I Meet Her for The Last Time

10 0 0
                                    

Selasa, 24 Januari 2012

Gue tau Fia lewat facebook. Awalnya di-add sama cewe yang kuliah di Trisakti. Gue gak tau dia siapa, biasalah, mungkin dia ngeadd karna gue ganteng, atau karna muka gue mirip copet yang pernah ngejambret tas dia. Iseng, gue liatin foto-foto di albumnya. Nah, di salah satu fotonya, ada Fia. Fia paling bersinar diantara temen-temen cewe lainnya. Bersinar karna cantik, juga mungkin karna jidatnya yang terkena matahari ngebuat semuanya jadi lebih silau.

Sampai pada akhirnya, gue tau nama dan facebooknya. Gue add, dan beberapa saat kemudian langsung di-approve. Tanpa berfikir panjang, gue langsung ngirim personal message, "ternyata, friend request yang di-approve itu bisa ngebuat kita senyum-senyum sendiri sampai tengah malem". Nah, lewat message di facebook inilah gue nanya nomer henfonnya. Akhirnya kita smsan. Walaupun awalnya jarang dibales, lama-lama Fia mulai suka bales sms gue, walaupun masih sangat ngeselin balesnya. Cewe cantik emang biasanya ngeselin. Tuhan adil.

Hal terpenting yang gue belum ceritain di postingan sebelumnya adalah bahwa Fia udah punya cowo. Entah kenapa, gue yang udah sadar Fia udah punya cowo, masih tetap dungu dengan terus smsan sama dia. Gue cerita tentang bagaimana hubungan gue sama mantan sukses berakhir karna kita beda agama, dan Fia cerita tentang mantan dan pacarnya yang sekarang. Dia baru jadian hampir sebulan. Penyesalan pertama: kenapa gue gak kenal Fia sebulan atau dua bulan lebih cepat dari sekarang. Gue sadar, gue telah mencoba bermain api, dan ini pasti bahaya. Tapi gue gak peduli, gue suka sama Fia, dan gue yakin, setidaknya, dia tertarik sama gue.

Dari yang cuma smsan, kita kemudian telfonan. Walaupun setiap ditelfon Fia selalu (terdengar) sibuk. Gue pernah dinasehatin panjang kali lebar sama dengan luas setelah gue cerita tentang bagaimana gue terpuruk saat putus sama mantan. Fia itu pinter, cantik, baik, dan rajin ibadah. Beda sama gue yang jelek, cacingan, dan shalatnya suka bolong-bolong. Dia cukup dewasa walaupun dia anak bungsu. Gue semakin kagum sama Fia. Semakin pengen ketemu. Semakin pengen cium *dasar mesum. Pernah suatu waktu gue telfon Fia malem-malem, dia jawab, "halo ini siapa?!", gue yang tiba-tiba bingung ngejawab dengan kaget, pasrah, dan sedikit kesel, "ini Adit". Fia jawab, "oohh, kenapa?!", gue bilang, "lagi dimana?!", dan Fia jawab, "lagi sama pacar".

Gubrak! Pantesan aja Fia pura-pura nanya siapa, dia panik seketika saat ada telfon dari gue pas dia lagi sama cowonya. Reaksi yang sangat lumrah untuk dimaklumi. Andai aja gue yang diposisi dia, mungkin bakal lebih panik dan ngejawab, "Halo iya ini mas-mas asuransi yah. Maaf mas saya belum mau meninggal, thanks, bye!", tut tut tut. Fia masih cukup waras dengan bertanya 'ini siapa'. Fia cerita, kalau cowonya gak ambil pusing sama cowo-cowo yang deketin dia. Hahaha, cowonya pasti panik kalau yang deketin Fia adalah cowo ganteng kembaran pangeran Williams ini. Fyi, gue adalah kembaran pangeran Inggris itu, bedanya setelah lahir dia dirawat oleh kerajaan Inggris sementara gue dihanyutkan di Thames River dan nyangkut di jala nelayan di Selat Sunda. Mengenaskan memang.

Setelah beberapa minggu berhubungan lewat sms dan telfon, akhirnya kita memutuskan untuk bertemu langsung. Gue akan bertemu bidadari tak bersayap dan Fia akan bertemu titisan dajjal. Terberkatilah Fia. Apa yang terjadi?! Semuanya udah gue paparin dengan jelas di postingan sebelumnya. Dari obrolan kita di resto dan di mobil, kita punya banyak kesamaan. Kita sama-sama lahir di bulan Agustus (gue tanggal 8, dia tanggal 9), kita sama-sama gak suka sushi, dan kita sama-sama gak suka makan permen yang udah jatuh ke lantai lebih dari 10 menit. Kotor soalnya.

Satu hal yang bikin gue senyum-senyum sendiri setelah pertemuan itu adalah kita sama-sama seneng dengan pertemuan tadi. Gue tau itu dari reaksi dia saat gue bilang, "pertemuan pertama dan terakhir aku sama kamu" yang dia bales, "ooohhh jadi ini pertemuan terakhir ya" dengan mimik muka seolah-olah gak setuju. Gue juga yakin kalau dia seneng dari tweet yang dia posting sesaat setelah kita ketemuan, "senangnya dalam hati :) #senyum-senyum sendiri". Yang gue gak tau dia seneng mungkin justru karna udah pisah sama gue, entahlah. Gue jadi orang paling bahagia se-Jakarta Selatan saat itu. Gue, saking senengnya, sampai (pura-pura) lupa kalau Fia udah punya cowo.

Keesokan harinya gue telfon Fia, dan dia jawab dengen manja (najes!).

Gue : "Hey. Lagi apa?!"

Fia : "Lagi di rumah aja"

Gue : "Udah makan?!"

Fia : "Ini lagi mau makan. Kamu di rumah sama siapa?!"

Gue : "Cuma ada aku sama si mbak"

Fia : "Kemarin cowokku dateng ke rumah."

Gue : "Terus?"

Fia cerita, kalau cowonya curiga, dan akhirnya Fia ngejelasin kalau dia jalan sama gue kemarin. Cowonya gak marah (pada saat itu). Dan pada hari dimana gue telfonan tadi, siangnya dia ketemuan sama cowonya buat ngerayain sebulanan mereka. Malemnya, Fia cerita, kalau cowonya marah banget atas pertemuan kita. Itu terlihat jelas dari cara dia cerita. Dan pada akhirnya, Fia bilang kalau dia gak bisa lagi temenan ky' gini terus sama gue. Yang artinya, sebaiknya hubungan kita diakhiri. Jleb. Sempak! Gue lemes. Sedih. Baru kemarin gue jadi cowo paling bahagia atas pertemuan itu, malem itu gue seketika berubah menjadi laki-laki paling hancur se-provinsi DKI (walaupun tampang gue udah lebih dulu hancur).

Gue sadar, saat memulai 'hubungan' sama Fia, suatu saat pasti bakal disudahi dengan cara seperti ini. Yang gue gak pernah fikirkan justru kenapa gue bisa sesedih itu karna harus kehilangan dia. Gue udah cukup bahagia bisa smsan, telfonan, atau sesekali ketemuan, dan gak ngerasa sedih apalagi cemburu saat dia bilang lagi sama pacar. Tapi kenapa gue sedih atas apa yang harus gue hadapin. Apa gue udah sayang sama dia?! Entahlah. Gue ngerasa kehadirannya sudah cukup membuat bahagia, bisa senyum-senyum sendiri, deg-degan, harap-harap cemas, sesuatu yang ngebuat kita bahagia ngejalanin hidup (oke maaf berlebihan). Penyesalan lain muncul, kenapa gue gak kenal Fia dari dulu, kenapa Fia udah punya cowo, kenapa gue masih mau berhubungan sama dia padahal gue tau dia udah punya cowo, dan kenapa supir angkot keteknya bau (maaf gak nyambung, dan gak semua supir angkot keteknya bau, gue wangi).

That day, when Chinese people was celebrating their new year, the day I met her, the day I felt I found someone who could make my day shining again (gue juga gak tau artinya apa, copy paste aja di google translate), WOULD BE THE LAST DAY I SAW HER. Itulah hari pertama sekaligus hari terakhir gue ketemu dia. I'm falling into pieces. Entah harus gimana lagi. Salah gue dari awal tidak berhenti dan tetap membiarkan dia masuk ke hati gue. Tuhan dan semparetta tidak mengizinkan untuk terus bisa bahagia dengan adanya Fia. Mungkin Tuhan punya rencana lain yang lebih bahagia, tapi terimakasih, saat ini gue cuma berharap akan ada keajaiban yang bisa 'mempertemukan' kita lagi, walaupun hanya melihat tulisannya atau mendengar suaranya dari henfon.

Me Against The LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang