10. Ciuman Pertama

Start bij het begin
                                    

Kepala Lova mengangguk dengan cepat. Dia merasa sangat sial hari ini. Baiklah, dia memang bisa mendapatkan keajaiban dengan angka 80 yang tercetak di kertas ulangan termodinamika. Setelahnya, kejadian yang kurang mengenakkan yang justru menghampiri Lova. Pertama, gado-gado miliknya yang menggunakan bawang goreng. Kedua, perkataan meremehkan Arvin. Dan sekarang, malah bertemu dengan Tamara.

Iya, Tamara yang Agus bilang mantan pacar yang giat mengejar-ngejar Arvin itu. Kakak kelas yang katanya cukup kejam untuk menyingkirkan saingannya dalam usaha mendapatkan Arvin. Gadis cantik yang beberapa hari lalu dibentak Arvin di area parkir.

“Bagus kalau lo tahu siapa gue.” Tamara mengangguk puas. Sedari tadi, dia sibuk mencari kelebihan Lova. Kelebihan yang membuat Arvin lebih bisa memilih gadis lugu itu dibandingkan dirinya. Tapi nihil, sama sekali tidak ada. “Lo setuju kalau Arvin lebih cocok sama gue dibandingkan sama lo, 'kan? Harusnya iya, sih. Lo juga pasti sadar lo sama sekali enggak pantas buat Arvin.”

Lova menyetujui kalimat pertama Tamara. Dia juga menyadari kebenaran kalimat terakhir gadis itu. Hanya saja ... apa perlu sekejam itu lidah Tamara? Pendapat Lova yang menyebutkan dia sangat cantik langsung runtuh seketika karena perkataannya.

“Gue biasanya enggak kasih peringatan dulu sama yang lain. Lebih suka langsung pecut mundur mereka. Tapi, karena ini lo, cewek yang udah cukup ketakutan lihat punggung gue, gue kasih sedikit belas kasihan sama lo.” Tangan Tamara bergerak mengusap rambut Lova. Dia bisa merasakan dengan jelas ketegangan di sekujur tubuh gadis berkacamata tebal itu. “Jauhi Arvin. Enggak peduli lo pacar yang memang disayangi Arvin, atau cuma keberuntungan yang lo punya, lo tetap harus jauhi Arvin.”

Sama sekali tidak ada kekuatan di dalam diri Lova. Dia hanya bisa menekankan matanya kuat-kuat saat Tamara mendorong kepalanya tanpa beban. Ini kali pertama dia berhadapan dengan masalah dengan orang lain karena perkara laki-laki. Lagipula, masuk ke dalam lingkaran Arvin dan Tamara hanya karena 'terjebak keadaan'.

Setelah Tamara benar-benar pergi, barulah Lova kembali melanjutkan tujuan utamanya untuk masuk toilet. Dia terus saja memikirkan perkataan Tamara. Saat dia di toilet, saat berjalan menyusuri koridor sambil ditemani Arvin dan Julian, juga saat dia masuk ke kelas dengan pandangan kosong.

“Eits!” Dengan cepat, Arvin menarik tangan Lova sampai gadis itu berbalik ke arahnya. Kalau tangannya yang satu lagi tidak siap, pasti Lova sudah jatuh tersungkur. “Lo kenapa, sih? Dari tadi gue perhatikan, lo lebih pendiam. Lagi ada masalah?”

Terdiam untuk beberapa saat, Lova malah sibuk memandangi mata hitam Arvin. Isinya selalu sama, rasa cinta yang begitu besar untuknya. Dan itu yang membuat Lova tersenyum sambil menggeleng. “Enggak ada, kok. Cuma kepikiran sama tugas biologi aja.”

Arvin ikut tersenyum. Merasa lega kalau gadisnya tidak memiliki masalah berarti. Dia juga tidak tahan untuk tidak mengacak-acak rambut Lova dengan gemas. “Santai aja, nanti gue bantu kerjain, kok.” Lalu dia menjeda kalimatnya. Arvin sendiri yang membuat rambut Lova berantakan dia juga yang merapikan. “Sebelum ngerjain tugas, mau ke petshop dulu, enggak? Kita beli makan, baju, sama vitamin buat kucing lo.”

“Mau! Mau banget!” jawab Lova dengan cepat. Matanya berbinar, senyum di bibirnya terlihat begitu tulus. Dia langsung lupa dengan kejadian di kamar mandi beberapa saat yang lalu.

“Ya udah, nanti kita ke sana. Gue tahu petshop yang lengkap banget.” Tangan Arvin telah selesai merapikan rambut Lova. Mereka kembali bertukar pandang. “Nanti gue ke sini lagi buat jemput lo. Jangan ke mana-mana. Lo harus tunggu gue di sini.”

Dan Lova setia berdiri di sana, memandangi kepergian Arvin sampai punggungnya menghilang di belokan. Tanpa sadar, sebuah tekad tertanam di hatinya. Dia tidak akan pergi ke mana-mana, dia tidak akan meninggalkan Arvin. Dia akan di sana, menunggu Arvin.

Erotomania [Tamat]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu