"Arvin kayak gimana kalau penyakitnya kambuh?"

Lova menoleh. Dia kira, Julian tidur dengan posisi duduk. Ternyata, dia masih bernyawa. Sebenarnya sedikit geli mendengar kalimat Julian barusan. Kesannya, Arvin seperti sakit asma yang bisa kambuh saat kedinginan. "Enggak ada perubahan spesifik sebenarnya. Aku cuma harus bisa mengarahkan Kak Arvin aja kalau dia udah terjebak delusi dan menganggap kejadian di dalamnya sebagai sebuah kenyataan." Lova menunduk, memperhatikan sepatunya yang sederhana. "Gak terlalu susah, sih. Kak Arvin tahu kondisinya sendiri."

"Dan dia baik-baik aja dengan semua itu?" Gantian, kali ini, Julian yang memperhatikan Lova.

Kepala Lova menggeleng. Bibirnya membentuk senyum simpul. "Siapa yang bisa baik-baik aja saat tahu kalau dia sedang sakit? Apalagi ini gangguan psikologis. Pengobatannya membutuhkan waktu yang lumayan panjang, butuh kesabaran ekstra, butuh kedisiplinan tinggi." Pandangan Lova berubah kosong. Dia sedang menerawang ekspresi wajah Arvin saat bicara di taman belakang rumahnya beberapa sekitar seminggu yang lalu. "Tapi, yang aku lihat, Kak Arvin tidak menyalahkan keadaan ini. Dia sadar, kalau memang inilah jalan yang harus dia lalui."

Ada perasaan lega di dada Julian saat melihat bagaimana cara Lova menceritakan hal tentang Arvin. Dalam, tapi tetap ringan. Mungkin, perasaannya memang benar, Lova gadis baik. Dia tidak mungkin mengambil keuntungan atas kondisi Arvin sekarang.

"Lho, kalian di luar?" tanya Bu Indira tiba-tiba. Sontak saja, Lova dan Julian langsung berdiri menyapa beliau. Tapi yang menjadi fokusnya saat ini adalah Julian, sahabat putranya yang selalu setia kawan. "Tante tahu, ada banyak sekali pertanyaan di kepala kamu saat ini. Tante paham kalau kamu mau marah, karena selama ini kamu enggak tahu apa-apa. Tapi, tante mohon sama kamu, Julian, jangan marah di depan Arvin. Kalau kamu mau bertanya, kamu bisa tanyakan apa saja sama tante."

Lidah Julian kelu untuk beberapa saat. Benar, dia marah dan kecewa. Tapi dia tahu, kemarahan dan kekecewaannya tidak akan mengubah apapun. "Lova udah kasih tahu Julian sebagian, kok, Tan. Julian juga bisa menahan emosi, enggak bakal marah depan Arvin. Tante tenang aja."

"LOVA!"

Baru saja Bu Indira hendak berterima kasih atas pengertian Julian, tetapi beliau langsung berlari saat mendengar teriakan nyaring putranya. Begitu juga dengan Lova dan Julian. Mereka langsung mengikuti Bu Indira. Antara lega karena Arvin sudah bangun, bercampur dengan khawatir atas apa yang terjadi pada laki-laki itu.

Namun lagi, kaki Lova tertahan hanya sampai di ambang pintu. Karena di sana, tepat di hadapannya, Arvin sedang memeluk Tamara dengan sangat kuat. Lova juga bisa melihat ada air mata yang turun membasahi pipi Arvin. Dan seperti diberi kesempatan emas, Tamara membalas pelukan Arvin itu dengan sangat senang hati. Dia juga sudah mengusap punggung Arvin dengan pelan, seakan berusaha memberi kenyamanan pada Arvin.

"Gue sayang sama lo. Gue mohon jangan tinggalkan gue," pinta Arvin dengan suara yang begitu lemah.

"Aku di sini, Vin. Aku enggak akan tinggalkan kamu, aku akan selalu ada di samping kamu," jawab Tamara.

Tidak sanggup lagi dipermainkan perasaannya, Lova lebih memilih untuk pergi dari sana. Tanpa pamit, tanpa ucapan salam, Lova langsung melangkahkan kakinya menjauhi ruang UGD. Setiap hentakan langkah kaki yang dia ambil, semakin besar guncangan di dadanya. Rasa panas di rongga dadanya sampai naik ke bola mata. Dan akhirnya, pandangan Lova memburam. Berakhir dengan cairan kristal yang turun dengan lancang.

"Pulang sekarang, Va?" tanya Agus yang sedari tadi menunggu di lobi rumah sakit. Dia bingung dengan sikap Lova. Pertanyaannya tidak di jawab, sahabatnya itu lurus saja pergi dari sana. "Pak, saya duluan," pamitnya pada Pak Ilham. Lalu, Agus berlari menyusul Lova. Dia semakin terkejut saat mendapati mata Lova merah dan tampak berair. "Kamu kenapa, Va? Kak Julian jahat sama kamu? Atau Kak Arvin yang bikin kamu nangis kayak gini?"

Erotomania [Tamat]Where stories live. Discover now