11. Detak Jantung

Start from the beginning
                                    

"Kayaknya, semenjak kenal sama Arvin, kamu jadi lebih banyak menilai diri kamu sendiri, ya, Va? Lovata yang selama ini Kakak kenal biasanya enggak peduli juga sama omongan orang lain." Vanka mengembuskan napas panjang. Dia berpura-pura saja di depan adiknya. Padahal, Vanka juga sering merasa kecil karena lidah orang lain. "Iya, sih, kakak juga setuju kalau kamu enggak cocok sama dia. Kalian terlalu banyak perbedaannya. Tapi, kalau kenyataannya perasaan kalian mengatakan satu hal yang sama, masih harus peduli dengan perkataan orang lain?"

Refleks saja kepala Lova menggeleng. Benar juga apa yang dikatakan Vanka. Tidak peduli seberapa banyak orang yang mengatakan bahwa Lova dan Arvin tidak cocok, jika hati mereka mempunyai perasaan yang sama, orang-orang itu bisa apa? Mungkin hanya Lova saja tenang harus mempersiapkan tangan untuk menutup telinga, mental kuat untuk tindakan mereka yang kurang menyenangkan, serta tekad untuk tetap biasa di samping Arvin.

"Kalau mau jatuh cinta, tinggal jatuh aja. Enggak usah kebanyakan mikir. Sakit itu udah pasti ada, bahagia pasti didapatkan kalau orang itu juga mempunyai perasaan yang sama." Setelah mengatakan itu, Vanka bangkit dari tidurnya. Dia masih memiliki beberapa tugas yang harus di selesaikan. "Kakak ke sini mau pinjam flashdisk. Punya kakak enggak tahu di mana, lupa lagi nyimpen."

Lova juga melakukan hal yang sama. Bangkit dari kasur dan segera bergerak untuk mengambil flashdisk dari dalam tasnya. "Makasih buat semua solusinya, ya, Kak."

Vanka tersenyum. Tidak peduli seberapa banyak perdebatan yang terjadi di antara mereka, keduanya tetap adik kakak yang saling menyayangi. "Iya, sama-sama. Kalau mau cerita apa-apa, langsung aja ke kakak. Diledek dikit doang enggak apa-apa, lah, biar komplit." Vanka tergelak saat Lova mencebikkan bibirnya, kemudian dia segera keluar dari sana, meninggalkan Lova yang kembali termenung.

Dulu, Lova pernah bertanya pada Agus. Memangnya, setiap hubungan pacaran harus dilandasi perasaan? Dan sekarang, di saat kemungkinan perasaan itu menghiasi hubungannya dengan Arvin, Lova justru jadi uring-uringan sendiri. Bukan apa-apa, Lova hanya merasa kalau dia tidak akan mampu bertahan dari segala pesona, kebaikan, dan ketulusan Arvin.

Ting!

Lova bergerak untuk mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Pesan dari Arvin.

Kak Arvin : Lagi ngapain? Kangen gue, gak?

"Kenapa Kak Arvin bisa sesantai ini, sementara aku di sini uring-uringan?" Lova bicara pada ponselnya, seakan-akan itu adalah wajah Arvin. Jika menjatuhkan hatinya pada Arvin begitu mudah seperti yang dikatakan Vanka, lalu mengapa Lova bisa masih resah sekarang? "Yang namanya jatuh pasti sakit, 'kan, Kak? Termasuk jatuh cinta juga, ya?"

Saat Lova sedang bicara sendiri, dia dikejutkan dengan ponselnya yang berdering nyaring. Terpampang dengan jelas bahwa Arvin sedang menghubunginya lewat panggilan video. Sontak saja itu membuat Lova menjadi super bingung. Tangannya bahkan sampai bergetar. Lova merasa darahnya mengalir lebih cepat dari batas normal. Dan karena terlalu panik itulah, Lova tidak sengaja menggeser ikon hijau di layar ponsel.

"Lov?"

Lova mengedipkan matanya berulang kali. Di sana, ada wajah Arvin yang tampak begitu segar. Wajahnya berseri, rambutnya basah, sebuah handuk putih kecil juga menggantung di lehernya. Lova tahu, Arvin baru selesai mandi. Dan sialnya, penampilan laki-laki itu kembali memicu serangan jantung untuk Lova.

"Lo sakit?" Arvin kembali bersuara.

"Hah?!" Lova malah kaget sendiri dengan pertanyaan Arvin. Dia menggeleng kuat, berusaha mendapatkan kembali ke kesadarannya. "Enggak, kok! Aku sehat. Sehat banget malah!"

Arvin memicingkan mata, tidak percaya dengan jawaban Lova. "Lo demam, ya? Wajah lo merah, Lov. Coba periksa suhu lo, siapa tahu tinggi. Atau lo mau ke rumah sakit aja? Gue jalan sekarang." Arvin langsung bangkit dari duduknya. Dia berjalan tergesa-gesa mendekati meja.

Erotomania [Tamat]Where stories live. Discover now