna.

Mobil kembali melaju, membelah jalanan yang lumayan padat.

Azna mengambil satu kamera yang di letakkan di dashboard mobil, ia menatap cukup lama kamera di genggamannya.

"Punya gue," tutur Anaz.

"Suka banget ya, foto? Sampe kayaknya ini kamera nempel mulu sama lo," ucap Azna.

"Ya, gimana. Gue sama kamera udah kaya air sama ikan, nyatu," jawab Anaz gamblang.

Kemudian, hening kembali melanda mobil yang sedang mereka tumpangi, hanya ada suara bising kendaraan dari padatnya jalanan ibu kota.

******

Hay, ini udah diupdate lagi.

sorry banget pasti nunggu lamakan? Iya, aku tahu itu kok.

Semoga aja ngefeel sama part sebelumnya, wkwkwk. Part berikutnya, part Anaz.

Hargai kehaluan author :v

Votmen, XDXD.

I'm Fine (END)Where stories live. Discover now