Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4

Start from the beginning
                                    

"Ada apa?" ucap Ajeng yang hampir reflek menutup kuping. Sarah cepat menjawab, "Novi emang gini, tante."

Novi tidak ingin diangkat, dan Sarah kesusahan untuk menariknya agar berdiri. Ia takut akan menyakiti Novi yang mengenakan perban di mana-mana.

"Novi, maaf. Maaf ya. Ayo, Novi. Ayo," ucap Sarah sehalus mungkin.

"Papa!" pekik Novi. Ia ulang lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Sarah hampir menangis mendengar teriakan Novi. Tapi ia ingat bahwa ia memegang gawai Novi. Dari kantungnya, ia mengeluarkan gawai Novi dan menunjukkannya.

"Novi. Hape Novi nih," senyum Sarah dengan suara bergetar. Novi sekelebat melihat, tetapi melanjutkan pekikannya. Ajeng mulai merasa tidak nyaman.

"Sasa, ada masalah apa?"

"Biasa lah, tante."

"Teman Sasa memang biasa begini?"

"Iya."

"Kenapa dia?"

"Emang gitu."

"Sakit?"

"Iya."

"Sakit apa?"

Sarah diam, tak menjawab pertanyaan Ajeng. Sarah tidak mau Novi mendengar. Ajeng yang sedari tadi terganggu oleh pekikan Novi mengeluh, "Ya sudah. Kita langsung pergi saja. Temanmu dirawat dulu di sini."

Sarah menengok ke Ajeng. Sedari tadi ia berusaha menenangkan Novi, agar ia bisa cukup kooperatif untuk ikut. Kini tantenya ingin Novi ditinggal. Sarah protes, "Nggak bisa, tante."

"Dia akan dapat perawatan di sini."

"Bukan itu yang dibutuhin Novi, tante."

"Apa memangnya?"

Sarah tidak dapat jawab. Sejauh ini, apa yang Sarah mengerti dari Novi adalah bahwa ia butuh stimulus-stimulus spesifik. Novi tak bisa makan apa pun kecuali Cordon Bleu saus asam manis. Bahkan kalau nasinya tidak dibasahi saus, Novi takkan mau makan. Kejadian Novi memekik ini sama seperti saat nasinya tidak dibasahi saus, dan hal yang bisa menenangkan Novi hanya gawainya. Spesifiknya, permainan memecahkan permen. Hanya saja, Novi menolak melihat gawainya sendiri, dan itu biasanya menjadi cara terakhir untuk menenangkan Novi. Sarah tidak tahu lagi apa yang dibutuhkan olehnya.

Sarah menyalakan gawai Novi kemudian menyalakan permainan Novi, "Nih, Nov. Kamu seneng kan?"

Novi mendengar suara gawainya. Begitu tidak asing. Tapi ia tak menenang. Ia menepis tangan Sarah hingga gawainya terpental ke lantai, dan lanjut memekikkan papa. Papa, papa, papa. Itu saja yang diteriakkan Novi. Konstan, tak berubah. Mau volume ataupun nada. Apakah benar Novi membutuhkan ayahnya? Kenapa tiba-tiba?

"Novi, ayo. Nanti kita ketemu papa," bohong Sarah.

"Papa udah meninggal!" jujur Novi.

Sarah meremehkan Novi. Novi tidak menyangkal kenyataan. Novi memekik dan memekik, memanggil dan memanggil. Ia memanggil sosok yang telah tiada, meski ia tahu sosok itu takkan datang. Sarah menyerah. Ia menangis.

"Sarah, pegang Novi. Robi, bantu pegang. Jaka, bantu juo."

Jon datang. Sarah tak sempat lihat ia datang, karena berusaha menenangkan Novi. Tangannya menyembunyikan sesuatu. Sarah kebingungan.

"Pegang yang kencang. Sarah, kamu pegang tangan kanan. Robi, kamu pegang kaki. Jaka, pacik badannyo. Kareh-kareh."

Sarah sekilas melihat alat suntik, dan langsung mengerti. Bersama dengan Robi dan Jaka, Sarah membekukan Novi. Novi merespon dengan pekikan yang lebih keras lagi. Ia meronta-ronta, hendak bebas. Robi dan Jaka kewalahan, sedangkan Sarah mengerahkan seluruh tenaga. Sarah merasa bersalah, tetapi ia tahu Jon hendak membantu. Apa pun cairan yang akan disuntikkan, cairan itu baik untuk Novi.

Jaka inisiatif menutup mulut Novi. Telinganya pengang, dan ia yakin tidak hanya telinga dirinya belaka. Meski Novi tak henti-henti berkedut dan bergerak, Jon berhasil menyuntikkan diazepam ke aliran darah Novi.

"Nah. Lah selesai," ujar Jon.

"Pak Jon kasih Novi apa?"

"Obat penenang."

Sarah melihat Novi yang baru lepas. Ia masih berteriak dan bertenaga. Sarah agak tidak percaya, karena Jon tiba-tiba masuk ke bilik sambil membawa alat suntik.

"Sebentar lagi harusnya menenang. Suara dia kedengaran sampai satu rumah sakit. Hahaha! Tadi pagi lebih parah lagi, gara-gara dipisah dari kamu. Jadi saya kasih obat penenang."

Sarah melihat Jon, dan terpana. Jon dapat membaca kecurigaan di wajahnya. Sarah tersipu, "Makasih, Pak."

"Bu Jenderal," sapa Jon kepada Ajeng; "Masih di sini?"

"Iya," Ajeng senyum simpul; "Sebentar lagi mau pergi. Ini mau ajak temannya Sarah."

Jon terkekeh dan menepuk pundak Sarah, "Dunia sempit ya. Ternyata kamu anak Bu Ajeng."

"Keponakan," sewot Sarah.

"Oh, iya! Keponakan. Hahaha! Mirip soalnya," Jon membela diri. Hanya saja, Jon memikirkan hal lain: kenapa seorang jenderal menghabiskan waktu menunggui keponakannya?

"Mau dikembalikan ke orangtuanya ya? Si Sarah?" Jon bertanya kepada Ajeng.

Ajeng agak lama menjawab, "Orangtuanya di Medan."

Jon terpaku. Kini ia mengerti. Ia langsung mengerti siapa kedua orangtua Sarah, ketika ia tahu bahwa tante Sarah adalah seorang jenderal. Jon agak menunduk, dan matanya tak sefokus biasanya. Ia memastikan, "Selamat?"

Ajeng diam. Jon mengerti.

"Ya sudah. Saya mau balik bantu-bantu yang lain. Baik-baik kalian dengan bu jenderal. Hahaha!"

Jon berjalan menuju pintu bilik. Sebelum keluar, ia menghadap ke kerumunan orang yang habis mengurusi Novi. "Jaka, ikuik la!"

Jaka mengangguk. Sebelum pergi bersama Jon, ia menitipkan pesan kepada Sarah, "Neng Sarah, baik-baik ya." Sarah mengangguk.

Ketika Jaka dan Jon keluar bilik, Sarah menyadari bahwa Novi telah berhenti teriak. Malah, ia berhenti menyia-nyiakan tenaganya dan tengah duduk tenang dengan mata kosong.

Sekali lagi, Sarah mengajak Novi berdiri, "Yuk, Nov."

Novi menurut, hampir layak boneka. Sarah agak heran, tetapi ia mengerti bahwa itu dampak obat Jon.

"Sudah?" tanya Ajeng memastikan.

"Iya. Ayo, tante."

[]

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now