1. Naima Rosdiana

Start from the beginning
                                    

Perlu ditekankan di detik ini juga, kalau aku tidak mencintainya dan tidak akan pernah. Tidak ada yang suka padanya, aku bisa menjamin itu. Toh semua gadis yang selama ini berlari ke arahnya hanya karena tahu kalau laki-laki kasar ini berdompet tebal.

Beberapa gadis kadang tidak punya pilihan dalam hidup, sama seperti yang kulakukan malam ini. Aku tak punya pilihan lain lagi.

Mungkin, untuk kesekian kalinya ini adalah cerita klise yang sudah kalian dengar ribuan kali, berulang-ulang. Tapi ini agak berbeda, karena sebelumnya aku juga menganggap bahwa cinta dan harga untuk diri tidak bisa ditukar dengan uang.

Hari ini, di depan semua orang, aku ingin mengatakan bahwa sudut pandangku telah berubah. Sesuatu yang paling layak ditukar dengan uang salah satunya adalah kebahagiaan.

Sebelumnya dan detik ini, Ezard memberikan uangnya pada semua orang. Ia mencari sesuatu yang selama ini ia cari di sudut hatinya. Kepuasan dan kebahagiaan. Dua hal yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak pernah singgah di hidupnya.

Dan hari ini, untuk sesuatu yang lebih besar, untuk sesuatu yang memang tak seharusnya kami permainkan, tapi aku dan Ezard tak punya banyak pilihan. Ia mungkin  melihat sesuatu dalam diriku, bukan cinta. Karena itu mustahil tumbuh dalam hitungan detik.

Sesuatu yang lain, sesuatu yang mungkin menurutnya ajaib, sesuatu yang tak ada pada orang lain, sehingga ia rela menukar uangnya demi sesuatu itu.

Dan aku, aku sedang membutuhkan uang. Aku bukan pelacur, aku wanita baik-baik. Yang dalam hitungan detik hidupnya berubah menjadi tragedi. Seseorang yang tidak bertanggung jawab telah menabrak adikku, sehingga harus di operasi. Aku tidak punya biaya untuk itu sehingga tidak punya pilihan dan menerima Ezard.

Ada yang harus kutukar dengan uang, waktu, cinta, hati, hari dan status. Sebuah langka yang mungkin tak pernah terbesit dalam hatiku. Menikah dengan seseorang yang baru kukenal hitungan hari atau bahkan belum sampai sehari.

"Bagaimana menurutmu?" Suaranya mengembalikanku pada kenyataan.

"Apa?"

"Rumah ini." Ia menoleh. Kemudian menyapu seluruh ruangan dengan bangga.

Aku hanya tersenyum kecil, terkesan dipaksakan. "Belum sempat kupikirkan."

"Kuharap kau nyaman."

"Semoga." Tidak mungkin itu akan terjadi!

"Mau kuantar langsung ke kamar atau berkeliling dulu?" Ia menatap.

Kali ini senyumnya hampir membunuhku. Untuk pertama kalinya dalam sejarah ia tersenyum lembut. Rasanya seperti mimpi.

Yang benar saja ia tersenyum lembut padaku? Sungguh, ini diluar dugaanku juga.

Aku membatu di tempat, rasanya seperti dikunci, aku tidak bisa bergerak. Sampai akhirnya aku tersenyum dan yang bisa kukatakan hanyalah, "Aku kira kau akan menyiksaku seperti di film-film."

Reaksinya kembali di luar dugaanku. Kali ini laki-laki berwajah blasteran itu tertawa kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan, sadar kalau tawanya terlalu kelepasan.

"Bahkan ketika rasanya ingin membunuh karyawan yang tidak cekatan sekalipun, tidak pernah terlintas di pikiranku akan menampar wajah perempuan yang telah menginjak kepalaku."

Aku tergagap. Laki-laki ini mulai tidak normal. Jauh berbeda dari beberapa jam yang lalu kukenal. Oh Tuhan, seharusnya aku tidak ada di sini saat ini. Tidak seperti gadis bodoh yang takjub dengan kata-katanya dan termakan rayuannya.

Tunggu—

Bukankah tadi dia merayuku. Aku tidak salah kan. Dia benar-benar merayuku, meskipun aku tidak pernah berpacaran, tetapi di film-film dan dari buku-buku yang kubaca itu termasuk salah satu cara jika pria ingin memanah hati para wanita.

"Sudah banyak wanita yang pernah bersamaku, tanpa pacaran, ataupun pernikahan. Jadi kau orang pertama yang aku menikah denganku."

Informasi semacam itu tidak kubutuhkan, tetapi memang aku ingin mengetahuinya. Hanya untuk sekedar memastikan bahwa suamiku ini bukan duda sebelumnya. Setidaknya menikah dengan lelaki yang tidak mencintaiku jauh lebih baik daripada menjadi istri kedua.

"Kau punya anak diluar nikah?"

Ezard yang menaiki anak tangga kini berhenti dan berbalik menatapku yang tepat berdiri di belakangnya.

"Pertanyaan macam apa itu?" Matanya menyipit, dan senyum yang tadinya tercetak di wajahnya memudar.

Aku menghela napas, menatap sebentar hingga kemudian beralih ke lampu besar yang tergantung di tengah-tengah ruangan.

"Aku tidak tahu kehidupan seperti apa yang kau jalani sebelumnya. Hanya saja aku tidak ingin ada masalah semacam itu di dalam pernikahan kita."

"Tidak akan," seringainya sembari melirik dengan tatapan yang sulitku artikan, tetapi itu terlihat menyeramkan.

Ezard berjalan menuju salah satu kamar dan membuka pintunya. Aku tertegun melihat pemandangan di depanku. Kamar Ezard bahkan jauh lebih besar dari rumahku sendiri.

Seprei hitam polos yang membalut ranjang yang berukuran besar dan terlihat motif batik di setiap sudut ranjang. Sungguh, warna hitam menggambarkan diri tuan Ezard yang terkesan angkuh dan penuh dengan kegelapan ini.

Bermain dengan wanita? Itu adalah hobinya, lalu dengan bodohnya aku menerima  lamarannya. Meski tidak sedikitpun mencintainya, aku berharap tidak ada wanita lain yang akan menggangu keberlangsungan hidupku di rumah ini.

Aku merasa sudah gila karena dengan mudahnya menerima tawaran lelaki yang sering bergonta-ganti pasangan ini.

"Aku tidak suka anak kecil, Nai."

"Aku juga tidak ingin punya anak."

"Tidak, itu dulu. Tapi hari ini aku memutuskan untuk punya anak denganmu."

"Aku tidak ingin punya anak dari laki-laki yang tidak kucintai."

"Tapi aku butuh anak laki-laki yang menyambutku di depan pintu dan memelukku sambil tersenyum, untuk kedepannya." Ia menjatuhkan badannya ke atas kasur. Masih dengan mata yang sepenuhnya menatapku.

"Buat bersama wanita lain!" Cukup keras. Aku muak dan merasa malu sehingga mengedarkan pandangan secara acak.

Di sudut sebelah kanan terdapat meja rias dan beberapa alat kecantikan, mataku berhenti pada alat-alat itu.

"Apa ada wanita lain sebelum aku di sini?"  Sebelah alisku terangkat.

"Kenapa?" Nadanya datar.

"Jika ada, aku harap ini bukan kamar yang sama yang akan aku tempati."

"Kau wanita pertama."

"Kau berbohong." Aku memutar bola mata dengan malas.

"Itu fakta."

Aku hanya membalas dengan helaan napas saja dan masuk lebih dalam lagi ke kamar yang di dominasi warna hitam ini.

Ezard yang tadinya membenamkan diri di atas kasur bangkit dan berjalan ke arahku. Langkahnya cukup tenang, tapi jiwaku merasa tidak aman.

Tatapannya berbeda, tidak mengisyaratkan keangkuhan, tidak menyisakan kenyamanan, hanya–sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Maka secara sadar aku mengambil langkah mundur. Berniat melarikan diri dari kamar terkutuk ini.

Namun, nihil. Ezard lebih dulu bergerak dan menutup pintu dengan cepat, mengunci tubuhku dengan kedua lengannya.

"Eza—"

"Aku ingin kau malam ini, Nai."

Ya–Tuhan! Apa yang dia katakan? Apa dia sebelumnya mabuk? Apa di sudah kehilangan akalnya? Aku bahkan belum memasang posisi siap tapi dia sudah berlari kencang.

Rasanya seluruh persendianku melemah. Tidak! Gadis 19 tahun ini bahkan belum mengerti apapun itu. Tapi si Ezard ini malah memaksanya. Ah! Lebih baik untuk malam ini aku pingsan saja.

Benar, di detik berikutnya kepalaku berdenyut, bayangan Ezard di depanku menjadi dua dan aku tidak bisa mengerti apa yang terjadi di detik berikutnya, saat bayangan itu berubah menjadi gelap yang pekat. Aku hampir tumbang, tapi tangan seseorang merengkuhku dan membawaku ke pelukannya.







.....

Terimakasih💚




Season With You || Lee Jeno [✓]Where stories live. Discover now