9. Perjuangan

Mulai dari awal
                                    

“Enggak mau, Dok. Saya mau ke Lova. Dia menunggu saya!” Sadar atau tidak, Arvin sudah membentak dokternya sendiri. Keringat kecil mulai bermunculan di pelipisnya, Arvin mulai bergerak gelisah. “Lova ... Lova ... jangan tiggalkan gue. Gue sayang sama lo, gue cinta.”

Satu tetes cairan kristal tiba-tiba saja turun membasahi pipi Lova. Namun, cepat-cepat dia menghapus air mata itu, sebelum ada orang yang menyadarinya. Lova tidak menyangka kalau Arvin ternyata menderita di balik semua tingkah menyebalkannya. Arvin kesakitan di balik senyum lembut yang selalu dipersembahkan pada Lova. Arvin kehilangan arah dalam langkah yang selalu mendekatinya. Lova merasa ... iba?

Tanpa aba-aba, Dokter Saira tiba-tiba saja menarik Lova, memintanya untuk duduk tepat di samping Arvin. “Sekarang kamu dengar baik-baik, Arvin. Gadis yang akan bicara sama kamu selanjutnya adalah Lovata Auristela.” Dokter Saira berbisik di telinga Lova, memintanya mengatakan apa pun yang ingin disampaikan pada Arvin. Yang jelas itu hat4us bisa membantu Arvin mendaki jurang yang selama ini mengurungnya.

“Kak Arvin, ini aku, Lova.” Meski ragu, akhirnya Lova buka suara juga. Jika memang ini yang bisa dia lakukan untuk membantu Arvin, maka Lova akan melakukannya. “Kak, makasih udah menyayangi aku dengan begitu besar. Bahkan mungkin udah masuk kategori cinta. Makasih udah dengan begitu dermawan memberikan ketulusan buat aku. Tapi, maaf, aku enggak bisa balas ketulusan itu. Aku enggak bisa balas rasa sayang dan cinta Kak Arvin.”

“Bohong! Lo bohong, Lov! Lo sayang sama gue, lo cinta gue!” Teriakan Arvin semakin menjadi. Bukan lagi keringat kecil, tapi sudah keringat berukuran biji jagung yang membasari hampir semua bagian kepala Arvin. “Lova, gue akan lakukan apa aja, asal lo bilang kalau lo sayang gue. Gue akan lakuin apa aja buat bahagiain lo. But please ... tell me that you love me.

Semakin Arvin histeris, semakin menjadi juga tangisan Lova. Antara mengiba dan tidak tega, Lova merasa dadanya begitu sesak. Dan tidak bisa dipungkiri juga, Lova merasa bersalah di sini. Dia merasa, dialah yang harus bertanggung jawab untuk kondisi Arvin sekarang. Dia yang paling memiliki kewajiban untuk menyembuhkan Arvin.

“Kak, masih ada Bu Indira dan Pak Wisnu yang begitu menyayangi Kak Arvin. Masih ada basket yang lebih bisa membuat Kak Arvin merasa bahagia. Masih ada sahabat, para penggemar Kak Arvin yang pantas untuk dibahagiakan.” Susah payah Lova menjaga suaranya untuk tetap stabil. Namun, dadanya semakin sesak. “Aku enggak cinta sama Kak Arvin.”

“Enggak, Lov! Enggak! Lo sayang sama gue! Lo harus sayang sama gue! Selamanya harus tetap kayak gitu!” Teriakan Arvin semakin menggelegar. Tangan dan kakinya meronta-ronta, kerutan di keningnya semakin jelas terlihat. “Lova! Lovata! Jangan tinggalkan gue!”

Tidak bisa lagi melanjutkan hipnoterapi itu, Dokter Saira langsung mengakhiri semuanya. Hanya dengan sebuah tepukan di bahu, mata Arvin langsung terbuka sempurna. Dia terduduk dengan napas terengah-engah, rambut yang setengah basah, serta pancaran ketakutan yang begitu jelas di matanya. Dan ketika dia mendapati Lova ada di sampingnya, langsung saja dia bergerak merengkuh gadis itu.

“Jangan tinggalkan gue, karena gue sayang sama lo. Gue lebih baik mati daripada lo pergi dari gue.”

Tidak, sikap Arvin yang ini bukan berarti sebuah kegagalan untuk terapi yang baru saja dia jalani. Dia tidak berteriak minta bertemu dengan Lova, tidak memaki Dokter Saira, tidak membanting barang-barang yang ada di sana, itu sudah merupakan progres besar. Namun, tentu saja, perjuangannya masih begitu panjang.

***

“Waduh, masa saya kalah lagi?” Pak Janu menggaruk kepalanya, sambil menatap papan catur dengan penuh frustasi. Sementara di seberang meja, Arvin tampak cekikikan. “Saya enggak pernah kalah telak sampai segininya. Kamu memang hebat!” Mengenyampingkan perbedaan usia yang pantas untuk sepasang ayah dan anak, Pak Janu tidak sungkan untuk memuji kemampuan Arvin.

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang