"Couple A?" Ungkapan serempak keluar dari Anaz, Zaki, Denis, Arshaq, Erik, Eshan.

"Hu'um, Azna, Anaz. Huruf paling depan mereka kan A semua," ujar Bu guru.

Azna tersenyum canggung. "Kalo gitu bawa aja Anaz Bu, nggak papa kok."

Ibu guru mengangguk, kemudian ia berjalan di buntuti Anaz.

Gerombolan kelas Mipa 3 dan Mipa 4 kembali berjalan berlawanan arah dengan Anaz, tujuan mereka masih sama seperti biasanya. Kantin, untuk mengisi perut yang kosong, juga kelaparan.

******

Semenjak kedekatan dengan Anaz, Azna merasakan hidup yang lebih berwarna dari sebelumnya.

Azna bertekad akan melawan penyakitnya demi Anaz, Syakila, Ibu Asih, dan beberapa orang yang menyayanginya.

Walaupun hidup dengan kecanduan obat-obatan, Azna tak mempermasalahkan, asal sembuh.

Azna duduk di depan Zaki, samping kiri ada Syakila, samping kanannya kosong. Tempat kursi tersebut biasa diduduki Anaz, tapi berhubung Anaz sedang ada tugas dari guru maka tempat itu tak berpenghuni.

Masing-masing telah memesan makanan, Azna, Denis, Erik, Azura dan Zaki memesan makanan yang sama.

"Wuih, kayaknya enak nih bakso," kata Denis, ia memandang semangkuk bakso penuh gairah.

"Kita lomba yuk, makan bakso semangkuk," ujar Azura antusias.

"Ayok, makin seru kalo gini. Peraturan mainnya, nih, semangkuk bakso pake sambal 15 sendok, nggak boleh minum sampe satu mangkuk bakso abis, yang abis duluan tanpa minum pemenang,"  tutur Azna.

"Yang kalah traktir minuman gratis satu gelas buat yang menang," imbuh Zaki yang langsung di angguki semua peserta lomba.

Syakila, Nadia, Eshan sebagai tim juri, mereka bertiga juga tidak memesan satu mangkuk bakso.

Terlebih Nadia, ia bernafas lega, karena tidak memesan bakso. Itulah Nadia, dia tidak suka pedas, jauh berbeda dengan Azna, gadis pecinta pedas.

Lomba dimulai beberapa menit yang lalu, Azna menjadi orang pertama yang menghabiskan semangkuk bakso dengan sambal 15 sendok.

"Gila lo, gue aja udah mau nangis gini," ujar Denis, sambil mengusap keringat yang membanjiri pelipis.

"Lidah lo mati rasa ya, Na?" tanya Nadia, yang lebih ke arah sindiran.

"Finish," kata Zaki semangat.

Akhirnya ia bisa menghabiskan semangkuk bakso yang pedas tiada tara. Walaupun harus berkali-kali mengusap air matanya yang keluar dengan sendirinya.

"Gue ngaku kalah, an*ir nggak kuat gue." Azura mendorong mangkuk bakso dari hadapannya.

Pertandingan selesai, saat tepat semua telah menghabiskan bakso, saat itu juga Anaz duduk di samping Azna, ia menatap bingung temannya yang seperti baru saja di hukum untuk lari keliling lapangan.

"Fine, lo traktir gue," ujar Azna.

Azura mengangguk lemah, ia masih asyik menyeruput es teh, sama seperti yang lain.

"Makan pedas?" tanya Anaz di angguki Azna.

"Jangan sering makan pedas, nggak baik buat kesehatan," tutur Anaz lembut, ia melirik Azna yang nampak memandang dirinya dengan tatapan ... entahlah.

"Anaz khawatir?" gumam Azna pada diri sendiri.

Anaz mengangguk saat mendengar gumaman yang keluar dari Azna, dan itu terjadi secara sepontan, tidak di rencanakan.

Azna mengadah, menatap kosong ke atas. Memikirkan perlakuan Anaz yang menurut ia romantis. Hingga tiba-tiba hingar-bingar Syakila membuat Azna tersadar.

Syakila yang memperhatikan Azna jadi begidik ngeri, melihat temannya melamun gara-gara di khawatirkan membuat ia berfikir yang tidak-tidak dengan yang Azna pikirkan. Apalagi yang menkhawatirkan ia adalah Anaz, cowok yang ia taksir akhir-akhir ini.

Oke, ini mungkin lucu, tapi Syakila sudah berfikir bahwa Azna melamun tentang hubungannya dengan Anaz di masa depan. Apa ia berfikir hingga pacaran, lebih buruk sudah memikirkan tentang indahnya pernikahan, atau malah malam pertama, bahkan mempunyai anak darah daging Anaz.

Sekarang, justru Syakila yang terlalu berlebihan.

"Please deh Na, gue emang nggak tahu apa yang ada di pikiran lo, tapi gue yakin pikiran lo udah melayang  jauh entah kemana," ujar Syakila.

Azna terkikik, merasa benar apa yang di ucapkan Syakila, hingga ia menghentikan tawa lalu kembali menyeruput minuman.

"Nih." Azura menyodorkan minuman, ini adalah traktiran untuk Azna, karena ia menang pertandingan kecil tadi.

Azna menerimanya dengan senang hati, ia menyodorkan minuman traktiran ke depan meja Anaz, mengatakan bahwa minuman itu untuknya.

Anaz menyeruput minuman dengan rasa kesukaan Azna, tidak terlalu buruk. Mungkin, ini akan menjadi minuman kesukaannya, setidaknya dalam 5 besar.

"Makasih," ujar Anaz seraya tersenyum memandang minuman tersebut, tapi justru Azna merasa senyum itu tertuju untuknya.

Jelas, mana mungkin ia berterima kasih pada satu cup minuman itu. Pasti pada sang pemilik yang memberikannya, walaupun Anaz tersenyum ke arah cup bukan wajah Azna.

Dia sungguh pria yang menjaga pertemanan lawan jenis, menghargaiku sebagai seorang wanita. Yang jelas terlihat lebih murahan di depannya.

Mengapa demikian, karena Azna selalu menatapnya di saat waktu tertentu, dan mengagumi setiap ekspresi yang tergambar jelas di wajah tampannya, dominan Azna menyukai senyuman manis miliknya. Azna mengagumi secara terang-terangan, sedangkan Anaz, jangankan menatap, bahkan melirik pun hanya beberapa saat. Azna yakin saat Anaz melirik hanya dapat melihat bulu matanya yang lentik, bukan manik mata Azna. Kemungkinan besar saat ia menatap Azna saat itu juga tidak sengaja.

******

Eumm, gimana part ini?
Ohh ya, part berikutnya spesial untuk Anaz juga Azna. Pokoknya ... lihat aja nanti.

Berjumpa lagi di part selanjutnya, semoga nggak bosan sama ceritaku yang ini.

Adakah pria seperti Anaz di dunia ini? Tolong kasih tahu author, dibelahan bumi mana tepatnya pria seperti itu?

Mau author bawa pulang, taro dikamar buat pajangan, eh sayang ding. Mending di peluk, wkwkwk.

Hargai kehaluan author :v

I'm Fine (END)Kde žijí příběhy. Začni objevovat